“Udah selesai diperiksanya?”
“Udah.”
“Dokter bilang apa?”
“Dokter gak
bilang sama aku, dia ngomong ke Mama.” Aku menjawab datar. Mataku menatap lurus
ke depan. tangan kiriku masih menempelkan ponsel ke telinga kiri, sementara
tangan kanan memeluk tas biru muda yang satu warna dengan gaun yang kupakai
hari ini.
Cowok yang
menjadi lawan bicaraku ditelepon diam beberapa saat. Entah kenapa saat ini aku merasa
dia pasti sedang tersenyum?
“Pagi ini kamu gak marah-marah, kan?”
pertanyaan itu adalah pertanyaan yang selalu dia ucapkan setiap harinya. “kamu minum obat kamu?”
“Aku minum, kamu
yang nyuruh.” Aku mencicit. “Mau ke kantor kamu boleh?”
“Sama Mama?”
“Sendiri. Mama
aku suruh pulang,” jawabku cepat. Dia tidak menjawab. Aku bergerak gelisah,
mungkin dia tidak senang aku datang ke kantornya. “kalo gak boleh gak pa-pa.
Aku pulang lagi aja.”
“Kamu udah di jalan?” dipertanyaan itu,
terselip nada kaget. “sejak kapan aku
ngelarang kamu ketemu aku? Dateng ya dateng aja. Kamu hapal jalan, kan?”
“Hapal kok.”
“Jangan sampe nyasar, ya? Atau mau aku jemput aja?”
“Aku udah di
depan kantor kamu.”
Dia tertawa.
Tawa yang begitu merdu membuat kedua pipiku terasa memanas. Seorang satpam
menghampiriku dan memberi sapaan hangat. Aku mengatakan dengan jelas sedang
ingin bertemu dengan Revaldo Giofardo. Plan
manager di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang produksi foil.
Mereka sudah
mengenaliku. Aku memang sering berkunjung ke tempat pacarku bekerja. Walau
hanya duduk diam di ruangannya, menatap dia yang sibuk bekerja dan sesekali
memberiku senyuman hangat.
“Kalo udah nyampe kenapa gak langsung masuk? Kamu
barusan mau pulang lagi malahan.”
“Aku takut kamu
bosen ketemu aku.” Aku mengulum bibir. Mengisi formulir tamu, aku langsung
diberikan card bernomor. Menolak beberapa tawaran diantar masuk, aku
melambaikan tangan pada beberapa orang yang menyapa hangat.
Walau jabatannya
di kantor baru sebatas plan manager,
tetapi Aldo merupakan putra dari pemilik perusahaan ini. Wajar ketika semua
orang begitu menghormatinya walau seringkali dia bersikap dingin. Tidak aneh
juga saat semua orang di tempat ini memperlakukanku dengan hangat, apalagi saat
dia sama sekali tidak menyembunyikan hubungan kami yang sudah berjalan selama
beberapa tahun di depan publik.
Dia adalah yang
paling berharga...
Kekasihku yang
sangat sempurna.
“Aku ada tamu, aku tunggu di ruangan aku, ya?”
“Hu’umph.” Aku
mengangguk cepat, padahal dia tidak melihat. “See you.”
Dan telepon pun
ditutup. Kedua kaki yang ditopang heels
sembilan senti kini kuarahkan menuju gedung. Senyuman ramah kuberikan pada
resepsionis yang menanyakan apa keperluanku sebatas formalitas saja?
Aku langsung
pergi menuju ruangannya, jaraknya hanya sekitar dua puluh meter dari lobi. Aku
merapikan rambut yang digerai Mama dan diberi jepitan kupu-kupu. Sesampainya di
depan tempat kerjanya, aku disapa ramah oleh sekretarisnya.
Cewek itu
bilang, Pak Aldo sedang ada tamu.
Aku memutuskan
menunggu di depan pintu yang setengah terbuka, sedikit mengintip siapa yang
menjadi tamu pacarku karena ingin tahu? Sekretarisnya hanya membiarkan sikap
tidak sopanku saja. Dia tahu, pacar dari Revaldo Giofardo adalah seorang cewek
yang sangat posesif.
Over posesif.
“Aldo, aku
beneran ketemu dia di rumah sakit. Suster bilang dia pasien rawat jalan di
sana. Pacar kamu itu gila. Kenapa kamu terus pertahanin dia, sih? Kamu gak tau
selama ini dia boongin kamu?”
Itu suara
seorang cewek. Dan aku mengenali jelas siapa si pemilik suara walau hanya
menatap punggungnya saja. Dia adalah seseorang yang benar-benar aku benci,
seseorang yang dalam hati selalu aku sumpahi agar cepat mati.
Dia menghasut
Aldo agar meninggalkanku lagi.
Cewek murahan
yang bahkan hidupnya saja sama sekali tidak ada yang menginginkan.
Berbanding
terbalik dengan sikap Carel yang menggebu-gebu menatap sengit pacarku, Aldo
yang sedang duduk di kursi kerjanya hanya menatapnya datar tidak berminat.
Tidak menanggapi sama sekali.
“Apa kata
orangtua kamu kalo tau cewek yang kamu pilih ngalamin gangguan jiwa? Aku
bakalan bilang ini sama Tante.”
Aku
menggertakkan gigiku kesal, pacarku tetap mengatupkan rapat mulutnya sebelum
akhirnya dia bertopang dagu dan melemparkan tatapan malas pada Carel.
“Lo selalu punya
niat buat nyingkirin dia dari gue. Gimana caranya gue bisa percaya kalo apa
yang lo omongin itu bener? Bisa aja ini salah satu niat busuk lo lagi biar gue
sama Key cepet putus.”
Dia benar-benar
santai. Tidak ada sedikit pun emosi yang terkandung dari setiap bait kata yang
dia lontarkan.
“Tapi kali ini
aku serius, Al. Aku gak mau kamu nyesel belakangan.” Carel keukeuh. Dia
mendekati Aldo kemudian menggenggam bahu kanannya. Dia memberikan tatapan sedih
dan mengimbuhkan, “seenggaknya walo bukan sama aku kamu bisa cari cewek yang
waras, kan?”
“Hm?”
“Kita gak tau
kapan dia hilang akal dan justru berbalik nyakitin kamu.”
Tangan Carel
ditepis. Cowok berumur dua puluh enam tahun itu tampaknya merasa kesabarannya
mulai menipis.
“Pergi!”
“Aldo-”
“Sebelum gue
panggil satpam, mendingan lo pergi.” Aldo mendengus. Dia memberikan tatapan
bersahabat saat aku tanpa mengetuk dulu langsung membuka pintu. “Kamu udah
dateng?”
Carel
melemparkan tatapan permusuhan. Aku hanya balas menatapnya datar seolah tidak
mendengar apa pun yang tadi dia katakan. Aku berjalan masuk menghampiri
pacarku, cowok itu langsung berdiri, menghampiriku, dan mengelus puncak
kepalaku lembut.
“Lo kasih dia
mantera apa, sih?!” Carel murka. Dia mendorongku kasar membuat mundur beberapa
langkah. Kedua kakiku kembali stabil, Aldo mendorongnya kasar sampai dia
terdorong jauh dan nyaris jatuh terjungkal ke sofa.
“Jaga sikap lo
ma cewek gue.” Cowok di depanku itu menarik tangan kananku, melemparkan tatapan
membunuh pada cewek tidak tahu diri itu. “Tau tempat lo, Carel!”
“Aku bakalan
buktiin kalo dia cewek gak waras!” Carel berdiri, menghentakkan kaki kanannya
dan membenarkan posisi tasnya yang melorot. “Lo cewek gila yang gak seharusnya
ada di antara kami. Pihak ketiga~ orang ketiga itu seharusnya semua mati! Cewek
sinting!”
Dia bergegas
pergi. Aku tetap tidak mengatakan sepatah kata pun. Hanya melihat punggungnya
sampai menghilang di balik pintu. Aldo menutup pintu ruangannya, dia duduk di
sofa kemudian mengulurkan tangan kanannya, menarik tanganku agar segera duduk
di pangkuannya.
Kecupan
hangatnya membiasku. Aku berkedip beberapa kali saat dia mengecup pipiku lagi.
Dia memberikan senyuman manis, memamerkan lesung di pipi kiri.
“Kamu gak usah
denger apa yang dia omongin.” Aldo mengelus rambutku. “Dia cuma sampah yang
sama sekali gak ada artinya.”
“Dia tau.” Aku
menggertakkan gigi. “Dia pasti bilang sama orangtua kamu.”
“Gak penting
juga, kan?” cowok itu justru tersenyum menyebalkan. “Dia ngomong apa pun gak
perlu kita ambil pusing.”
Kecupan di
bahuku.
“Hari ini kamu
keliatan lebih gimana, ya? Mph...” tampaknya berusaha mengalihkan perhatian.
Aku balas menatap iris kelabunya penasaran. Memiringkan kepala ke kanan dan dia
memekik sebelum akhirnya menggesekkan hidung kami berdua. “Kawaii.”
“Aldo...” aku
memanggil lirih, meletakkan daguku di pundak kanannya, menatap lehernya yang
putih dan panjang. “Aku mau gigit kamu boleh?”
“Gigit aja.” Dia
meringis. Saat aku tiba-tiba saja menggigit perpotongan lehernya sampai
berdarah. Cowok itu justru mengelusi rambutku lembut, membiarkan kerah kemeja
putihnya kini dinodai warna merah. “Aku milik kamu sepenuhnya...” imbuhnya
serak. Dia memejamkan matanya rapat, mungkin menahan sakit.
Aku mengakhiri
gigitanku, tidak senang melihat wajah menahan sakitnya yang cukup mengganggu.
Bekas gigitannya kujilat perlahan, dia menahan napas, meringis kegelian.
Seringaianku melebar.
“Kamu masokis.”
Aku menusuk-nusuk pipinya dengan telunjuk. “Aku mau bunuh cewek itu, ah.”
“Jangan gitu...”
Aldo mengelus pipiku, mencium hidungku sekilas. “Aku gak mau pacar aku jadi
seorang pembunuh.”
***
Seharusnya,
semuanya memang seperti itu...
Aku tersenyum
miring, duduk di atas sebuah bangku kayu berhadapan dengan seseorang yang
kubenci sepenuh hati. Sosok itu kini terikat oleh tali kemudian kulilit dengan
kawat runcing. Semua benda ini kubeli sendiri. Bahkan, cewek tidak tahu diri
yang kini berdarah-darah di depanku saja aku yang menyeretnya ke tempat ini.
Tidak akan ada
yang tahu...
Aldo pun tidak
akan tahu kalau kami berada di tempat ini.
Rupanya,
pancinganku untuk bertemu berdua di dayang sumbi memang membuahkan hasil. Cewek
tolol itu datang sendiri sambil memasang wajah arogan, sebelum akhirnya hilang
kesadaran begitu kupukul kepalanya menggunakan botol dari belakang.
Aku
memasukkannya ke dalam mobilku.
Dan saat ini,
kami ada di rumah kosong warisan dari Nenekku yang meninggal beberapa tahun
lalu.
Rumah yang tidak
terurus.
“Lo bener-bener
cewek jahat.”
Dia Carel,
sekali pun kondisinya begitu mengenaskan, dengan banyak runcingan logam yang
menusuk kulit putihnya, dia masih bisa memakiku.
Aku tersenyum
kosong.
“Lepasin gue
sekarang juga, dasar cewek gila!”
“Terus, emangnya
kalo aku gila kenapa?” aku berkedip beberapa kali. Gaun violet milikku kini
tercemari cipratan-cipratan cairan berwarna merah. “Aldo aja gak masalah.”
“DIA GAK TAU!”
“Masa?” aku
tersenyum jenaka. Rambut panjangnya yang begitu halus kubelai-belai. Dia
meronta. “sampah ya tetep bakalan jadi sampah. Selamanya gak bakalan berubah,
apalagi sampai masyarakat kayak kamu.
“Mati aja mau,
ya?” aku bertanya dengan nada manis. Cewek yang wajahnya sudah memiliki banyak
lebam karena kupukul itu mendesis. Dia terlihat marah sekali.
Kenapa dia
marah?
Aku bahkan
selalu berkata baik padanya.
Kenapa dia
terlihat sangat membenciku?
Kenapa dia terus
berusaha memisahkan aku dengan Aldo?
“Cewek gak waras
kayak lo itu gak ada pantes-pantesnya buat Aldo.” Dia meludahi wajahku, aku
mundur selangkah, menghapus jejak ludahnya yang mengalir menyusuri pipi. “kalo
aja lo gak dateng gue sama Aldo pasti bakalan bahagia dari dulu. Orang ketiga gak
tau diri. Punya apa, sih, lo? Muka biasa aja, bibitnya dari keluarga susah. Apa
yang bikin Aldo bisa cinta mati sama lo? APA?!!”
Aku terdiam.
Menatapnya dengan pandangan kosong.
Kenapa?
Kepalaku miring
ke kanan, gunting yang kugenggam kini kucengkeram dengan erat.
Kenapa Aldo
cinta sama aku? Mungkin karena aku juga cinta sama dia, kan? Iya, kan?
“Satu-satu dia
punya aku, dua-dua dia cinta aku, tiga-tiga~” nyanyianku terhenti, aku kembali
menatapnya hampa. “Aku benci orang ketiga. Mereka semua HARUS MATI!!!” jeritku
kesal. Perutku melilit, dadaku panas. “MATI-MATI-MATI!!!”
Berusaha
mengatur napas sesaat, tidak lama kemudian aku bisa kembali tenang. Bibirku
bisa lagi mengukir lengkungan. Padahal aku tidak minum obat. Rupanya, therapi
yang Aldo berikan memang lebih membuahkan hasil daripada obat yang dokter
resepkan.
Aku menunduk,
menatap rambutnya yang benar-benar indah.
“Rambut kamu
bagus...” aku memuji tulus, mengulurkan lagi tanganku dan mengelusnya perlahan
begitu halus. “Aku potong, ya? Buat aku aja boleh?”
“SINGKIRIN
TANGAN LO!!!”
Dia terus saja
berteriak. Aku mulai berpikir, memangnya dia tidak capek apa? Aku saja yang
mendengarnya pusing kok. Untung rumah nenek itu letaknya benar-benar jauh dari
tetangga. Kalau sampai ada orang yang dengar kan malu.
Aku mulai
mengguntingi rambutnya yang indah, aku gunduli saja sekalian. Rambut cantik ini
nanti akan kusambung dengan rambutku sendiri. Aku akan meminta Mama untuk
menyambung rambut ini.
Aku bersenandung
kesenangan. Mulai tidak peduli sekali pun dia terus saja menyumpah memakiku.
“CEWEK
SIALAN!!!”
Tanganku
terhenti, rambutnya sudah rontok semua. Sekarang dia kelihatan gundul. Carel
menangis terisak dan menatapku tajam.
Apa aku berbuat
salah lagi?
“Mama bilang
nyumpah itu gak boleh.” Aku mengerutkan kening. “Kamu itu daritadi maki-maki
aku mulu. Aku kan jadi sakit hati.”
“Peduli setan
sama perasaan lo. LEPASIN GUE! LEPASIN GUE!!!” dia berteriak seperti orang
kesurupan. Aku mulai kesal setengah mati.
“LEPASIN GUE
CEWEK GAK WARAS!!!”
“Berisik!” aku
menggertak, kuberi dia pandangan menusuk. Ujung gunting yang kugenggam
kugesekkan dengan kulit pipinya. Meninggalkan garis luka mengeluarkan cairan
merah. Dia menjerit kesakitan. Cepat-cepat kujepit lidahnya kemudian kutarik
keluar.
Dia tampak
semakin menderita.
“Kamu itu gak
boleh sering-sering nyumpah. Mama bilang itu gak baik. Anak nakal harus
dihukum, yang sering nyumpah lidahnya nanti pasti dipotong.” Aku mengingatkan.
Keningku berkerut-kerut saat dia melotot garang. “Aku potong, ya?”
Dia menggeleng.
Aku merasa ekspresi wajahnya menarik sekali. Senyumanku kian melebar, tangan
kananku yang menggenggam gunting aku gunakan. Dia menolak, berusaha menarik
kembali lidahnya tapi tidak bisa. Kepalanya bergerak ke sana-kemari. Tapi
cengkeramanku benar-benar kuat.
Sebal karena dia
terus saja memberontak.
Kugunting saja
lidahnya sekaligus.
Lolongan
kesakitan menggema. Darah menyembur dari lidah buntungnya mengenai wajahku
karena tidak sempat mengelak.
Aku tertawa
lagi.
Potongan
lidahnya yang kugenggam kuletakkan di atas pangkuannya. Pakaian yang dia
kenakan semakin didominasi warna merah.
Merah yang
sangat cantik.
Aku suka sekali
melihatnya.
“Darahnya gak
mau berenti.” Aku menggumam, menunduk, aku melihat sapu tangan yang tadi sempat
aku jatuhkan. Segera kupungut, kemudian sementara tangan kiriku mencengkeram
agar rahangnya terbuka, tangan kananku menyumpalkan sapu tangan putih itu ke
dalam mulutnya.
Warnanya
langsung berubah merah.
Aku bertepuk
tangan.
“Kamu cocok
banget pake warna merah.” Aku merenggut. “Aku juga suka merah, tapi Aldo sering
marah kalo aku ngewarnain baju pake darah aku sendiri. Dia bilang dia benci,
jadinya gak bisa kayak kamu deh,”
Merasa sebal
dengan sikap menyebalkan pacarku, aku mulai curhat pada cewek di depanku.
Memutuskan untuk duduk lagi di bangku. Aku memperhatikan wajah basah dibanjiri
airmata dan noda darah itu sambil senyum-senyum.
Hasil karyaku
cantik sekali.
Menunduk, aku
melihat kedua kaki Carel yang masih utuh belum sempat kusentuh. Dia punya kaki
yang panjang dan putih. Kaki cantik yang membuatku sangat iri.
“Kaki kamu
bagus.” Aku memuji. Masih memberikan senyuman penuh kekaguman. Carel
menggelengkan kepalanya cepat-cepat. “Buat aku juga, ya?”
Gelengannya
semakin keras. Airmatanya mengalir kian banyak.
Pelit sekali.
Masa berbagi
saja tidak mau?
Aku menunduk
menatap kakiku sendiri. Warna kulitku juga putih, tapi tidak seramping milik
Carel. Dia benar-benar cantik. Aku semakin dibuatnya iri.
“Aku mau kaki
kamu.” Cemberut. Mengedarkan pandangan ke sekeliling, senyumanku kian melebar
saat di ujung ruangan menemukan sebuah kapak. “Ah, aku potong pake itu aja.”
Tunjukku ke
sebelah utara. Carel terus saja menggelengkan kepalanya.
Aku tidak
peduli.
Pokoknya aku mau
punya kaki ramping juga.
“Sebentar, ya?”
aku berdiri lagi, berjalan menuju sudut ruangan kemudian mengambil kapak yang
sudah berkarat. Hanya beberapa detik sebelum akhirnya kembali menghampirinya,
Carel menatapku memohon dan terus saja menggeleng tidak terima.
“Aku gak pernah
motong sesuatu. Tapi sebisa mungkin hati-hati kok.” tersenyum menenangkan,
berjongkok dan menarik kaki kanannya. Kuletakkan betisnya di paha kananku.
Aku mendongak,
dia berusaha menarik kakinya tapi tidak bisa.
Crash!
Pekikan menahan
sakit yang menyenangkan lagi-lagi kudengar. Ternyata, walau ramping kaki Carel
itu tulangnya kuat sekali.
Aku sampai harus
coba mengahantamnya berkali-kali. Melakukan kemampuan terbaik dan sesekali
mendongak ke arahnya yang terus saja memberontak dan menjerit-jerit.
Dia itu tidak
mau diam.
Pantas saja Aldo
benar-benar tidak menyukainya.
Selesai dengan
kaki kanan, aku melakukan hal yang sama pada kaki kirinya. Jeritan Carel
berbanding terbalik dengan tawaku yang kian menggelegar. Bajuku kini berubah
merah, wajahku juga basah terciprat darah.
Kedua kaki
kanannya kudapatkan. Aku simpan di samping bangkuku, aku duduk manis lagi di
sana sementara dia sudah nyaris kehilangan kesadaran. Dia ngantuk, ya?
Menelisik sekujur
tubuhnya, kembali menelisik kira-kira bagian mana lagi yang membuat aku bisa
berdecak iri? Tubuhku bergerak gelisah, tidak sabar memilah bagian mana lagi
yang bisa aku ambil?
Kemudian aku
melihat kelereng matanya.
Carel punya mata
hijau. Mata yang sangat cantik.
Aku juga mau
punya itu.
“Mata kamu
cantik.” Aku memuji. Tersenyum lebar. Gelengan lemah dia berikan. Membuatku
lagi-lagi menggeram. Kenapa dia itu pelit sekali, sih? Kenapa aku harus meminta
paksa semua hal yang aku minta darinya?
Aku berdiri
lagi, menghampirinya sambil melihat-lihat. Bisa tidak ya mengambil mata Carel
dengan gunting?
Aku mengambil
gunting yang sudah basah karena darah. Datang menghampirinya yang tidak bisa
berbuat apa-apa.
“Eh, telinga
kamu juga bagus. Buat aku, ah!” pekikku saat melihat telinganya yang putih.
Segera kubuntungkan dengan sekali potongan. Carel menjerit lagi. Aku memungut
telinga itu kemudian menempelkannya di telingaku sendiri.
Tidak menempel.
“Gak cocok.” Aku
mengeluh. Bibir mengerucut. “Yaudah deh, matanya aja, ya?”
Tangan kiriku
mencengkeramnya kemudian memaksanya mendongak, gunting yang digenggam tangan
kanan, ujungnya kugesekkan sepanjang wajahnya meninggalkan jejak darah setiap
gunting melewatinya.
Aku senang
sekali.
Sangat-sangat
senang.
Puas bermain
dengan wajahnya yang rupanya sudah tidak jelas, aku mulai mengarahkan ujung
guntingku ke bawah kelopak matanya. Sepertinya kulit Carel harus dikupas dulu
baru bisa mengambil matanya dengan benar.
Brak!
Pintu terbuka.
Aku berbalik dan
tersentak kaget saat melihat seseorang yang kini berdiri di ambang pintu. Dia
mengambil sebuah jerigen kemudian menatapku dengan sorot yang tidak bisa
kuartikan.
Aku gemetaran,
guntingnya tidak sengaja kujatuhkan.
Aldo masih
memakai pakaian kerjanya.
Dia
menghampiriku.
“Sayang kamu
sadar sama apa yang udah kamu lakuin?” tanyanya lirih. Dia melirik Carel
kemudian menahan napas. Gadis itu meringkik, sepertinya meminta pertolongan.
“Kamu nyiksa dia ampe segininya? Sendiri?”
“Bukan aku.” Aku
menggeleng cepat. Mataku panas. Airnya nyaris tumpah. Bagaimana ini? Bagaimana
kalau gara-gara ini Aldo akan meninggalkanku? Aldo pasti benci padaku. “Bukan
aku, Bi... bukan aku.”
“Kamu gak sadar
sama kondisi kamu sekarang?” Aldo berdecak. Tangan kanannya yang mengambil tas
dia ulurkan padaku, bibir hangatnya mengecup keningku sehingga darah yang ada
di sana juga menempel di bibirnya. “mandi sana, ganti bajunya sama ini. Baju
kotornya masukin ke tas lagi.”
Aku mengangguk.
Melirik ke belakang takut-takut, Carel tampak menatap Aldo penuh harap. Walau
aku tidak suka meninggalkan mereka berduaan, aku tetap menurut pergi ke kamar
mandi sambil sesekali melirik ke belakang.
Aku tidak mau membuat
pacarku itu semakin marah.
Butuh nyaris
lima belas menit untuk mandi. Saat kembali ke ruangan tadi, Aldo tampak
menyiramkan air menyengat ke sekeliling ruangan. Aku menghampiri pacarku dan
melirik Carel sekilas. Gadis itu punya luka baru, wajahnya, dan paling terlihat
itu tangannya. Dia tidak punya jari lagi.
Uhm?
Memangnya tadi
aku memotong jarinya, ya?
Aku lupa.
“Kamu udah
selesai mandi?” Aldo menghampiriku, dia mengelus pipiku lembut. Segera
kuanggukkan dengan semangat. “Kalo gitu ayo kita keluar.”
Eh?
Keluar?
Aku menoleh pada
Carel yang menatap hampa ke depan. Dia terlihat merah dan mengkilap seperti
baru saja disiram air. Tapi tidak berani bertanya, aku menurut saja saat Aldo
menyeret tanganku agar keluar dari rumah Nenek.
Rumah Nenek
padahal cantik.
Di ruang tengah,
aku menebar cat warna merah berkat potongan bagusku di badan Carel.
“Masuk mobil.”
Perintahnya mutlak. Aku mengangguk, segera memasukki mobil, duduk manis di jok
samping kemudi.
Menunggu
beberapa saat, Aldo ikut masuk mobil juga. Segera aku berbalik mengintip ke
belakang saat mendengar sebuah ledakkan. Mobil melaju kencang, meninggalkan
kobaran merah yang menjalar nyaris mencapai angkasa.
Hebat sekali.
Rumah Nenek
meledak.
Api merah
menyala-nyala melahap semua yang ada di sekitarnya.
“Aldo, Carel
ketinggalan.” Aku mengingatkan. Teman bermainku hari ini masih ada di dalam
rumah yang ditelan api.
“Aku udah ngajak
dia pergi, tapi dia terus nolak. Makanya aku biarin aja.” Aldo beralasan. Aku
menoleh padanya dan mengangguk saja. Dia mengulum senyum.
“Ini...” dia
memberiku sebuah plastik hitam. Aku menerimanya kemudian membuka isinya. Mataku
sedikit melebar. “Oleh-oleh karena hari ini kamu jadi anak baik.”
“Humph!
Makasih!” aku tersenyum senang. Merogoh isinya, mengambil sebuah benda mirip
jari manis yang dilingkari cincin berlian. “Aldo, cincinnya sama kayak cincin
Carel, ya?”
Dia tidak
menjawab. Bibir itu hanya megulum seringaian tanpa arti sebelum akhirnya dia
bergumam, “Kayaknya, kamu emang cepet ngerti sama semua yang selalu aku
ajarin.”
Tamat
Ngh... no komen. Sebenernya awalnya lebih rinci ma
kejam lagi. Tapi saya sebagai penulis ngerasa agak sadis nyiksa tokoh sendiri.
Jadinya diedit berulang2. Ini kayaknya paling pas. Gak terlalu kerasa gorenya.
Makasih udah baca.
0 komentar:
Posting Komentar