“Jangan
pacalan mulu ih!” tegur seorang anak kecil saat melihat kedua orangtuanya sejak
tadi sibuk berpelukan. Tidak memerhatikan wajah anaknya yang badmood karena merasa tidak dipedulikan.
Bocah laki-laki bertubuh gempal dan usianya baru menginjak tiga tahun itu
menatap kedua orangtuanya sebal. Kedua mata sayunya yang begitu mirip dengan
sang papa menatap ibunya tajam.
“Andre
bawel deh.” Andrew, taipan muda yang memiliki paras bak pangeran Negeri dongeng
itu balas menegur putra semata wayangnya. Ia melepaskan pelukan Anggun dan
mengecup kening istrinya sekilas. Memang belum disahkan Negara, karena awalnya
mereka berpikir cukup terikat tanpa norma hukum saja tidak masalah.
Tapi
pikiran itu langsung mereka urungkan lagi, begitu Anggun kini mengandung anak
kedua mereka. Baik Andre maupun calon bayi mereka nanti, bukan hanya
membutuhkan figure seorang ayah secara nyata, tetapi juga ikatan yang disahkan
sehingga mereka tidak perlu dipandang sebelah mata. Mereka harus memiliki
status yang jelas.
Sebenarnya
bukan tanpa alasan mereka –tepatnya Andrew- lebih memilih nikah siri selama
ini.
Semuanya
diawali kehidupan Anggun yang pelik dan memutuskan pergi ke kota untuk bekerja
yang ternyata dijadikan pembantu di sebuah rumah bordir, lalu bertemu dengan
Tuan Muda kaya yang angkuh dan begitu menginginkannya. Dibeli Andrew untuk
dirinya sendiri, lalu kemudian kabur saat hamil karena merasa dicampakkan.
Setahun
kemudian seolah ada benang merah yang menghubungkan hati keduanya, di sebuah
supermarket mereka kembali dipertemukan dengan sosok kecil Andre yang belum
bisa bicara tetapi tiba-tiba memanggil Andrew ‘Papa’.
Dan
setelah menghadapi konflik rumit seperti berebut Anggun dengan adik kandungnya
sendiri, lalu memutuskan pergi dari rumah karena hubungannya tidak direstui
oleh ayahnya yang berhati dingin, momen Andre yang mengidap kanker otak
ternyata menjadi alasan yang kuat bagi Anggun untuk kembali kepada cinta
pertamanya.
Andrew
memiliki trauma tentang sebuah ikatan. Di mana dulu cinta pertamanya dibunuh
sendiri oleh ayah kandungnya. Karena itu ia tidak mau terikat dengan siapa pun.
Ia terlalu takut untuk mengalami kehancuran yang sama untuk kesekian kalinya.
Tapi
saat Andre bertanya tentang sesuatu hal yang menyentuh hatinya, mengatakan
bahwa dirinya ditanya oleh oleh Guru sekolahnya tentang pria tampan yang sering
mengantarnya ke sekolah itu siapa? Andrew sadar sudah waktunya bagi dia untuk
mulai membuka diri. Anggun sudah sangat sabar menunggu kesiapannya, sehingga
pada akhirnya mereka akan melakukan upacara pernikahan secara resmi.
“Ah,
Papa pacalan mulu, sih.” Andre nyaris mirip dengan ayahnya. Seperti replika Andrew
saat masih balita. Sifat playboynya pun sudah terlihat semenjak ia masuk Playgroup satu tahun lalu. Andre memang
lebih senang berkumpul dengan teman-teman gadisnya untuk tebar pesona.
“Sirik
saja.” Andrew menghampiri putranya yang sudah duduk di seatcar lalu mengencangkan safety
belt-nya. Tidak mau ambil resiko jika
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan putranya itu terlempar karena kurang
pengawasan.
“Ndak
mau duduk sitkal, Papa.” Andre merengek. Ia memang tidak pernah suka duduk di seatcar. Tidak bebas bergerak.
“Kau
tidak boleh nakal, Andre!” Andrew menggesekkan hidung mancung mereka. ia
menyingkir lalu membiarkan Anggun masuk ke dalam mobil. Duduk di kursi belakang
supir. Cokelat teduh it uterus menatap suaminya sumringah, masih tidak percaya
pada akhirnya mereka benar-benar akan terikat secara nyata.
“Kau
akan cepat menyusul, kan?” Tanya Anggun cemas. Andrew sangat sibuk, tidak
jarang ia melupakan janjinya. Tapi momen ini adalah momen yang selama ini
ditunggu Anggun. Ia berharap Andrew tidak lupa dua hari lagi di desanya, mereka
akan menikah dihadiri oleh kedua orangtuanya.
Yah,
saat ini Anggun akan pulang ke rumahnya untuk meminta restu kedua orangtuanya.
Tidak lama lagi nama Anggun Kasesya akan berganti menjadi Anggun Adrian.
“Pastinya!”
Andrew menjawab mantap. “Aku ada meeting di Surabaya hari ini. Tapi nanti malam
langsung balik ke Jakarta lalu menyusulmu.”
“Aku
harap kau tidak lupa.”
“Aku
belum sepikun itu, Sayang.”
Satu
lagi hal yang membuat Anggun percaya Andrew yang sekarang bukan lagi Pangeran
arogan yang selalu menyakiti hatinya dengan kata-kata kasarnya. Andrew yang
sekarang selalu bersikap manis dan memberikan perhatian cukup untuknya
sekalipun memang jarang punya waktu longgar. Andrew juga selalu menyempatkan
diri untuk menemani Andre bermain di hari libur.
“Andre!”
panggil Andrew lagi. Andre menoleh pada papanya lalu mengangkat dagunya angkuh.
Ia tidak mau menjawab. Benar-benar replika Andrew. Melihat gelagat putranya Andrew
hanya mendengus geli. “Papa bisa titip Mama?”
“Ya.”
“Dede
bayinya juga, ya?”
Andre
berpikir sejenak. Ia melirik perut ibunya yang katanya ada calon adiknya di
dalam sana. Entah apa yang sedang dilakukan adiknya itu? Anggun memang sedang
mengandung anak keduanya, karena itu mereka memutuskan mempercepat menikah saat
mengetahui kandungan Anggun sudah menginjak bulan kedua beberapa hari lalu.
“Ya!”
“Kau
itu jutek sekali.” Andrew menggeleng pelan. Andre tidak ambil pusing dan
kembali memainkan robot gundam yang tengah digenggamnya sejak tadi.
“Dia
mirip Papa.” Anggun terkekeh. Andrew hanya mengusap puncak kepala Anggun lalu
mengangguk. “Aku tunggu di sana.”
“Setelah
beres aku langsung menyusul.” Andrew kembali membungkuk dan mengecup pipi Anggun
sekilas.
“Peluk
lagi, tium lagi.” Cibir Andre yang mulai tidak sabaran.
“Yasudah,
aku bosan diomeli Andre yang sedang badmood.
Kalian hati-hati.” Andrew tersenyum lalu menutup pintu mobilnya. Tidak lama
kemudian, mobil jaguar silver itu melaju pelan meninggalkan kediaman Andrew
menuju tujuan utama mereka.
Apa yang kunanti
akhirnya akan terjadi…
Buah dari kesabaranku
selama ini…
***
Memasuki
jalanan pesawahan, Andre berbinar-binar melihat sekelilingnya. Ia yang sudah
diperbolehkan Anggun turun dari seatcar
sejak tadi berdiri menghadap jok sambil melihat pemandangan di belakangnya.
Tentu saja dengan Anggun yang memegangi punggungnya agar Andre tidak terjatuh.
Hamparan
tanah coklat berombak yang basah, dengan beberapa kerbau di atasnya. Mata sayu
berwarna abu itu terus saja menatap apa pun yang bisa dilihatnya dan
dianggapnya menarik. Ia menarik-narik lengan gaun Anggun, gadis berlesung pipi
itu tersenyum lalu mengecup pelipis putranya.
“Mama-mama,
ada banteng.” Tunjuk Andre saat melihat sekumpulan kerbau di salah satu
sisinya. Anggun melihatnya sekilas lalu terkekeh.
“Itu
namanya bukan banteng sayang, tapi kerbau.”
“Kebaw…”
beo Andre lalu mengangguk. Sekalipun ia masih tidak terlalu paham.
“Mama-Mama,
uang-uang!” Andre lebih ceria lagi saat begitu memasuki desa, banyak anak kecil
yang berteriak-teriak ceria sambil berlari mengikuti mobil mewahnya. Ia
terkikik saat berpikir mungkin saja mereka semua pengemis yang sedang meminta
sumbangan.
“Eh,
mereka bukan pengemis.” Kali ini tawa Anggun terdengar renyah. Sementara
supirnya hanya bisa menggeleng geli karena kelakuan tuan kecil yang begitu
antusias.
Hari
menjelang sore, setelah melakukan perjalanan sekitar empat jam, akhirnya mereka
sampai juga di pekarangan rumah Anggun. Sudah direnovasi menjadi lebih layak
sejak setahun lalu, Anggun memang sengaja mengirim uang yang cukup banyak agar
orangtuanya tinggal di rumah yang lebih layak.
Supir
Anggun turun dari mobil, ia membukakan pintu untuk Anggun dan Andre. Anggun
turun lebih dulu lalu memangku Andre yang tampak kelelahan. Tapi dengan cepat Andre
meronta-ronta. Ia mengingat pesan ayahnya semenjak tahu di dalam perut ibunya
ada bayi, ibunya tidak boleh mengangkat yang berat-berat.
Dan
diusianya yang ketiga tahun sudah mencapai Sembilan belas kilo tentu saja cukup
lumayan. Tampaknya Andre cukup sadar diri dengan tubuh gempal yang dibalut
kulit putih susunya.
“Ndak
boleh gendong Mama. Kasian dede bayinya.” Andre menegur ibunya yang hanya
nyengir setelah diturunkan. Ia memakai setelan jas seperti pakaian yang biasa Andrew
kenakan ke manapun ia pergi. Tampaknya, bocah itu memang tipe seseorang yang
perfeksionis.
“Itu
Anggun, kan? Belum menikah kok sudah punya anak?” bisik segerombolan ibu-ibu
yang tadi juga ikut iring-iringan mobil mewah yang membuat mereka penasaran
siapa siempunya? Mereka saling mencibir dan menyindir dengan suara yang cukup
keras.
Anggun
hanya diam sambil mengepalkan tangannya geram. Ia berusaha sabar saat mendengar
segala hinaan dari orang-orang yang sejak awal tidak pernah menaruh simpati
atau bahkan bisa dibilang membenci keluarganya. Menjelaskan dirinya dan Andrew
sudah menikah secara siri pun percuma, tanpa surat… mana mungkin mereka
percaya?
Sampai
kemudian ada yang mengatakan dirinya ‘pelacur’. Ia sudah tidak bisa lagi
menahan amarahnya. Sambil tangannya yang terus menuntut tangan Andre, dengan
gaya angkuh bak permaisuri Anggun menghampiri gerombolan ibu-ibu yang sejak
tadi terus saja menatapnya sinis.
Dia
bukan wanita jahat…
Tapi
dia juga bukan wanita baik-baik yang akan tetap bungkam saat harga dirinya
diinjak-injak orang lain.
“Kalian
tahu?” Tanya Anggun diiringi senyuman sinisnya. “Mulut kotor kalian itu bisa
mengantarkan kalian semua ke penjara.”
“Huh?
Jangan karena sekarang kau jadi orang kaya, kaau jadi sombong ya Anggun!” balas
seorang ibu-ibu bertubuh gempal. “Penampilan sih memang berbeda, tapi watakmu
itu tidak berubah, jual diri saja bangga.”
Anggun
menelan ludahnya pahit, ia berusaha tenang saat cengkeraman Andre di tangannya
mengerat. Tampaknya balita kesayangannya itu juga merasakan kemarahan ibunya.
Ini juga yang menjadi alasan kenapa Anggun begitu bahagia saat Andrew hendak
meresmikan pernikahan mereka.
Itu
artinya… dia tidak perlu lagi mendapat hinaan menyakitkan karena tidak mengenal
dekat dirinya, orang-orang selalu saja menganggapnya hina.
“Kalian
jangan macam-macam.” Anggun mendesis mengerikan. Bola mata coklatnya tampak
memerah menahan marah. “Kalian tidak tahu sekaya apa aku sekarang?
Aku,
bahkan bisa menyuruh seseorang untuk membantai kalian semua tanpa ketahuan.” Anggun
mengancam sungguh-sungguh. “Bahkan, membuat kalian menderita hanya semudah
membalikkan telapak tangan.”
“Dan
aku… serius dengan kata-kataku.” Anggun tersenyum sinis. “Sebaiknya, mulai
sekarang kalian jangan pernah lagi mengusik keluargaku.”
Setelah
menyelesaikan kalimatnya, Anggun segera berbalik dan mengajak Andre pergi
setelah putra sulungnya itu mengatakan, “Miskin caja sombong.”
Ahh…
untuk kali ini saja Anggun bersyukur karena sifat Andre memang benar-benar
mirip dengan ayahnya. Setidaknya… Anaknya itu amat peka dan tidak pernah rela
siapa pun melukai hati sang Mama.
***
tesssttttttt
BalasHapusYou are the one my favorite writer ...
BalasHapusAkhirnya aku nemu karya kak key disini aku seneng banget, semangat berkarya kak key
BalasHapus