Still For You, Andrew (Tujuh)

| Jumat, 13 Januari 2017


“Anak?” pekik Anggun kaget. Ia hanya menelan ludah panik sambil menatap Nadia dan seorang bocah lelaki yang dipanggil Brian itu bergantian. Ia sadar sejak awal Andrew memang brengsek, tapi tidak menyangka bahwa Andrew juga akan menghamili orang lain, akan memiliki anak dari wanita selain dirinya, itu artinya… Anggun akan menjadi ibu tiri?
Oh, kenapa kau tidak menduganya Anggun? Kalau Andrew bisa menghamilimu, sudah pasti ia juga bisa menghamili orang lain juga bukan? Anggun menggeram, ia mendelik pada suaminya membuat pria itu ketakutan. Berusaha mengabaikan tatapan maut Anggun, Andrew menghela napas berat menenangkan diri.
Sulung Adrian itu terdiam sambil menatap bocah yang sejak tadi terus berlindung di balik lengan ibunya ketakutan, tidak sadar sorot matanya yang begitu mengintimidasi semakin memperkeruh keadaan. Kini… ada lagi hal yang terjadi tidak sesuai dengan apa yang dia harapkan.
‘Edward…’ batin Andrew mengamuk meyakini bahwa kedatangan Nadia ke sini bersama Brian juga pastinya menjadi salah satu rencana yang disusun Edward. Brengsek! Mati saja kau!
“Bawa anak itu pergi.” Andrew akhirnya memberi keputusan, setelah suasana di ruang tamu rumahnya berlangsung hening cukup lama. Ekspresi wajahnya masih datar, tampak ia sama sekali tidak terusik apalagi terganggu dengan pengakuan mengejutkan Nadia.
“Tapi Tuan muda…” Nadia berlirih, “Dia anak kandung Tuan Muda, bukan kah fisik kalian cukup mirip? Jika anda masih tidak percaya, anda bisa melakukan tes DNA.”
“Aku tidak peduli.” Andrew tersenyum sinis. “Aku tidak peduli dia mau anakku atau bukan, karena anak yang akan kuakui hanya anak-anak yang dikandung dan dilahirkan oleh Anggun.”
“…”
“Selama anak itu tidak dikandung oleh istriku, itu bukan anakku.” Andrew menambahkan sadis. Ia bahkan tidak menangkap kedua mata Anggun yang melebar mendengar kejujuran Andrew yang pastinya menyakitkan bagi Nadia dan anaknya yang mungkin mulai mengerti maksud pembicaraan mereka.
Anggun bahkan bisa menangkap dengan jelas raut kekecewaan yang tersirat di wajah bocah yang tampaknya begitu ingin memanggil Andrew dengan panggilan ‘Papa’. Pupus sudah harapannya, Brian bahkan tidak tahu bahwa sosok ayah yang begitu bajingan itu tidak lebih dari setan berparas rupawan.
“Tapi masalahnya… setelah saya mati nanti, Brian akan sendirian Tuan muda…” Nadia yang sejak awal sudah yakin tidak akan mudah memohon pada Andrew agar mau mengakui anaknya itu terus meminta lirih, merendahkan diri berusaha membuka hati Andrew agar sadar siapa pun yang mengandung Brian, tetap saja darah Andrew mengalir di tubuhnya.
“Kau itu pelacur.” Andrew langsung meringis saat merasakan sebuah cubitan di lengannya, Anggun mengingatkan bahwa di sekitar mereka, ada banyak anak-anak yang tidak seharusnya mendengarkan kata-kata yang tidak pantas meluncur mulus dari mulutnya. “Setiap menidurimu aku membayarmu, masalah kau hamil atau tidak, itu sudah bukan urusanku.”
“Tuan Muda…”
“Ck! Setelah ini, mungkin akan ada banyak Nadia yang mengirimkan anak-anaknya agar hidup nyaman ke rumahku dengan mengatakan ‘Ini anak Tuan muda’.” Andrew menggeleng pelan. Ia memang tidak mau ambil pusing. Tersenyum mengejek dan amat meremehkan, khas Andrew sekali.
“Tuan muda…”
“Pulanglah! Kau tidak lebih dari sampah yang membuatku sakit mata.”
“Kita pulang saja, Bu!” Brian menarik-narik tangan ibunya, ia sudah tidak mau mendengar segala caci-maki sang ayah yang tidak mau mengakuinya kepada sang ibu. “Brian tidak punya ayah juga tidak apa-paa, tapi Brian tidak suka ibu dihina.”
“Sssst…” Nadia mengisyaratkan agar Brian yang hampir menangis itu diam. Airmatanya meleleh menyusuri pipinya menahan luka akibat setiap lontaran hinaan yang diucapkan Andrew kepadanya. “Umur saya bahkan tidak akan sampai satu bulan lagi Tuan Muda…”
Nadia beringsut berdiri dan berlutut di depan keluarga Andrew. Anggun terbelalak, Andrew mendengus tak peduli, Marlon dan Marsya tampak mengernyit bingung, dan Andre, hanya memandang saudara tirinya dengan sorot menusuk, seolah mengisyaratkan agar anak itu segera enyah dari hadapannya, ia tidak suka dengan sesuatu hal yang mengusik ketenangan keluarganya.
“Saya mohon tolong kasihani anak saya…” Nadia memohon terisak, membuat Anggun menelan ludah pahit sambil berusaha menenangkan dirinya. “Saya mohon Tuan Muda… tolong terima Brian sebagai anak anda…” kali ini bahkan Nadia merangkak dan bersujud di kaki Andrew. Memohon pada sang tuan muda dengan segala kerendahan hatinya.
“Sudah, Bu!” Brian menyusul ibunya dan menarik-narik lengan Nadia agar segera berdiri. “Brian mohon jangan seperti ini, Bu. Brian tidak suka melihat Ibu begini, Ibu pasti sembuh.” Brian mulai menangis sesenggukkan.
“Baiklah, yang kau takutkan hanya dia tidak terurus bukan?” Andrew nyaris bergeming, ia menatap replikanya seperti Andre itu hampir tak berkedip, mau tidak mau ia kasihan juga. Walau bagaimana pun anak itu memang darah dagingnya bukan? Bahkan, hatinya sendiri juga merasakan kedekatan walau ini untuk pertama kalinya mereka dipertemukan.
Anggun menoleh menatap Andrew sendu, ia tahu tidak seharusnya bersikap egois mengingat Brian pun merupakan anak dari suaminya di masa lalu, ia juga tidak boleh bersikap jahat seperti menentang Andrew kalau-kalau Andrew bermaksud menerima Brian sebagai salah satu di antara mereka. meski rasa sakit menyelimuti relung kalbunya, tapi apa yang terjadi sekarang ini memang sudah terlanjur kepalang. Brian, bahkan ia perkirakan lebih tua dari anak sulungnya.
“Kirimkan dia ke asrama, dan aku akan membiayai kehidupannya sampai dewasa, dia… juga tidak berhak menyandang nama Adrian seperti anak-anakku dari istri sahku.” Andrew mengimbuhkan keji.
Nadia tidak bisa mengekspresikan betapa sakitnya dia saat mendengar kalimat Andrew bahkan di depan putra semata wayangnya. Ia tidak tahu di mata Andrew dirinya dan Brian sehina apa sehingga Andrew berlaku sekejam ini pada mereka?
Pelacur?
Yah, dia memang pelacur, Brian pun di kandungnya bahkan saat ia masih menjadi wanita simpanan Andrew beberapa tahun lalu. Nadia bahkan baru menyadari kehamilannya setelah dokter mengatakan kandungannya sudah mencapai hampir tujuh bulan.
Sulit dipercaya bukan?
Kandungannya memang tidak senormal wanita-wanita pada umumnya, ia kekurangan gizi dan masih sering mengkonsumsi alkohol maupun rokok saat itu.
Ia sempat berpikir untuk menggugurkannya, tapi itu berbahaya untuk keselamatannya sendiri, ia sempat berpikir akan membuang Brian begitu anak itu lahir, tapi ternyata nalurinya sebagai seorang ibu tidak tega. Ia langsung jatuh cinta pada buah hatinya dan bertekad untuk merawatnya meski tanpa seorang suami.
Saat pertama kali tahu dirinya mengandung, Nadia memutuskan untuk pergi dari kediaman Andrew, ia memutuskan untuk menjadi orang baik dan mencari pekerjaan dan berpenghasilan halal. Namun kehidupannya yang mulai membaik itu tidak berlangsung lama. Terutama… saat ia menikah dengan lelaki brengsek yang selalu saja menyakiti Briannya.
“Kakak napa nangis?” Tanya seseorang yang mendadak memecah keheningan yang berlangsung cukup lama, hanya ada suara isak tangis dari Brian dan ibunya. Marlon entah sejak kapan muncul di depan Brian dengan kepala mendongak tak mengerti, ia mengulurkan tangan mungilnya menyusut airmata Brian. “Papa bilang, pelia itu ndak nangis, nanti ndak jagoan lagi.”
“Tante juga jangan nangis, ya.” Marsya tersenyum manis, ia duduk tenang sambil mengulum permen lolipopnya. Ia menatap prihatin pada dua orang tamu yang berkunjung ke rumah mereka dan menangis histeris.
“Mundur Marlon!” gertak Andre menyadari kepolosan adiknya. Ia turun dari kursinya dan menarik lengan Marlon mundur. Ditatapnya Brian yang sedikit lebih tinggi darinya itu dengan tatapan nyalang. “Kalian dengarkan? Pulang sana? Untuk apa masih di sini?!” tanyanya ketus.
“Nda boleh kasal gitu Kakak.” Marlon menegur.
SHUT UP!!!”
“ANDRE!” bentak Anggun galak. Ia tidak suka anak sulungnya mengucapkan kalimat makian yang sedemikian kasarnya sekalipun menggunakan bahasa inggris. Terlebih dilontarkan kepada adiknya sendiri, “Mama tidak pernah mengajarkanmu bicara sekasar itu.”
Andre hanya mendengus sebal.
“Ayo, Bu…kita pulang saja, Ibu pasti sembuh kok.”
“Kita sama-sama wanita, kan, Nyonya Anggun?” Tanya Nadia sambil menyusut airmatanya, ia berdiri susah payah dengan kedua lututnya yang gemetaran, “Dan Nyonya… juga seorang Ibu.”
Hah… lagi-lagi Anggun hanya bisa menghela napas berat dengan kepala berdenyut nyeri menanggapi permasalahan-permasalahan yang muncul karena sifat brengsek suaminya sewaktu melajang.

Tidak ada yang mengharapkan kelahiranku…
Tidak ada seorang pun yang menginginkanku…
***
“Kenapa kau menerima anak itu di rumah kita?” Tanya Andrew saat melihat Anggun memasuki kamar mereka. Andrew sudah mengganti pakaian kerjanya dengan piyama. Ia berdiri di depan cermin sambil mengacak kasar rambutnya dengan handuk. Baru selesai mandi. Andrew terus menatap gerak-gerik Anggun lewat cermin di depannya, ia dapat melihat ekspresi lelah di wajah orang terkasihnya itu dengan jelas.
“Itu akan menyakitimu, Anggun.”
“Aku wanita, Andrew.” Anggun tersenyum miris, ia baru saja mengantarkan Brian ke kamar barunya, tadi bahkan ia sempat mengajak Nadia juga menginap di sana, tapi Nadia menolaknya dengan halus.
“Berhenti bersikap terlalu baik.” Andrew menggeram. “Kau terus saja membuatku merasa semakin bersalah,” imbuhnya lirih.
Andrew tidak bisa menggambarkan betapa ia amat menyesalkan segala tindakkan pongahnya di masa lalu, ia bahkan tidak tahu harus mengucapkan apa untuk meminta ampun pada Anggun yang terus saja bersabar menuai benih yang bahkan bukan dia yang menebar? Andrew merasa tidak berguna, ia merasa tidak berharga, selalu saja… ia menyakiti orang yang amat dikasihinya.
“Aku juga punya tiga orang anak.” Anggun tersenyum lirih. menerima Brian di rumahnya bukan tanpa alasan, tapi Anggun tadi berpikir seandainya bagaimana jika posisinya dengan Nadia dibalik. Apa yang akan dia lakukan jika seandainya dulu Andrew tidak mau menerimanya dengan Andre yang juga dikandungnya di luar nikah?
“Dia hanya wanita pelacur.”
“Aku pun dulu sama, kan?”
“Kau berbeda!” Andrew berbalik, ia menjawab refleks dan menghampiri Anggun lalu mencengkeram kedua bahu istrinya kuat-kuat. “Kau berbeda…”
“Perbedaannya hanya satu Andrew…” Anggun mengangkat kepalanya dan menatap bola mata abu Andrew dengan kedua mata coklatnya yang berkaca-kaca menahan tangis, “Perbedaannya hanya ada di keberuntungan.”
“Nadia… tidak seberuntung aku yang dicintai dan dinikahi olehmu.”
“Anggun…”
“Dia anakmu…” Anggun menunduk lalu menangis terisak. Sekuat apa pun dirinya, sebaik apa pun sikapnya, tentu saja menerima kenyataan ternyata selama ini ia memiliki dan bahkan harus merawat anak tiri dari suami yang amat dia cintai bukan hal mudah untuk ia jalani. “Dia anakmu…”
“Maafkan aku.” Andrew tidak tahu harus mengatakan apa lagi? Ia hanya bisa berlutut di kaki Anggun, menggenggam erat jemari putih istrinya dan menciuminya sambil menggumamkan seribu kata maaf yang tetap tidak akan pernah bisa merubah keadaan dan kenyataan. “Hukum aku Anggun, lakukan apa pun untuk meringankan sakit hatimu.”
***
“Kau akan bersekolah di tempat yang sama dengan Andre.” Anggun menjelaskan, ia duduk di kursi makan yang tepat berhadapan dengan Brian. Marlon duduk di kursi khusus samping kanan Brian, seragam playgroup merah jambunya tampak sangat pas ia kenakan. Ia menatap roti selai coklat yang sudah disiapkan ibunya itu bergantian dengan menatap Brian.
Piring kakak barunya itu masih kosong.
Berhati malaikat, heh?
Memangnya semua orang pikir Anggun Kasesya itu sebaik apa? Ia mau menerima Brian di rumahnya, bukan berarti akan memberinya juga kasih sayang yang sama rata seperti kepada anak-anak kandungnya bukan?
Brian tidak pernah mengoleskan selai ke rotinya sendiri, ia bahkan tidak tahu apa fungsinya pisau –bukan sendok- dengan  beberapa kaleng selai beraneka rasa di depan matanya. Biasanya… ibunya yang selalu menyiapkannya sarapan.
Istana ini… sudah seperti neraka baginya, padahal ia belum sampai dua puluh empat jam menempatinya.
Di samping Anggun, Marsya tampak semangat melahap roti selai stroberinya, ia menatap Brian yang terus saja menundukkan kepalanya sekalipun perut Brian sudah berontak lapar. Marsya juga sudah berpakaian rapi, sudah siap pergi sekolah dan bermain dengan teman-temannya.
Andre hanya tersenyum sinis. Ia yang memang sudah tidak berminat mendapat saudara baru apalagi dadakkan itu senang karena sang mama ternyata masih bisa berpikir agar tidak menerima anggota baru keluarga mereka dengan mudah.
Andrew? Dia sibuk membaca koran pagi ini dengan secangkir kopi hitam tanpa gula yang entah mengapa menjadi minuman favoritnya? Seperti dedemit saja.
“Ini buat Bang Bayeen caja…” di luar dugaan, ternyata ada seseorang yang masih mau berbaik hati kepada Brian. Ia sama sekali tidak terpengaruhi dengan doktrin Andre tadi malam yang mengancam kedua adiknya agar tidak berdekatan apalagi bersikap baik pada si tiri. Marlon meletakkan rotinya susah payah di piring Brian.
Brian mengangkat kepalanya dan menoleh, hatinya menghangat saat melihat Marlon tersenyum manis padanya. Benar-benar tulus.
Bahkan… Marlon mau memanggilnya Kakak?
“Kalau kau memberi makananmu padanya. Kau mau makan apa, Marlon?” tegur Andre menghentikan aksi terkejut keluarganya dengan tingkah ajaib si tengah, Andrew bahkan sampai berhenti membaca hanya untuk memastikan bahwa yang tadi bicara memang salah satu anak kesayangannya. Berwajah mirip Papa, tapi berhati seperti Mama?
“Malon mau cele tobeli Mama. Ndak mau cokaaaaat…” rengek Marlon manja. Memukul-mukuli meja di depannya meminta pada sang Mama.
Anggun menghela napas lagi. Padahal ini masih sangat pagi.
Apa boleh buat, kan?
“Iya, Mama oleskan yang rasa stroberi untuk Marlon.” Anggun berdiri dan mengambil dua helai roti tawar di tengah meja dan mengambil selai request-an sang anak tengah.
***
“Pinjem kayon Kakak… punya Malon patah cemua…” Marlon mengambil buku gambarnya menghampiri Andre dan Marsya yang sedang menggambar di ruang tengah. Di atas karpet merah empuk, Andre tampak asyik membantu Marsya mewarnai buku gambarnya.
Andre mengangkat kepalanya dan menatap Marlon sebal. Enak saja, Marlon bahkan tidak mau mendengarkannya agar tidak berdekatan dengan Brian.
“Tidak mau!”
“Bental Kakak…” Marlon merengek sedih. Ia membungkuk hendak mengambil crayon Andre tanpa izin, tapi dengan cepat Andre menarik kotak crayonnya dan memelototi Marlon galak.
“Kalau Kakak bilang tidak boleh ya tidak boleh.”
“Tapi-”
“Marlon pakai crayon punya Kak Brian saja.” Brian yang baru keluar dari kamarnya dan selesai mengganti pakaian menghampiri Marlon. Ia tersenyum tipis menenangkan Marlon yang sudah berwajah merah hampir menangis. Andre selalu saja pilih kasih pada ia dan Marsya.
“Boleh Kak Bayen?”
“Sini, biar Kakak bantu Marlon mewarnai sekalian, Kakak ambilkan dulu crayon dan pensil warnanya.”
“Yey, Kak Bayen baik, ndak kayak Kak Ande, jahat-jahat-jahat.” Marlon menjulurkan lidahnya pada Andre lalu membuang muka. Membuat Andre gelagapan menahan jengkel sekaligus marah. Andre mendelik kasar pada Brian, ia mencibir dan membiarkan saja Marlon yang melompat-lompat menghampiri Brian antusias. Setidaknya ia masih memiliki Marsya bukan?
“Nanti Kakak buatkan gambar boneka panda dan beruang juga.” Brian menuntun tangan mungil Marlon pelan. Perkataannya kontan saja membuat mata Marlon semakin berbinar senang.
“Holeeee!”
“Marsya kamu jangan kay-, hei, Marsya!” panggil Andre saat Marsya justru berdiri mengambil buku gambarnya dan berlari menyusul Marlon dan Brian.
“Kakak Bayeeeen Maca juga mau gambal pandaaaaa!!!” teriak Marsya tak menghiraukan panggilan Andre. Lupakan Andre yang sejak awal mengetahui fakta bahwa adik bungsunya itu adalah maniak apa pun yang berhubungan dengan panda.
“Pengkhianat!” dengus Andre saat merasa kalah dua kosong. Ia semakin kesal saja karena kehadiran Brian bukan hanya menghilangkan kesenangannya menggoda Marlon, tapi juga merebut perhatian Marsya yang notabene-nya selalu menjadikannya kakak nomor satu.
“Aku suruh Daren bunuh si bayem itu tahu rasa.” Andre mulai berpikir kriminal.
***

0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲