Still For You, Andrew (Prologue)

| Senin, 13 April 2015


“Jangan pacalan mulu ih!” tegur seorang anak kecil saat melihat kedua orangtuanya sejak tadi sibuk berpelukan. Tidak memerhatikan wajah anaknya yang badmood karena merasa tidak dipedulikan. Bocah laki-laki bertubuh gempal dan usianya baru menginjak tiga tahun itu menatap kedua orangtuanya sebal. Kedua mata sayunya yang begitu mirip dengan sang papa menatap ibunya tajam.
“Andre bawel deh.” Andrew, taipan muda yang memiliki paras bak pangeran Negeri dongeng itu balas menegur putra semata wayangnya. Ia melepaskan pelukan Anggun dan mengecup kening istrinya sekilas. Memang belum disahkan Negara, karena awalnya mereka berpikir cukup terikat tanpa norma hukum saja tidak masalah.
Tapi pikiran itu langsung mereka urungkan lagi, begitu Anggun kini mengandung anak kedua mereka. Baik Andre maupun calon bayi mereka nanti, bukan hanya membutuhkan figure seorang ayah secara nyata, tetapi juga ikatan yang disahkan sehingga mereka tidak perlu dipandang sebelah mata. Mereka harus memiliki status yang jelas.
Sebenarnya bukan tanpa alasan mereka –tepatnya Andrew- lebih memilih nikah siri selama ini.
Semuanya diawali kehidupan Anggun yang pelik dan memutuskan pergi ke kota untuk bekerja yang ternyata dijadikan pembantu di sebuah rumah bordir, lalu bertemu dengan Tuan Muda kaya yang angkuh dan begitu menginginkannya. Dibeli Andrew untuk dirinya sendiri, lalu kemudian kabur saat hamil karena merasa dicampakkan.
Setahun kemudian seolah ada benang merah yang menghubungkan hati keduanya, di sebuah supermarket mereka kembali dipertemukan dengan sosok kecil Andre yang belum bisa bicara tetapi tiba-tiba memanggil Andrew ‘Papa’.
Dan setelah menghadapi konflik rumit seperti berebut Anggun dengan adik kandungnya sendiri, lalu memutuskan pergi dari rumah karena hubungannya tidak direstui oleh ayahnya yang berhati dingin, momen Andre yang mengidap kanker otak ternyata menjadi alasan yang kuat bagi Anggun untuk kembali kepada cinta pertamanya.
Andrew memiliki trauma tentang sebuah ikatan. Di mana dulu cinta pertamanya dibunuh sendiri oleh ayah kandungnya. Karena itu ia tidak mau terikat dengan siapa pun. Ia terlalu takut untuk mengalami kehancuran yang sama untuk kesekian kalinya.
Tapi saat Andre bertanya tentang sesuatu hal yang menyentuh hatinya, mengatakan bahwa dirinya ditanya oleh oleh Guru sekolahnya tentang pria tampan yang sering mengantarnya ke sekolah itu siapa? Andrew sadar sudah waktunya bagi dia untuk mulai membuka diri. Anggun sudah sangat sabar menunggu kesiapannya, sehingga pada akhirnya mereka akan melakukan upacara pernikahan secara resmi.
“Ah, Papa pacalan mulu, sih.” Andre nyaris mirip dengan ayahnya. Seperti replika Andrew saat masih balita. Sifat playboynya pun sudah terlihat semenjak ia masuk Playgroup satu tahun lalu. Andre memang lebih senang berkumpul dengan teman-teman gadisnya untuk tebar pesona.
“Sirik saja.” Andrew menghampiri putranya yang sudah duduk di seatcar lalu mengencangkan safety belt-nya. Tidak mau ambil resiko jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan putranya itu terlempar karena kurang pengawasan.
“Ndak mau duduk sitkal, Papa.” Andre merengek. Ia memang tidak pernah suka duduk di seatcar. Tidak bebas bergerak.
“Kau tidak boleh nakal, Andre!” Andrew menggesekkan hidung mancung mereka. ia menyingkir lalu membiarkan Anggun masuk ke dalam mobil. Duduk di kursi belakang supir. Cokelat teduh it uterus menatap suaminya sumringah, masih tidak percaya pada akhirnya mereka benar-benar akan terikat secara nyata.
“Kau akan cepat menyusul, kan?” Tanya Anggun cemas. Andrew sangat sibuk, tidak jarang ia melupakan janjinya. Tapi momen ini adalah momen yang selama ini ditunggu Anggun. Ia berharap Andrew tidak lupa dua hari lagi di desanya, mereka akan menikah dihadiri oleh kedua orangtuanya.
Yah, saat ini Anggun akan pulang ke rumahnya untuk meminta restu kedua orangtuanya. Tidak lama lagi nama Anggun Kasesya akan berganti menjadi Anggun Adrian.
“Pastinya!” Andrew menjawab mantap. “Aku ada meeting di Surabaya hari ini. Tapi nanti malam langsung balik ke Jakarta lalu menyusulmu.”
“Aku harap kau tidak lupa.”
“Aku belum sepikun itu, Sayang.”
Satu lagi hal yang membuat Anggun percaya Andrew yang sekarang bukan lagi Pangeran arogan yang selalu menyakiti hatinya dengan kata-kata kasarnya. Andrew yang sekarang selalu bersikap manis dan memberikan perhatian cukup untuknya sekalipun memang jarang punya waktu longgar. Andrew juga selalu menyempatkan diri untuk menemani Andre bermain di hari libur.
“Andre!” panggil Andrew lagi. Andre menoleh pada papanya lalu mengangkat dagunya angkuh. Ia tidak mau menjawab. Benar-benar replika Andrew. Melihat gelagat putranya Andrew hanya mendengus geli. “Papa bisa titip Mama?”
“Ya.”
“Dede bayinya juga, ya?”
Andre berpikir sejenak. Ia melirik perut ibunya yang katanya ada calon adiknya di dalam sana. Entah apa yang sedang dilakukan adiknya itu? Anggun memang sedang mengandung anak keduanya, karena itu mereka memutuskan mempercepat menikah saat mengetahui kandungan Anggun sudah menginjak bulan kedua beberapa hari lalu.
“Ya!”
“Kau itu jutek sekali.” Andrew menggeleng pelan. Andre tidak ambil pusing dan kembali memainkan robot gundam yang tengah digenggamnya sejak tadi.
“Dia mirip Papa.” Anggun terkekeh. Andrew hanya mengusap puncak kepala Anggun lalu mengangguk. “Aku tunggu di sana.”
“Setelah beres aku langsung menyusul.” Andrew kembali membungkuk dan mengecup pipi Anggun sekilas.
“Peluk lagi, tium lagi.” Cibir Andre yang mulai tidak sabaran.
“Yasudah, aku bosan diomeli Andre yang sedang badmood. Kalian hati-hati.” Andrew tersenyum lalu menutup pintu mobilnya. Tidak lama kemudian, mobil jaguar silver itu melaju pelan meninggalkan kediaman Andrew menuju tujuan utama mereka.

Apa yang kunanti akhirnya akan terjadi…
Buah dari kesabaranku selama ini…
***
Memasuki jalanan pesawahan, Andre berbinar-binar melihat sekelilingnya. Ia yang sudah diperbolehkan Anggun turun dari seatcar sejak tadi berdiri menghadap jok sambil melihat pemandangan di belakangnya. Tentu saja dengan Anggun yang memegangi punggungnya agar Andre tidak terjatuh.
Hamparan tanah coklat berombak yang basah, dengan beberapa kerbau di atasnya. Mata sayu berwarna abu itu terus saja menatap apa pun yang bisa dilihatnya dan dianggapnya menarik. Ia menarik-narik lengan gaun Anggun, gadis berlesung pipi itu tersenyum lalu mengecup pelipis putranya.
“Mama-mama, ada banteng.” Tunjuk Andre saat melihat sekumpulan kerbau di salah satu sisinya. Anggun melihatnya sekilas lalu terkekeh.
“Itu namanya bukan banteng sayang, tapi kerbau.”
“Kebaw…” beo Andre lalu mengangguk. Sekalipun ia masih tidak terlalu paham.
“Mama-Mama, uang-uang!” Andre lebih ceria lagi saat begitu memasuki desa, banyak anak kecil yang berteriak-teriak ceria sambil berlari mengikuti mobil mewahnya. Ia terkikik saat berpikir mungkin saja mereka semua pengemis yang sedang meminta sumbangan.
“Eh, mereka bukan pengemis.” Kali ini tawa Anggun terdengar renyah. Sementara supirnya hanya bisa menggeleng geli karena kelakuan tuan kecil yang begitu antusias.
Hari menjelang sore, setelah melakukan perjalanan sekitar empat jam, akhirnya mereka sampai juga di pekarangan rumah Anggun. Sudah direnovasi menjadi lebih layak sejak setahun lalu, Anggun memang sengaja mengirim uang yang cukup banyak agar orangtuanya tinggal di rumah yang lebih layak.
Supir Anggun turun dari mobil, ia membukakan pintu untuk Anggun dan Andre. Anggun turun lebih dulu lalu memangku Andre yang tampak kelelahan. Tapi dengan cepat Andre meronta-ronta. Ia mengingat pesan ayahnya semenjak tahu di dalam perut ibunya ada bayi, ibunya tidak boleh mengangkat yang berat-berat.
Dan diusianya yang ketiga tahun sudah mencapai Sembilan belas kilo tentu saja cukup lumayan. Tampaknya Andre cukup sadar diri dengan tubuh gempal yang dibalut kulit putih susunya.
“Ndak boleh gendong Mama. Kasian dede bayinya.” Andre menegur ibunya yang hanya nyengir setelah diturunkan. Ia memakai setelan jas seperti pakaian yang biasa Andrew kenakan ke manapun ia pergi. Tampaknya, bocah itu memang tipe seseorang yang perfeksionis.
“Itu Anggun, kan? Belum menikah kok sudah punya anak?” bisik segerombolan ibu-ibu yang tadi juga ikut iring-iringan mobil mewah yang membuat mereka penasaran siapa siempunya? Mereka saling mencibir dan menyindir dengan suara yang cukup keras.
Anggun hanya diam sambil mengepalkan tangannya geram. Ia berusaha sabar saat mendengar segala hinaan dari orang-orang yang sejak awal tidak pernah menaruh simpati atau bahkan bisa dibilang membenci keluarganya. Menjelaskan dirinya dan Andrew sudah menikah secara siri pun percuma, tanpa surat… mana mungkin mereka percaya?
Sampai kemudian ada yang mengatakan dirinya ‘pelacur’. Ia sudah tidak bisa lagi menahan amarahnya. Sambil tangannya yang terus menuntut tangan Andre, dengan gaya angkuh bak permaisuri Anggun menghampiri gerombolan ibu-ibu yang sejak tadi terus saja menatapnya sinis.
Dia bukan wanita jahat…
Tapi dia juga bukan wanita baik-baik yang akan tetap bungkam saat harga dirinya diinjak-injak orang lain.
“Kalian tahu?” Tanya Anggun diiringi senyuman sinisnya. “Mulut kotor kalian itu bisa mengantarkan kalian semua ke penjara.”
“Huh? Jangan karena sekarang kau jadi orang kaya, kaau jadi sombong ya Anggun!” balas seorang ibu-ibu bertubuh gempal. “Penampilan sih memang berbeda, tapi watakmu itu tidak berubah, jual diri saja bangga.”
Anggun menelan ludahnya pahit, ia berusaha tenang saat cengkeraman Andre di tangannya mengerat. Tampaknya balita kesayangannya itu juga merasakan kemarahan ibunya. Ini juga yang menjadi alasan kenapa Anggun begitu bahagia saat Andrew hendak meresmikan pernikahan mereka.
Itu artinya… dia tidak perlu lagi mendapat hinaan menyakitkan karena tidak mengenal dekat dirinya, orang-orang selalu saja menganggapnya hina.
“Kalian jangan macam-macam.” Anggun mendesis mengerikan. Bola mata coklatnya tampak memerah menahan marah. “Kalian tidak tahu sekaya apa aku sekarang?
Aku, bahkan bisa menyuruh seseorang untuk membantai kalian semua tanpa ketahuan.” Anggun mengancam sungguh-sungguh. “Bahkan, membuat kalian menderita hanya semudah membalikkan telapak tangan.”
“Dan aku… serius dengan kata-kataku.” Anggun tersenyum sinis. “Sebaiknya, mulai sekarang kalian jangan pernah lagi mengusik keluargaku.”
Setelah menyelesaikan kalimatnya, Anggun segera berbalik dan mengajak Andre pergi setelah putra sulungnya itu mengatakan, “Miskin caja sombong.”
Ahh… untuk kali ini saja Anggun bersyukur karena sifat Andre memang benar-benar mirip dengan ayahnya. Setidaknya… Anaknya itu amat peka dan tidak pernah rela siapa pun melukai hati sang Mama.
***

3 komentar:

Next Prev
▲Top▲