“Anak?”
pekik Anggun kaget. Ia hanya menelan ludah panik sambil menatap Nadia dan
seorang bocah lelaki yang dipanggil Brian itu bergantian. Ia sadar sejak awal Andrew
memang brengsek, tapi tidak menyangka bahwa Andrew juga akan menghamili orang
lain, akan memiliki anak dari wanita selain dirinya, itu artinya… Anggun akan
menjadi ibu tiri?
Oh,
kenapa kau tidak menduganya Anggun? Kalau Andrew bisa menghamilimu, sudah pasti
ia juga bisa menghamili orang lain juga bukan? Anggun menggeram, ia mendelik
pada suaminya membuat pria itu ketakutan. Berusaha mengabaikan tatapan maut
Anggun, Andrew menghela napas berat menenangkan diri.
Sulung
Adrian itu terdiam sambil menatap bocah yang sejak tadi terus berlindung di
balik lengan ibunya ketakutan, tidak sadar sorot matanya yang begitu
mengintimidasi semakin memperkeruh keadaan. Kini… ada lagi hal yang terjadi
tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan.
‘Edward…’
batin Andrew mengamuk meyakini bahwa kedatangan Nadia ke sini bersama Brian
juga pastinya menjadi salah satu rencana yang disusun Edward. Brengsek! Mati
saja kau!
“Bawa
anak itu pergi.” Andrew akhirnya memberi keputusan, setelah suasana di ruang
tamu rumahnya berlangsung hening cukup lama. Ekspresi wajahnya masih datar,
tampak ia sama sekali tidak terusik apalagi terganggu dengan pengakuan
mengejutkan Nadia.
“Tapi
Tuan muda…” Nadia berlirih, “Dia anak kandung Tuan Muda, bukan kah fisik kalian
cukup mirip? Jika anda masih tidak percaya, anda bisa melakukan tes DNA.”
“Aku
tidak peduli.” Andrew tersenyum sinis. “Aku tidak peduli dia mau anakku atau
bukan, karena anak yang akan kuakui hanya anak-anak yang dikandung dan
dilahirkan oleh Anggun.”
“…”
“Selama
anak itu tidak dikandung oleh istriku, itu bukan anakku.” Andrew menambahkan
sadis. Ia bahkan tidak menangkap kedua mata Anggun yang melebar mendengar
kejujuran Andrew yang pastinya menyakitkan bagi Nadia dan anaknya yang mungkin
mulai mengerti maksud pembicaraan mereka.
Anggun
bahkan bisa menangkap dengan jelas raut kekecewaan yang tersirat di wajah bocah
yang tampaknya begitu ingin memanggil Andrew dengan panggilan ‘Papa’. Pupus
sudah harapannya, Brian bahkan tidak tahu bahwa sosok ayah yang begitu bajingan
itu tidak lebih dari setan berparas rupawan.
“Tapi
masalahnya… setelah saya mati nanti, Brian akan sendirian Tuan muda…” Nadia
yang sejak awal sudah yakin tidak akan mudah memohon pada Andrew agar mau
mengakui anaknya itu terus meminta lirih, merendahkan diri berusaha membuka
hati Andrew agar sadar siapa pun yang mengandung Brian, tetap saja darah Andrew
mengalir di tubuhnya.
“Kau
itu pelacur.” Andrew langsung meringis saat merasakan sebuah cubitan di
lengannya, Anggun mengingatkan bahwa di sekitar mereka, ada banyak anak-anak
yang tidak seharusnya mendengarkan kata-kata yang tidak pantas meluncur mulus
dari mulutnya. “Setiap menidurimu aku membayarmu, masalah kau hamil atau tidak,
itu sudah bukan urusanku.”
“Tuan
Muda…”
“Ck!
Setelah ini, mungkin akan ada banyak Nadia yang mengirimkan anak-anaknya agar
hidup nyaman ke rumahku dengan mengatakan ‘Ini anak Tuan muda’.” Andrew
menggeleng pelan. Ia memang tidak mau ambil pusing. Tersenyum mengejek dan amat
meremehkan, khas Andrew sekali.
“Tuan
muda…”
“Pulanglah!
Kau tidak lebih dari sampah yang membuatku sakit mata.”
“Kita
pulang saja, Bu!” Brian menarik-narik tangan ibunya, ia sudah tidak mau
mendengar segala caci-maki sang ayah yang tidak mau mengakuinya kepada sang
ibu. “Brian tidak punya ayah juga tidak apa-paa, tapi Brian tidak suka ibu
dihina.”
“Sssst…”
Nadia mengisyaratkan agar Brian yang hampir menangis itu diam. Airmatanya
meleleh menyusuri pipinya menahan luka akibat setiap lontaran hinaan yang
diucapkan Andrew kepadanya. “Umur saya bahkan tidak akan sampai satu bulan lagi
Tuan Muda…”
Nadia
beringsut berdiri dan berlutut di depan keluarga Andrew. Anggun terbelalak, Andrew
mendengus tak peduli, Marlon dan Marsya tampak mengernyit bingung, dan Andre,
hanya memandang saudara tirinya dengan sorot menusuk, seolah mengisyaratkan agar
anak itu segera enyah dari hadapannya, ia tidak suka dengan sesuatu hal yang
mengusik ketenangan keluarganya.
“Saya
mohon tolong kasihani anak saya…” Nadia memohon terisak, membuat Anggun menelan
ludah pahit sambil berusaha menenangkan dirinya. “Saya mohon Tuan Muda… tolong
terima Brian sebagai anak anda…” kali ini bahkan Nadia merangkak dan bersujud
di kaki Andrew. Memohon pada sang tuan muda dengan segala kerendahan hatinya.
“Sudah,
Bu!” Brian menyusul ibunya dan menarik-narik lengan Nadia agar segera berdiri. “Brian
mohon jangan seperti ini, Bu. Brian tidak suka melihat Ibu begini, Ibu pasti
sembuh.” Brian mulai menangis sesenggukkan.
“Baiklah,
yang kau takutkan hanya dia tidak terurus bukan?” Andrew nyaris bergeming, ia
menatap replikanya seperti Andre itu hampir tak berkedip, mau tidak mau ia
kasihan juga. Walau bagaimana pun anak itu memang darah dagingnya bukan?
Bahkan, hatinya sendiri juga merasakan kedekatan walau ini untuk pertama
kalinya mereka dipertemukan.
Anggun
menoleh menatap Andrew sendu, ia tahu tidak seharusnya bersikap egois mengingat
Brian pun merupakan anak dari suaminya di masa lalu, ia juga tidak boleh
bersikap jahat seperti menentang Andrew kalau-kalau Andrew bermaksud menerima Brian
sebagai salah satu di antara mereka. meski rasa sakit menyelimuti relung
kalbunya, tapi apa yang terjadi sekarang ini memang sudah terlanjur kepalang. Brian,
bahkan ia perkirakan lebih tua dari anak sulungnya.
“Kirimkan
dia ke asrama, dan aku akan membiayai kehidupannya sampai dewasa, dia… juga
tidak berhak menyandang nama Adrian seperti anak-anakku dari istri sahku.” Andrew
mengimbuhkan keji.
Nadia
tidak bisa mengekspresikan betapa sakitnya dia saat mendengar kalimat Andrew
bahkan di depan putra semata wayangnya. Ia tidak tahu di mata Andrew dirinya
dan Brian sehina apa sehingga Andrew berlaku sekejam ini pada mereka?
Pelacur?
Yah,
dia memang pelacur, Brian pun di kandungnya bahkan saat ia masih menjadi wanita
simpanan Andrew beberapa tahun lalu. Nadia bahkan baru menyadari kehamilannya
setelah dokter mengatakan kandungannya sudah mencapai hampir tujuh bulan.
Sulit
dipercaya bukan?
Kandungannya
memang tidak senormal wanita-wanita pada umumnya, ia kekurangan gizi dan masih
sering mengkonsumsi alkohol maupun rokok saat itu.
Ia
sempat berpikir untuk menggugurkannya, tapi itu berbahaya untuk keselamatannya
sendiri, ia sempat berpikir akan membuang Brian begitu anak itu lahir, tapi
ternyata nalurinya sebagai seorang ibu tidak tega. Ia langsung jatuh cinta pada
buah hatinya dan bertekad untuk merawatnya meski tanpa seorang suami.
Saat
pertama kali tahu dirinya mengandung, Nadia memutuskan untuk pergi dari
kediaman Andrew, ia memutuskan untuk menjadi orang baik dan mencari pekerjaan
dan berpenghasilan halal. Namun kehidupannya yang mulai membaik itu tidak
berlangsung lama. Terutama… saat ia menikah dengan lelaki brengsek yang selalu
saja menyakiti Briannya.
“Kakak
napa nangis?” Tanya seseorang yang mendadak memecah keheningan yang berlangsung
cukup lama, hanya ada suara isak tangis dari Brian dan ibunya. Marlon entah
sejak kapan muncul di depan Brian dengan kepala mendongak tak mengerti, ia
mengulurkan tangan mungilnya menyusut airmata Brian. “Papa bilang, pelia itu
ndak nangis, nanti ndak jagoan lagi.”
“Tante
juga jangan nangis, ya.” Marsya tersenyum manis, ia duduk tenang sambil
mengulum permen lolipopnya. Ia menatap prihatin pada dua orang tamu yang
berkunjung ke rumah mereka dan menangis histeris.
“Mundur
Marlon!” gertak Andre menyadari kepolosan adiknya. Ia turun dari kursinya dan
menarik lengan Marlon mundur. Ditatapnya Brian yang sedikit lebih tinggi
darinya itu dengan tatapan nyalang. “Kalian dengarkan? Pulang sana? Untuk apa
masih di sini?!” tanyanya ketus.
“Nda
boleh kasal gitu Kakak.” Marlon menegur.
“SHUT UP!!!”
“ANDRE!”
bentak Anggun galak. Ia tidak suka anak sulungnya mengucapkan kalimat makian
yang sedemikian kasarnya sekalipun menggunakan bahasa inggris. Terlebih
dilontarkan kepada adiknya sendiri, “Mama tidak pernah mengajarkanmu bicara
sekasar itu.”
Andre
hanya mendengus sebal.
“Ayo,
Bu…kita pulang saja, Ibu pasti sembuh kok.”
“Kita
sama-sama wanita, kan, Nyonya Anggun?” Tanya Nadia sambil menyusut airmatanya,
ia berdiri susah payah dengan kedua lututnya yang gemetaran, “Dan Nyonya… juga
seorang Ibu.”
Hah…
lagi-lagi Anggun hanya bisa menghela napas berat dengan kepala berdenyut nyeri
menanggapi permasalahan-permasalahan yang muncul karena sifat brengsek suaminya
sewaktu melajang.
Tidak ada yang
mengharapkan kelahiranku…
Tidak ada seorang pun
yang menginginkanku…
***
“Kenapa
kau menerima anak itu di rumah kita?” Tanya Andrew saat melihat Anggun memasuki
kamar mereka. Andrew sudah mengganti pakaian kerjanya dengan piyama. Ia berdiri
di depan cermin sambil mengacak kasar rambutnya dengan handuk. Baru selesai
mandi. Andrew terus menatap gerak-gerik Anggun lewat cermin di depannya, ia
dapat melihat ekspresi lelah di wajah orang terkasihnya itu dengan jelas.
“Itu
akan menyakitimu, Anggun.”
“Aku
wanita, Andrew.” Anggun tersenyum miris, ia baru saja mengantarkan Brian ke
kamar barunya, tadi bahkan ia sempat mengajak Nadia juga menginap di sana, tapi
Nadia menolaknya dengan halus.
“Berhenti
bersikap terlalu baik.” Andrew menggeram. “Kau terus saja membuatku merasa
semakin bersalah,” imbuhnya lirih.
Andrew
tidak bisa menggambarkan betapa ia amat menyesalkan segala tindakkan pongahnya
di masa lalu, ia bahkan tidak tahu harus mengucapkan apa untuk meminta ampun
pada Anggun yang terus saja bersabar menuai benih yang bahkan bukan dia yang
menebar? Andrew merasa tidak berguna, ia merasa tidak berharga, selalu saja… ia
menyakiti orang yang amat dikasihinya.
“Aku
juga punya tiga orang anak.” Anggun tersenyum lirih. menerima Brian di rumahnya
bukan tanpa alasan, tapi Anggun tadi berpikir seandainya bagaimana jika
posisinya dengan Nadia dibalik. Apa yang akan dia lakukan jika seandainya dulu Andrew
tidak mau menerimanya dengan Andre yang juga dikandungnya di luar nikah?
“Dia
hanya wanita pelacur.”
“Aku
pun dulu sama, kan?”
“Kau
berbeda!” Andrew berbalik, ia menjawab refleks dan menghampiri Anggun lalu
mencengkeram kedua bahu istrinya kuat-kuat. “Kau berbeda…”
“Perbedaannya
hanya satu Andrew…” Anggun mengangkat kepalanya dan menatap bola mata abu Andrew
dengan kedua mata coklatnya yang berkaca-kaca menahan tangis, “Perbedaannya
hanya ada di keberuntungan.”
“Nadia…
tidak seberuntung aku yang dicintai dan dinikahi olehmu.”
“Anggun…”
“Dia
anakmu…” Anggun menunduk lalu menangis terisak. Sekuat apa pun dirinya, sebaik
apa pun sikapnya, tentu saja menerima kenyataan ternyata selama ini ia memiliki
dan bahkan harus merawat anak tiri dari suami yang amat dia cintai bukan hal
mudah untuk ia jalani. “Dia anakmu…”
“Maafkan
aku.” Andrew tidak tahu harus mengatakan apa lagi? Ia hanya bisa berlutut di
kaki Anggun, menggenggam erat jemari putih istrinya dan menciuminya sambil
menggumamkan seribu kata maaf yang tetap tidak akan pernah bisa merubah keadaan
dan kenyataan. “Hukum aku Anggun, lakukan apa pun untuk meringankan sakit
hatimu.”
***
“Kau
akan bersekolah di tempat yang sama dengan Andre.” Anggun menjelaskan, ia duduk
di kursi makan yang tepat berhadapan dengan Brian. Marlon duduk di kursi khusus
samping kanan Brian, seragam playgroup
merah jambunya tampak sangat pas ia kenakan. Ia menatap roti selai coklat yang
sudah disiapkan ibunya itu bergantian dengan menatap Brian.
Piring
kakak barunya itu masih kosong.
Berhati
malaikat, heh?
Memangnya
semua orang pikir Anggun Kasesya itu sebaik apa? Ia mau menerima Brian di
rumahnya, bukan berarti akan memberinya juga kasih sayang yang sama rata
seperti kepada anak-anak kandungnya bukan?
Brian
tidak pernah mengoleskan selai ke rotinya sendiri, ia bahkan tidak tahu apa fungsinya
pisau –bukan sendok- dengan beberapa
kaleng selai beraneka rasa di depan matanya. Biasanya… ibunya yang selalu
menyiapkannya sarapan.
Istana
ini… sudah seperti neraka baginya, padahal ia belum sampai dua puluh empat jam
menempatinya.
Di
samping Anggun, Marsya tampak semangat melahap roti selai stroberinya, ia
menatap Brian yang terus saja menundukkan kepalanya sekalipun perut Brian sudah
berontak lapar. Marsya juga sudah berpakaian rapi, sudah siap pergi sekolah dan
bermain dengan teman-temannya.
Andre
hanya tersenyum sinis. Ia yang memang sudah tidak berminat mendapat saudara
baru apalagi dadakkan itu senang karena sang mama ternyata masih bisa berpikir
agar tidak menerima anggota baru keluarga mereka dengan mudah.
Andrew?
Dia sibuk membaca koran pagi ini dengan secangkir kopi hitam tanpa gula yang
entah mengapa menjadi minuman favoritnya? Seperti dedemit saja.
“Ini
buat Bang Bayeen caja…” di luar dugaan, ternyata ada seseorang yang masih mau
berbaik hati kepada Brian. Ia sama sekali tidak terpengaruhi dengan doktrin Andre
tadi malam yang mengancam kedua adiknya agar tidak berdekatan apalagi bersikap
baik pada si tiri. Marlon meletakkan rotinya susah payah di piring Brian.
Brian
mengangkat kepalanya dan menoleh, hatinya menghangat saat melihat Marlon
tersenyum manis padanya. Benar-benar tulus.
Bahkan…
Marlon mau memanggilnya Kakak?
“Kalau
kau memberi makananmu padanya. Kau mau makan apa, Marlon?” tegur Andre
menghentikan aksi terkejut keluarganya dengan tingkah ajaib si tengah, Andrew
bahkan sampai berhenti membaca hanya untuk memastikan bahwa yang tadi bicara
memang salah satu anak kesayangannya. Berwajah mirip Papa, tapi berhati seperti
Mama?
“Malon
mau cele tobeli Mama. Ndak mau cokaaaaat…” rengek Marlon manja. Memukul-mukuli
meja di depannya meminta pada sang Mama.
Anggun
menghela napas lagi. Padahal ini masih sangat pagi.
Apa
boleh buat, kan?
“Iya,
Mama oleskan yang rasa stroberi untuk Marlon.” Anggun berdiri dan mengambil dua
helai roti tawar di tengah meja dan mengambil selai request-an sang anak
tengah.
***
“Pinjem
kayon Kakak… punya Malon patah cemua…” Marlon mengambil buku gambarnya
menghampiri Andre dan Marsya yang sedang menggambar di ruang tengah. Di atas
karpet merah empuk, Andre tampak asyik membantu Marsya mewarnai buku gambarnya.
Andre
mengangkat kepalanya dan menatap Marlon sebal. Enak saja, Marlon bahkan tidak
mau mendengarkannya agar tidak berdekatan dengan Brian.
“Tidak
mau!”
“Bental
Kakak…” Marlon merengek sedih. Ia membungkuk hendak mengambil crayon Andre
tanpa izin, tapi dengan cepat Andre menarik kotak crayonnya dan memelototi Marlon
galak.
“Kalau
Kakak bilang tidak boleh ya tidak boleh.”
“Tapi-”
“Marlon
pakai crayon punya Kak Brian saja.” Brian yang baru keluar dari kamarnya dan
selesai mengganti pakaian menghampiri Marlon. Ia tersenyum tipis menenangkan Marlon
yang sudah berwajah merah hampir menangis. Andre selalu saja pilih kasih pada
ia dan Marsya.
“Boleh
Kak Bayen?”
“Sini,
biar Kakak bantu Marlon mewarnai sekalian, Kakak ambilkan dulu crayon dan pensil
warnanya.”
“Yey,
Kak Bayen baik, ndak kayak Kak Ande, jahat-jahat-jahat.” Marlon menjulurkan
lidahnya pada Andre lalu membuang muka. Membuat Andre gelagapan menahan jengkel
sekaligus marah. Andre mendelik kasar pada Brian, ia mencibir dan membiarkan
saja Marlon yang melompat-lompat menghampiri Brian antusias. Setidaknya ia
masih memiliki Marsya bukan?
“Nanti
Kakak buatkan gambar boneka panda dan beruang juga.” Brian menuntun tangan
mungil Marlon pelan. Perkataannya kontan saja membuat mata Marlon semakin
berbinar senang.
“Holeeee!”
“Marsya
kamu jangan kay-, hei, Marsya!” panggil Andre saat Marsya justru berdiri
mengambil buku gambarnya dan berlari menyusul Marlon dan Brian.
“Kakak
Bayeeeen Maca juga mau gambal pandaaaaa!!!” teriak Marsya tak menghiraukan
panggilan Andre. Lupakan Andre yang sejak awal mengetahui fakta bahwa adik
bungsunya itu adalah maniak apa pun yang berhubungan dengan panda.
“Pengkhianat!”
dengus Andre saat merasa kalah dua kosong. Ia semakin kesal saja karena
kehadiran Brian bukan hanya menghilangkan kesenangannya menggoda Marlon, tapi
juga merebut perhatian Marsya yang notabene-nya
selalu menjadikannya kakak nomor satu.
“Aku
suruh Daren bunuh si bayem itu tahu rasa.” Andre mulai berpikir kriminal.
***
0 komentar:
Posting Komentar