Satu... Dua...

| Minggu, 15 Januari 2017



“Udah selesai diperiksanya?”
“Udah.”
“Dokter bilang apa?”
“Dokter gak bilang sama aku, dia ngomong ke Mama.” Aku menjawab datar. Mataku menatap lurus ke depan. tangan kiriku masih menempelkan ponsel ke telinga kiri, sementara tangan kanan memeluk tas biru muda yang satu warna dengan gaun yang kupakai hari ini.
Cowok yang menjadi lawan bicaraku ditelepon diam beberapa saat. Entah kenapa saat ini aku merasa dia pasti sedang tersenyum?
Pagi ini kamu gak marah-marah, kan?” pertanyaan itu adalah pertanyaan yang selalu dia ucapkan setiap harinya. “kamu minum obat kamu?”
“Aku minum, kamu yang nyuruh.” Aku mencicit. “Mau ke kantor kamu boleh?”
“Sama Mama?”
“Sendiri. Mama aku suruh pulang,” jawabku cepat. Dia tidak menjawab. Aku bergerak gelisah, mungkin dia tidak senang aku datang ke kantornya. “kalo gak boleh gak pa-pa. Aku pulang lagi aja.”
Kamu udah di jalan?” dipertanyaan itu, terselip nada kaget. “sejak kapan aku ngelarang kamu ketemu aku? Dateng ya dateng aja. Kamu hapal jalan, kan?”
“Hapal kok.”
“Jangan sampe nyasar, ya? Atau mau aku jemput aja?”
“Aku udah di depan kantor kamu.”
Dia tertawa. Tawa yang begitu merdu membuat kedua pipiku terasa memanas. Seorang satpam menghampiriku dan memberi sapaan hangat. Aku mengatakan dengan jelas sedang ingin bertemu dengan Revaldo Giofardo. Plan manager di sebuah perusahaan yang bergerak di bidang produksi foil.
Mereka sudah mengenaliku. Aku memang sering berkunjung ke tempat pacarku bekerja. Walau hanya duduk diam di ruangannya, menatap dia yang sibuk bekerja dan sesekali memberiku senyuman hangat.
“Kalo udah nyampe kenapa gak langsung masuk? Kamu barusan mau pulang lagi malahan.”
“Aku takut kamu bosen ketemu aku.” Aku mengulum bibir. Mengisi formulir tamu, aku langsung diberikan card bernomor. Menolak beberapa tawaran diantar masuk, aku melambaikan tangan pada beberapa orang yang menyapa hangat.
Walau jabatannya di kantor baru sebatas plan manager, tetapi Aldo merupakan putra dari pemilik perusahaan ini. Wajar ketika semua orang begitu menghormatinya walau seringkali dia bersikap dingin. Tidak aneh juga saat semua orang di tempat ini memperlakukanku dengan hangat, apalagi saat dia sama sekali tidak menyembunyikan hubungan kami yang sudah berjalan selama beberapa tahun di depan publik.
Dia adalah yang paling berharga...
Kekasihku yang sangat sempurna.
“Aku ada tamu, aku tunggu di ruangan aku, ya?”
“Hu’umph.” Aku mengangguk cepat, padahal dia tidak melihat. “See you.”
Dan telepon pun ditutup. Kedua kaki yang ditopang heels sembilan senti kini kuarahkan menuju gedung. Senyuman ramah kuberikan pada resepsionis yang menanyakan apa keperluanku sebatas formalitas saja?
Aku langsung pergi menuju ruangannya, jaraknya hanya sekitar dua puluh meter dari lobi. Aku merapikan rambut yang digerai Mama dan diberi jepitan kupu-kupu. Sesampainya di depan tempat kerjanya, aku disapa ramah oleh sekretarisnya.
Cewek itu bilang, Pak Aldo sedang ada tamu.
Aku memutuskan menunggu di depan pintu yang setengah terbuka, sedikit mengintip siapa yang menjadi tamu pacarku karena ingin tahu? Sekretarisnya hanya membiarkan sikap tidak sopanku saja. Dia tahu, pacar dari Revaldo Giofardo adalah seorang cewek yang sangat posesif.
Over posesif.
“Aldo, aku beneran ketemu dia di rumah sakit. Suster bilang dia pasien rawat jalan di sana. Pacar kamu itu gila. Kenapa kamu terus pertahanin dia, sih? Kamu gak tau selama ini dia boongin kamu?”
Itu suara seorang cewek. Dan aku mengenali jelas siapa si pemilik suara walau hanya menatap punggungnya saja. Dia adalah seseorang yang benar-benar aku benci, seseorang yang dalam hati selalu aku sumpahi agar cepat mati.
Dia menghasut Aldo agar meninggalkanku lagi.
Cewek murahan yang bahkan hidupnya saja sama sekali tidak ada yang menginginkan.
Berbanding terbalik dengan sikap Carel yang menggebu-gebu menatap sengit pacarku, Aldo yang sedang duduk di kursi kerjanya hanya menatapnya datar tidak berminat. Tidak menanggapi sama sekali.
“Apa kata orangtua kamu kalo tau cewek yang kamu pilih ngalamin gangguan jiwa? Aku bakalan bilang ini sama Tante.”
Aku menggertakkan gigiku kesal, pacarku tetap mengatupkan rapat mulutnya sebelum akhirnya dia bertopang dagu dan melemparkan tatapan malas pada Carel.
“Lo selalu punya niat buat nyingkirin dia dari gue. Gimana caranya gue bisa percaya kalo apa yang lo omongin itu bener? Bisa aja ini salah satu niat busuk lo lagi biar gue sama Key cepet putus.”
Dia benar-benar santai. Tidak ada sedikit pun emosi yang terkandung dari setiap bait kata yang dia lontarkan.
“Tapi kali ini aku serius, Al. Aku gak mau kamu nyesel belakangan.” Carel keukeuh. Dia mendekati Aldo kemudian menggenggam bahu kanannya. Dia memberikan tatapan sedih dan mengimbuhkan, “seenggaknya walo bukan sama aku kamu bisa cari cewek yang waras, kan?”
“Hm?”
“Kita gak tau kapan dia hilang akal dan justru berbalik nyakitin kamu.”
Tangan Carel ditepis. Cowok berumur dua puluh enam tahun itu tampaknya merasa kesabarannya mulai menipis.
“Pergi!”
“Aldo-”
“Sebelum gue panggil satpam, mendingan lo pergi.” Aldo mendengus. Dia memberikan tatapan bersahabat saat aku tanpa mengetuk dulu langsung membuka pintu. “Kamu udah dateng?”
Carel melemparkan tatapan permusuhan. Aku hanya balas menatapnya datar seolah tidak mendengar apa pun yang tadi dia katakan. Aku berjalan masuk menghampiri pacarku, cowok itu langsung berdiri, menghampiriku, dan mengelus puncak kepalaku lembut.
“Lo kasih dia mantera apa, sih?!” Carel murka. Dia mendorongku kasar membuat mundur beberapa langkah. Kedua kakiku kembali stabil, Aldo mendorongnya kasar sampai dia terdorong jauh dan nyaris jatuh terjungkal ke sofa.
“Jaga sikap lo ma cewek gue.” Cowok di depanku itu menarik tangan kananku, melemparkan tatapan membunuh pada cewek tidak tahu diri itu. “Tau tempat lo, Carel!”
“Aku bakalan buktiin kalo dia cewek gak waras!” Carel berdiri, menghentakkan kaki kanannya dan membenarkan posisi tasnya yang melorot. “Lo cewek gila yang gak seharusnya ada di antara kami. Pihak ketiga~ orang ketiga itu seharusnya semua mati! Cewek sinting!”
Dia bergegas pergi. Aku tetap tidak mengatakan sepatah kata pun. Hanya melihat punggungnya sampai menghilang di balik pintu. Aldo menutup pintu ruangannya, dia duduk di sofa kemudian mengulurkan tangan kanannya, menarik tanganku agar segera duduk di pangkuannya.
Kecupan hangatnya membiasku. Aku berkedip beberapa kali saat dia mengecup pipiku lagi. Dia memberikan senyuman manis, memamerkan lesung di pipi kiri.
“Kamu gak usah denger apa yang dia omongin.” Aldo mengelus rambutku. “Dia cuma sampah yang sama sekali gak ada artinya.”
“Dia tau.” Aku menggertakkan gigi. “Dia pasti bilang sama orangtua kamu.”
“Gak penting juga, kan?” cowok itu justru tersenyum menyebalkan. “Dia ngomong apa pun gak perlu kita ambil pusing.”
Kecupan di bahuku.
“Hari ini kamu keliatan lebih gimana, ya? Mph...” tampaknya berusaha mengalihkan perhatian. Aku balas menatap iris kelabunya penasaran. Memiringkan kepala ke kanan dan dia memekik sebelum akhirnya menggesekkan hidung kami berdua. “Kawaii.”
“Aldo...” aku memanggil lirih, meletakkan daguku di pundak kanannya, menatap lehernya yang putih dan panjang. “Aku mau gigit kamu boleh?”
“Gigit aja.” Dia meringis. Saat aku tiba-tiba saja menggigit perpotongan lehernya sampai berdarah. Cowok itu justru mengelusi rambutku lembut, membiarkan kerah kemeja putihnya kini dinodai warna merah. “Aku milik kamu sepenuhnya...” imbuhnya serak. Dia memejamkan matanya rapat, mungkin menahan sakit.
Aku mengakhiri gigitanku, tidak senang melihat wajah menahan sakitnya yang cukup mengganggu. Bekas gigitannya kujilat perlahan, dia menahan napas, meringis kegelian. Seringaianku melebar.
“Kamu masokis.” Aku menusuk-nusuk pipinya dengan telunjuk. “Aku mau bunuh cewek itu, ah.”
“Jangan gitu...” Aldo mengelus pipiku, mencium hidungku sekilas. “Aku gak mau pacar aku jadi seorang pembunuh.”
***
Seharusnya, semuanya memang seperti itu...
Aku tersenyum miring, duduk di atas sebuah bangku kayu berhadapan dengan seseorang yang kubenci sepenuh hati. Sosok itu kini terikat oleh tali kemudian kulilit dengan kawat runcing. Semua benda ini kubeli sendiri. Bahkan, cewek tidak tahu diri yang kini berdarah-darah di depanku saja aku yang menyeretnya ke tempat ini.
Tidak akan ada yang tahu...
Aldo pun tidak akan tahu kalau kami berada di tempat ini.
Rupanya, pancinganku untuk bertemu berdua di dayang sumbi memang membuahkan hasil. Cewek tolol itu datang sendiri sambil memasang wajah arogan, sebelum akhirnya hilang kesadaran begitu kupukul kepalanya menggunakan botol dari belakang.
Aku memasukkannya ke dalam mobilku.
Dan saat ini, kami ada di rumah kosong warisan dari Nenekku yang meninggal beberapa tahun lalu.
Rumah yang tidak terurus.
“Lo bener-bener cewek jahat.”
Dia Carel, sekali pun kondisinya begitu mengenaskan, dengan banyak runcingan logam yang menusuk kulit putihnya, dia masih bisa memakiku.
Aku tersenyum kosong.
“Lepasin gue sekarang juga, dasar cewek gila!”
“Terus, emangnya kalo aku gila kenapa?” aku berkedip beberapa kali. Gaun violet milikku kini tercemari cipratan-cipratan cairan berwarna merah. “Aldo aja gak masalah.”
“DIA GAK TAU!”
“Masa?” aku tersenyum jenaka. Rambut panjangnya yang begitu halus kubelai-belai. Dia meronta. “sampah ya tetep bakalan jadi sampah. Selamanya gak bakalan berubah, apalagi sampai masyarakat kayak kamu.
“Mati aja mau, ya?” aku bertanya dengan nada manis. Cewek yang wajahnya sudah memiliki banyak lebam karena kupukul itu mendesis. Dia terlihat marah sekali.
Kenapa dia marah?
Aku bahkan selalu berkata baik padanya.
Kenapa dia terlihat sangat membenciku?
Kenapa dia terus berusaha memisahkan aku dengan Aldo?
“Cewek gak waras kayak lo itu gak ada pantes-pantesnya buat Aldo.” Dia meludahi wajahku, aku mundur selangkah, menghapus jejak ludahnya yang mengalir menyusuri pipi. “kalo aja lo gak dateng gue sama Aldo pasti bakalan bahagia dari dulu. Orang ketiga gak tau diri. Punya apa, sih, lo? Muka biasa aja, bibitnya dari keluarga susah. Apa yang bikin Aldo bisa cinta mati sama lo? APA?!!”
Aku terdiam. Menatapnya dengan pandangan kosong.
Kenapa?
Kepalaku miring ke kanan, gunting yang kugenggam kini kucengkeram dengan erat.
Kenapa Aldo cinta sama aku? Mungkin karena aku juga cinta sama dia, kan? Iya, kan?
“Satu-satu dia punya aku, dua-dua dia cinta aku, tiga-tiga~” nyanyianku terhenti, aku kembali menatapnya hampa. “Aku benci orang ketiga. Mereka semua HARUS MATI!!!” jeritku kesal. Perutku melilit, dadaku panas. “MATI-MATI-MATI!!!”
Berusaha mengatur napas sesaat, tidak lama kemudian aku bisa kembali tenang. Bibirku bisa lagi mengukir lengkungan. Padahal aku tidak minum obat. Rupanya, therapi yang Aldo berikan memang lebih membuahkan hasil daripada obat yang dokter resepkan.
Aku menunduk, menatap rambutnya yang benar-benar indah.
“Rambut kamu bagus...” aku memuji tulus, mengulurkan lagi tanganku dan mengelusnya perlahan begitu halus. “Aku potong, ya? Buat aku aja boleh?”
“SINGKIRIN TANGAN LO!!!”
Dia terus saja berteriak. Aku mulai berpikir, memangnya dia tidak capek apa? Aku saja yang mendengarnya pusing kok. Untung rumah nenek itu letaknya benar-benar jauh dari tetangga. Kalau sampai ada orang yang dengar kan malu.
Aku mulai mengguntingi rambutnya yang indah, aku gunduli saja sekalian. Rambut cantik ini nanti akan kusambung dengan rambutku sendiri. Aku akan meminta Mama untuk menyambung rambut ini.
Aku bersenandung kesenangan. Mulai tidak peduli sekali pun dia terus saja menyumpah memakiku.
“CEWEK SIALAN!!!”
Tanganku terhenti, rambutnya sudah rontok semua. Sekarang dia kelihatan gundul. Carel menangis terisak dan menatapku tajam.
Apa aku berbuat salah lagi?
“Mama bilang nyumpah itu gak boleh.” Aku mengerutkan kening. “Kamu itu daritadi maki-maki aku mulu. Aku kan jadi sakit hati.”
“Peduli setan sama perasaan lo. LEPASIN GUE! LEPASIN GUE!!!” dia berteriak seperti orang kesurupan. Aku mulai kesal setengah mati.
“LEPASIN GUE CEWEK GAK WARAS!!!”
“Berisik!” aku menggertak, kuberi dia pandangan menusuk. Ujung gunting yang kugenggam kugesekkan dengan kulit pipinya. Meninggalkan garis luka mengeluarkan cairan merah. Dia menjerit kesakitan. Cepat-cepat kujepit lidahnya kemudian kutarik keluar.
Dia tampak semakin menderita.
“Kamu itu gak boleh sering-sering nyumpah. Mama bilang itu gak baik. Anak nakal harus dihukum, yang sering nyumpah lidahnya nanti pasti dipotong.” Aku mengingatkan. Keningku berkerut-kerut saat dia melotot garang. “Aku potong, ya?”
Dia menggeleng. Aku merasa ekspresi wajahnya menarik sekali. Senyumanku kian melebar, tangan kananku yang menggenggam gunting aku gunakan. Dia menolak, berusaha menarik kembali lidahnya tapi tidak bisa. Kepalanya bergerak ke sana-kemari. Tapi cengkeramanku benar-benar kuat.
Sebal karena dia terus saja memberontak.
Kugunting saja lidahnya sekaligus.
Lolongan kesakitan menggema. Darah menyembur dari lidah buntungnya mengenai wajahku karena tidak sempat mengelak.
Aku tertawa lagi.
Potongan lidahnya yang kugenggam kuletakkan di atas pangkuannya. Pakaian yang dia kenakan semakin didominasi warna merah.
Merah yang sangat cantik.
Aku suka sekali melihatnya.
“Darahnya gak mau berenti.” Aku menggumam, menunduk, aku melihat sapu tangan yang tadi sempat aku jatuhkan. Segera kupungut, kemudian sementara tangan kiriku mencengkeram agar rahangnya terbuka, tangan kananku menyumpalkan sapu tangan putih itu ke dalam mulutnya.
Warnanya langsung berubah merah.
Aku bertepuk tangan.
“Kamu cocok banget pake warna merah.” Aku merenggut. “Aku juga suka merah, tapi Aldo sering marah kalo aku ngewarnain baju pake darah aku sendiri. Dia bilang dia benci, jadinya gak bisa kayak kamu deh,”
Merasa sebal dengan sikap menyebalkan pacarku, aku mulai curhat pada cewek di depanku. Memutuskan untuk duduk lagi di bangku. Aku memperhatikan wajah basah dibanjiri airmata dan noda darah itu sambil senyum-senyum.
Hasil karyaku cantik sekali.
Menunduk, aku melihat kedua kaki Carel yang masih utuh belum sempat kusentuh. Dia punya kaki yang panjang dan putih. Kaki cantik yang membuatku sangat iri.
“Kaki kamu bagus.” Aku memuji. Masih memberikan senyuman penuh kekaguman. Carel menggelengkan kepalanya cepat-cepat. “Buat aku juga, ya?”
Gelengannya semakin keras. Airmatanya mengalir kian banyak.
Pelit sekali.
Masa berbagi saja tidak mau?
Aku menunduk menatap kakiku sendiri. Warna kulitku juga putih, tapi tidak seramping milik Carel. Dia benar-benar cantik. Aku semakin dibuatnya iri.
“Aku mau kaki kamu.” Cemberut. Mengedarkan pandangan ke sekeliling, senyumanku kian melebar saat di ujung ruangan menemukan sebuah kapak. “Ah, aku potong pake itu aja.”
Tunjukku ke sebelah utara. Carel terus saja menggelengkan kepalanya.
Aku tidak peduli.
Pokoknya aku mau punya kaki ramping juga.
“Sebentar, ya?” aku berdiri lagi, berjalan menuju sudut ruangan kemudian mengambil kapak yang sudah berkarat. Hanya beberapa detik sebelum akhirnya kembali menghampirinya, Carel menatapku memohon dan terus saja menggeleng tidak terima.
“Aku gak pernah motong sesuatu. Tapi sebisa mungkin hati-hati kok.” tersenyum menenangkan, berjongkok dan menarik kaki kanannya. Kuletakkan betisnya di paha kananku.
Aku mendongak, dia berusaha menarik kakinya tapi tidak bisa.
Crash!
Pekikan menahan sakit yang menyenangkan lagi-lagi kudengar. Ternyata, walau ramping kaki Carel itu tulangnya kuat sekali.
Aku sampai harus coba mengahantamnya berkali-kali. Melakukan kemampuan terbaik dan sesekali mendongak ke arahnya yang terus saja memberontak dan menjerit-jerit.
Dia itu tidak mau diam.
Pantas saja Aldo benar-benar tidak menyukainya.
Selesai dengan kaki kanan, aku melakukan hal yang sama pada kaki kirinya. Jeritan Carel berbanding terbalik dengan tawaku yang kian menggelegar. Bajuku kini berubah merah, wajahku juga basah terciprat darah.
Kedua kaki kanannya kudapatkan. Aku simpan di samping bangkuku, aku duduk manis lagi di sana sementara dia sudah nyaris kehilangan kesadaran. Dia ngantuk, ya?
Menelisik sekujur tubuhnya, kembali menelisik kira-kira bagian mana lagi yang membuat aku bisa berdecak iri? Tubuhku bergerak gelisah, tidak sabar memilah bagian mana lagi yang bisa aku ambil?
Kemudian aku melihat kelereng matanya.
Carel punya mata hijau. Mata yang sangat cantik.
Aku juga mau punya itu.
“Mata kamu cantik.” Aku memuji. Tersenyum lebar. Gelengan lemah dia berikan. Membuatku lagi-lagi menggeram. Kenapa dia itu pelit sekali, sih? Kenapa aku harus meminta paksa semua hal yang aku minta darinya?
Aku berdiri lagi, menghampirinya sambil melihat-lihat. Bisa tidak ya mengambil mata Carel dengan gunting?
Aku mengambil gunting yang sudah basah karena darah. Datang menghampirinya yang tidak bisa berbuat apa-apa.
“Eh, telinga kamu juga bagus. Buat aku, ah!” pekikku saat melihat telinganya yang putih. Segera kubuntungkan dengan sekali potongan. Carel menjerit lagi. Aku memungut telinga itu kemudian menempelkannya di telingaku sendiri.
Tidak menempel.
“Gak cocok.” Aku mengeluh. Bibir mengerucut. “Yaudah deh, matanya aja, ya?”
Tangan kiriku mencengkeramnya kemudian memaksanya mendongak, gunting yang digenggam tangan kanan, ujungnya kugesekkan sepanjang wajahnya meninggalkan jejak darah setiap gunting melewatinya.
Aku senang sekali.
Sangat-sangat senang.
Puas bermain dengan wajahnya yang rupanya sudah tidak jelas, aku mulai mengarahkan ujung guntingku ke bawah kelopak matanya. Sepertinya kulit Carel harus dikupas dulu baru bisa mengambil matanya dengan benar.
Brak!
Pintu terbuka.
Aku berbalik dan tersentak kaget saat melihat seseorang yang kini berdiri di ambang pintu. Dia mengambil sebuah jerigen kemudian menatapku dengan sorot yang tidak bisa kuartikan.
Aku gemetaran, guntingnya tidak sengaja kujatuhkan.
Aldo masih memakai pakaian kerjanya.
Dia menghampiriku.
“Sayang kamu sadar sama apa yang udah kamu lakuin?” tanyanya lirih. Dia melirik Carel kemudian menahan napas. Gadis itu meringkik, sepertinya meminta pertolongan. “Kamu nyiksa dia ampe segininya? Sendiri?”
“Bukan aku.” Aku menggeleng cepat. Mataku panas. Airnya nyaris tumpah. Bagaimana ini? Bagaimana kalau gara-gara ini Aldo akan meninggalkanku? Aldo pasti benci padaku. “Bukan aku, Bi... bukan aku.”
“Kamu gak sadar sama kondisi kamu sekarang?” Aldo berdecak. Tangan kanannya yang mengambil tas dia ulurkan padaku, bibir hangatnya mengecup keningku sehingga darah yang ada di sana juga menempel di bibirnya. “mandi sana, ganti bajunya sama ini. Baju kotornya masukin ke tas lagi.”
Aku mengangguk. Melirik ke belakang takut-takut, Carel tampak menatap Aldo penuh harap. Walau aku tidak suka meninggalkan mereka berduaan, aku tetap menurut pergi ke kamar mandi sambil sesekali melirik ke belakang.
Aku tidak mau membuat pacarku itu semakin marah.
Butuh nyaris lima belas menit untuk mandi. Saat kembali ke ruangan tadi, Aldo tampak menyiramkan air menyengat ke sekeliling ruangan. Aku menghampiri pacarku dan melirik Carel sekilas. Gadis itu punya luka baru, wajahnya, dan paling terlihat itu tangannya. Dia tidak punya jari lagi.
Uhm?
Memangnya tadi aku memotong jarinya, ya?
Aku lupa.
“Kamu udah selesai mandi?” Aldo menghampiriku, dia mengelus pipiku lembut. Segera kuanggukkan dengan semangat. “Kalo gitu ayo kita keluar.”
Eh?
Keluar?
Aku menoleh pada Carel yang menatap hampa ke depan. Dia terlihat merah dan mengkilap seperti baru saja disiram air. Tapi tidak berani bertanya, aku menurut saja saat Aldo menyeret tanganku agar keluar dari rumah Nenek.
Rumah Nenek padahal cantik.
Di ruang tengah, aku menebar cat warna merah berkat potongan bagusku di badan Carel.
“Masuk mobil.” Perintahnya mutlak. Aku mengangguk, segera memasukki mobil, duduk manis di jok samping kemudi.
Menunggu beberapa saat, Aldo ikut masuk mobil juga. Segera aku berbalik mengintip ke belakang saat mendengar sebuah ledakkan. Mobil melaju kencang, meninggalkan kobaran merah yang menjalar nyaris mencapai angkasa.
Hebat sekali.
Rumah Nenek meledak.
Api merah menyala-nyala melahap semua yang ada di sekitarnya.
“Aldo, Carel ketinggalan.” Aku mengingatkan. Teman bermainku hari ini masih ada di dalam rumah yang ditelan api.
“Aku udah ngajak dia pergi, tapi dia terus nolak. Makanya aku biarin aja.” Aldo beralasan. Aku menoleh padanya dan mengangguk saja. Dia mengulum senyum.
“Ini...” dia memberiku sebuah plastik hitam. Aku menerimanya kemudian membuka isinya. Mataku sedikit melebar. “Oleh-oleh karena hari ini kamu jadi anak baik.”
“Humph! Makasih!” aku tersenyum senang. Merogoh isinya, mengambil sebuah benda mirip jari manis yang dilingkari cincin berlian. “Aldo, cincinnya sama kayak cincin Carel, ya?”
Dia tidak menjawab. Bibir itu hanya megulum seringaian tanpa arti sebelum akhirnya dia bergumam, “Kayaknya, kamu emang cepet ngerti sama semua yang selalu aku ajarin.”
Tamat
Ngh... no komen. Sebenernya awalnya lebih rinci ma kejam lagi. Tapi saya sebagai penulis ngerasa agak sadis nyiksa tokoh sendiri. Jadinya diedit berulang2. Ini kayaknya paling pas. Gak terlalu kerasa gorenya.
Makasih udah baca.

0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲