Still For You, Andrew (Delapan)

| Jumat, 13 Januari 2017


Tik-tik-tik
Hanya dentuman jarum jam yang menyemarakkan suasana kamar Anggun yang malam itu berlangsung hening. Tetap membuka mata disaat hari menjelang tengah malam, matanya yang bulat tetap terbuka sempurna seolah tidak memiliki pilihan untuk mengistirahatkan raganya.
Dalam dekapan hangat suaminya, Anggun terus saja memikirkan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang akan dialaminya karena keberadaan seorang Edward. Perselingkuhan, pailitnya perusahaan, anak tiri, dan entah nanti apa lagi? Edward sungguh-sungguh dengan ancamannya, ia bahkan memastikan Anggun sama sekali tidak dimiliki ruang bebas untuk menghela napas begitu ia bisa melewati ujian berat untuk keutuhan rumah tangganya.
Anggun sedikit mendongakan kepalanya, menatap wajah damai Andrew yang terlelap dibuai mimpinya, tetap memeluknya posesif seakan takut Anggun akan meninggalkannya jika sampai Andrew melepaskannya. Wajah damai ini… kenapa tidak menunjukkan sifat brengseknya sama sekali?
Perlahan tangan Anggun terulur, ia menyentuh pipi Andrew yang terasa halus dan kasar bersamaan di telapak tangannya, membelai lembut lalu naik ke kedua kelopak matanya yang tertutup. Turun, telunjuknya turun mengusap hidung mancung suaminya yang menghembuskan napas teratur, lalu turun ke bibir merah sang suami yang tidak ada hitam-hitamnya sekalipun dulu Andrew sempat menjadi pecandu rokok.
“Andrew… aku kedinginan…” bisik Anggun seduktif.
Seolah diberi sugesti, Andrew mempererat pelukannya, matanya masih terpejam dengan tangan yang melingkar posesif di pinggang Anggun. Anggun cekikikkan, mengerjai Andrew yang sedang tidur memang menjadi kesenangan tersendiri baginya semenjak ia dan suaminya itu menikah. Andrew… selalu berusaha melakukan apa pun yang diinginkannya saat ia tidur.
“Andrew… lenganku sakit…”
Dan secara ajaibnya, Andrew yang masih tertidur lelap itu mengelus-elus lengan Anggun, ia hanya menggumam tidak jelas lalu menyamankan posisinya yang tidur miring. Anggun menahan napas, perlakuan Andrew padanya yang dilakukan secara tidak sadar itu justru membuatnya semakin jatuh cinta, tidak menyesali pernikahan mereka sekali pun masalah yang mereka hadapi seolah tidak ada habisnya.
Anggun menggenggam tangan Andrew yang mengelusnya lalu menurunkannya, tidak ingin tangan Andrew terasa pegal saat besok pagi Andrew bangun diakibatkan mengelus lengan Anggun semalaman. Ia membalas pelukan Andrew dan menenggelamkan kepalanya di dada bidang sang suami yang tidak pernah mau mengenakan baju saat tertidur.
Menggigit bibir bawahnya menahan luka di hati, Anggun hanya bisa memejamkan matanya rapat berusaha menetralisir rasa sakit. Ia akan bertahan, yah, ia akan bertahan. Untuk suaminya, untuk anak-anaknya, dan untuk… kebahagiaannya sendiri.
Mata Anggun memanas, tanpa sadar ia kembali menangis terisak dalam pelukan Andrew yang begitu dicintainya, menggumamkan beberapa kata lirih, lalu berusaha mencari posisi nyaman untuk tidur.
“Aku sangat mencintaimu… Andrew…”
Hening…
Tak ada sahutan balasan, memangnya apa yang Anggun harapkan dari seseorang yang sedang tertidur lelap?
“Aku juga…” gumam Andrew serak. “Sangat… Anggun.”
Dan kalimat balasan itu, sanggup membuat Anggun mengukir seulas senyuman tipis kemudian tertidur lelap sampai esok pagi.

Terkadang cinta memang tidak membutuhkan lisan…
Namun tak urung kalimat pun bisa menguatkan sebuah ikatan…
***
“Apa itu?” Tanya Anggun begitu ia memasuki kamar. Duduk di samping kanan Andrew yang tampak termenung sambil membaca sebuah kertas. Andrew menoleh sebentar kemudian menggeleng, ia tertunduk semakin lesu.
Anggun mengernyit bingung kemudian mencuri baca. Penasaran kenapa suaminya mendadak murung begitu membaca selembar kertas itu?
Anggun awalnya sedikit terbelalak, kemudian ia menghela napas dan menyandarkan kepalanya di bahu Andrew, berusaha meyakinkan suaminya bahwa semua akan baik-baik saja. Masalah ini tidak sepelik apa yang Andrew pikirkan, tidak akan sesakit apa yang Anggun rasakan, kalau saja… mereka mau menerima arus kehidupan.
Anggun tersenyum tipis dan mengecup pundak Andrew sekilas, tangannya terulur menggenggam tangan kanan Andrew yang kosong, menyalurkan kehangatan yang hanya bisa Andrew dapatkan darinya. Hanya dari seorang Anggun saja.
“Kapan kau melakukan tes DNA?” Tanya Anggun. Andrew menggeleng lalu membuang napas kasar.
“Minggu lalu.” Andrew menjawab tidak yakin. “Dia benar-benar anakku.”
“Yah…” Anggun mengangguk. Ia sedikit mencuri lihat ke kertas yang masih digenggam Andrew sekali lagi. Hasil tes DNA dari Andrew dan Brian. Walau sudah menduganya sejak awal bahwa hasilnya akan cocok, tapi Anggun tidak bisa menipu diri. Ia memang cukup sakit hati.
“Aku akan mengirimnya ke asrama.”
Keputusan Andrew membuat Anggun terbelalak. Ia memang belum bisa menerima kehadiran anak tiri itu di rumahnya, tapi mengirimnya ke asrama di usianya yang bahkan belum mencapai delapan tahun, Anggun merasa itu sangat keterlaluan.
“Nadia menitipkannya pada kita.”
“Aku tidak peduli.”
“Memangnya hal apa yang selama ini kau pedulikan?”
“Kau!” Andrew menjawab pasti. Membuat hati Anggun menghangat mendengarnya, jantungnya berdegup nyaman menerima pernyataan cinta secara tidak langsung dari sang suami. Andrew melakukan hal ini memang demi menjaga perasaannya, tidak ingin Anggun lebih tersakiti dari ini.
“Tidak perlu…”
“Tap-”
“Andrew…” Anggun memotong kalimat Andrew. Ia mendongak balas menatap mata abu Andrew dengan sorot lembut, tersenyum tipis seolah meyakinkan sang suami semuanya akan baik-baik saja. “Kau yang paling tahu persis rasanya saat tidak diakui oleh Papa bukan?”
“…”
“Bagaimana rasanya?”
“Sakit.”
“Dan sekarang apa yang kau lihat dari Papa?”
“Penyesalan.”
“Kau, akan mengulang kesalahan yang sudah dilakukan Papa?”
Dan kali ini… Andrew tidak mampu menjawab lagi. Ia membenarkan tentang apa yang Anggun katakan. Tidak diakui oleh ayahnya sendiri, hanya karena sebuah kesalahan takdir yang bukan juga ia yang menginginkannya, pernah Andrew alami. Dibuang ayahnya saat ibunya yang menangis meraung-raung pun tidak didengarkan ayahnya.
Adrian…
Pernah membuangnya, hanya karena ia mencintai Maurin, lalu terulang saat ia mencintai Anggun. Memangnya, Adrian pikir siapa juga yang mengharapkan Andrew merasakan perasaan asing kepada dua wanita yang tidak sederajat dengan keluarganya? Semuanya sudah digariskan oleh Tuhan bukan?
Dan begitu juga-
Dengan kelahiran Brian.        
Bukan Brian yang mengharapkan lahir dari sebuah hubungan tidak bermoral yang dilakukan orangtuanya, bukan Brian juga yang meminta pada Tuhan agar ibunya diberi sakit parah kemudian harus meregang nyawa karena kanker yang diidapnya.
Semua memang sudah digaris luruskan oleh Edward, Edward juga yang meyakinkan Nadia agar datang pada Andrew dan membeberkan tentang asal-usul Brian yang selama ini selalu diejek karena lahir tanpa seorang ayah.
Brian selama ini sangat menderita.
Apa Andrew akan menambah luka di hati suci sang anak yang tidak tahu apa-apa?
“Aku tidak tahu harus memasang wajah seperti apa di hadapanmu Anggun?” Andrew tersenyum miris kemudian tertunduk, ia sangat ingin menangis kalau saja tidak mengingat harga dirinya sebagai seorang laki-laki. Tuhan begitu pemurah karena bisa mengirimkan malaikat sebaik Anggun untuk menjadi istrinya.
“Cukup menjadi Andrew yang kukenal saja, aku tidak ingin kau seperti ini.”
***
“Kakak-Kakak, ambil bola Malon dong, jatuh kolam.” Rengek Marlon sambil menarik-narik kaos biru Andre. Andre hanya meliriknya sekilas lalu kembali membaca bukunya. Ia duduk di atas kursi santai tepian kolam dengan Marsya di pangkuannya. Marsya hanya menatap sang kembaran sekilas lalu menatap bola biru karet mengapung di kolam renang dewasa rumahnya.
“Kakak…”
“Berisik! Ambil sendiri saja!” Andre berkata judes. Ia sama sekali tidak peduli melihat wajah Marlon yang berubah sedih. Marlon cemberut lalu berbalik menuju kolam, diiringi dengan lirikan mata Andre yang mengawasi  gerak-gerik adik kecilnya. Melihat Marlon hanya duduk di tepi kolam sambil memperhatikan bolanya, Andre kembali membaca.
Usia Andre tidak lama lagi akan mencapai tujuh tahun, tapi anehnya ia selalu marah jika dikatakan masih anak-anak. Andre juga selalu mengamuk saat ada yang memanggilnya ‘Tuan Kecil’. Ia lebih suka diperlakukan seperti lelaki gentle, seperti ayahnya yang selalu disegani banyak bawahannya.
“Cucah.” Marlon yang sedang tengkurap di sisi kolam itu berusaha menggapai bola dengan kedua tangan mungilnya, ia sudah bisa menyentuh bolanya, yang pastinya akan lebih mudah ditangkap jika menggunakan tangan Andre yang lebih panjang. Tapi kakaknya itu sore ini tampak sedang badmood, mau bagaimana lagi? Ia harus mengambil sendiri bola karet yang baru dibelikan Mama dua hari lalu bukan?
“Ah!”
Byur!
“MARLON!”
Andre menjerit histeris saat melihat adiknya yang berhasil menggapai bola, justru tercebur ke dalam kolam karena kurangnya keseimbangan. Marlon memeluk bolanya dengan kaki mengayuh berusaha kuat naik ke permukaan, tanpa menyadari kelakuannya justru membuat ia semakin terbawa ke tengah kolam.
Andre berdiri dan berlari, ia gelagapan kebingungan memikirkan apa yang harus dia lakukan? Marsya yang melihat saudaranya tercebur langsung berlari masuk ke dalam rumah, berusaha mencari Mama agar bisa secepatnya menolong kakak kembarnya yang tenggelam.
“MARLON! KE SINI!”
“KAKAK! TOLONG KAKAK! MALON GAK BISA LENANG!” Marlon menangis histeris saat sesekali kepalanya menyembul kepermukaan karena bola karet yang dipeluknya. Tubuhnya basah kuyup dengan wajah memerah karena air yang masuk ke dalam hidung dan mulutnya.
“MARLON MARLON!” Andre semakin kebingungan. Apalagi saat melihat adiknya sudah kehabisan tenaga. Ia nyaris menangis, apa yang sekarang harus dilakukannya? Kenapa dia menjadi kakak yang tidak berguna?
Gelombang air di kolam membuat Andre tertegun. Darah seolah direnggut habis dari wajahnya, Andre kian melebarkan matanya.
“MARLON!!!”
“Kakak…”
Dan lirihan terakhir Marlon, sanggup membuat Andre berdiri mematung dengan sorot mata kosong. Andre bahkan sama sekali tidak menyadari bahwa baru saja ada tubuh yang tercebur ke dalam kolam berusaha menggapai tubuh Marlon yang tenggelam semakin dalam melepaskan bola kesayangannya.
Hanya berselang beberapa menit, sampai kemudian Brian berhasil menaikkan Marlon ke tepi kolam. Marlon terbatuk-batuk, Brian segera melompat naik ke atas keramik. Menepuki punggung Marlon yang berusaha mengeluarkan air dari paru-parunya, Marlon mual, perutnya terasa kembung. Ia kemudian menangis histeris dalam pelukan Brian.
“KAU KETERLALUAN ANDRE!” begitu berdiri, Brian langsung mendorong Andre sekuat tenaga, tak menghiraukan Marlon yang menangis terisak dengan sekujur tubuhnya yang basah, Brian hanya ingin membuat perhitungan dengan saudara tirinya. Bagaimana mungkin Andre memilih diam tanpa melakukan apa pun saat adiknya tenggelam? Justru melihatnya dengan sorot mata kosong seolah menginginkan kematian adik yang selalu dianggapnya pengganggu itu.
Andre hanya diam saja dengan tubuh terduduk di lantai, ia menatap Marlon yang terus menangis itu dengan ekspresi campur aduk sulit digambarkan.
“AKU TAHU KAU TIDAK SUKA PADA MARLON, TAPI MEMBIARKAN MARLON HAMPIR MATI TENGGELAM ITU KETERLALUAN!” Brian mengamuk membabi buta, sama sekali tidak terlihat ramah seperti biasanya, kecelakaan yang dialami Marlon rupanya sanggup membuatnya hilang kendali, tidak peduli… bahwa statusnya di rumah itu hanya anak tiri.
“Jangan karena kau membenciku, kau jadi ikut juga benci Marlon karena sering menemaniku. KAU ITU KAKAKNYA, KAKAK KANDUNGNYA!!! OTAK MU DI MANA?”
“Sudah Brian!” Anggun dan Andrew yang baru saja datang karena panggilan Marsya yang mengatakan anak tengahnya tenggelam itu menghentikan aksi mengamuk Brian. Brian bahkan terlihat seolah ingin menghajar Andre yang kini tidak bisa apa-apa.
Anggun menghampiri Marlon dan memangkunya, berusaha menenangkan Marlon yang terus histeris ketakutan.
“Aku telpon Dokter!” Andrew menatap Brian sebentar lalu masuk ke dalam rumah. Anggun mengangguk setuju, ia mengamit tangan Marsya yang baru saja muncul dan menatap Brian dan Andre bergantian, menghela napas berat.
“Kalian juga masuk ke dalam. Brian, ganti bajumu supaya tidak masuk angin.” Dan perintah mutlak Anggun langsung dianggukkan oleh Brian. Anggun menatap putra sulungnya cemas sekilas, tapi merasa saat ini Marlon lebih membutuhkannya, ia segera memasuki rumah dibuntuti oleh Brian.
Andre hanya duduk termenung, ia mengacak-acak rambutnya frustasi dengan wajah memerah dan mata berkaca-kaca.
Kakak macam apa dia?
Adiknya hampir mati tenggelam, ia justru tidak bisa melakukan apa-apa? Heh?
***
“Marlon tidak apa-apa,” bisik Andrew saat melihat anak ‘sulung’nya kini berdiri mengintip di celah pintu, ia tersenyum sambil menepuk kepala Andre pelan. Andre mendongak, ia menatap ayahnya dengan raut kusut. Matanya sembab seperti kebanyakan menangis. Andrew menghela napas lelah, ini untuk pertama kalinya sejak masuk sekolah dasar, Andre tidak berontak saat digendongnya.
Andre tetap anak kecil bukan? Ia masih butuh hiburan disaat merasa melakukan kesalahan.
Andre dibawa Andrew ke dalam kamarnya, didudukkan Andrew di atas kasurnya. Andre terus saja menundukkan kepalanya menyesal, ia benar-benar menyesal.
“Semuanya salah aku Papa…” Andre berujar lirih, airmatanya kembali menggenang lalu turun menjatuhi pipinya. Di sampingnya Andrew yang baru selesai mandi hanya bisa merangkulnya, tipe seorang ayah yang tidak bisa menghibur anak karena kekakuannya. Andrew jadi bingung, pasalnya Andre bukan anak yang suka diberi permen atau coklat.
“Bukan salahmu Andre.” Andrew membantah, itu memang bukan kesalahan Andre. “Itu bukan salahmu.”
“Tapi harusnya Andre menolong Marlon.” Andre nyaris menjerit saat mengatakannya, tubuhnya mulai bergetar sesenggukkan. “Andre tidak tahu bagaimana nasib Marlon kalau saja Brian tidak datang.”
“…”
“Andre pasti akan menyesal seumur hidup kalau sampai kehilangan Marlon.”
“Sudah…” Andrew hanya bisa memeluk anak kesayangannya itu penuh sayang, mengecup puncak kepala Andre berkali-kali. Andrew tahu Andre tadi juga sangat ingin menolong Marlon, hanya saja… traumanya di masa balita dulu mungkin menjadi alasan tunggal kenapa Andre tidak bisa menolong adiknya yang tercebur ke kolam. “Bukan salahmu, Andre…”
“Semuanya salah Papa, yang dulu sama sekali tidak becus menjagamu.”
***
Andre pernah diculik?
Brian hanya bisa duduk mematung di atas kasurnya, mendengar cerita Anggun tentang kenapa Andre tidak menolong Marlon saat tadi ia tenggelam. Rupanya… bukan karena Andre tidak mau, tapi ia memang tidak bisa.
Andre pernah diculik saat usianya masih empat tahun, selama empat hari dikurung, ia diperlakukan dengan sangat buruk. Sampai kemudian polisi bisa melacak tempat keberadaannya, dua orang penculik pria itu membawa Andre kabur dengan mobil.
Mereka melakukan aksi kejar-kejaran. Andre yang saat itu duduk di jok belakang hanya bisa menangis histeris ketakutan. Sampai kemudian ada seorang polisi yang menembak ban mobil para penculik itu, membuat bannya pecah dan mobil itu tergelincir dan tercebur ke dalam sungai. Malam itu… suasana sungai tepian kota yang biasanya sepi tampak ramai karena sirine mobil polisi.
Para penculik itu berusaha menyelamatkan diri mereka. keluar dari mobil dan timbul ke permukaan, menyerahkan diri dengan mengangkat tangan begitu sadar banyak moncong pistol terarah ke kepala mereka.
Namun Daren yang saat itu turut serta beserta mereka menyadari ada yang ganjil. Tuan kecil yang dicarinya, tidak muncul kepermukaan bersama kedua penculiknya. Tanpa buang waktu Daren langsung menceburkan dirinya ke dalam kolam, ia menghampiri mobil terjungkir di dasar kolam itu lalu membuka paksa pintunya yang macet.
Di sana… Andre sudah dalam keadaan kritis karena tidak mendapat pasokan oksigen. Hidungnya mengeluarkan buih-buih, Andre nyaris tak sadarkan diri. Daren segera membuka mulut Andre dan memberinya udara dari mulutnya, cepat-cepat ia membawa Andre muncul ke permukaan.
Di dekat sungai yang mengalir tenang itu, Anggun menyambutnya dengan teriakan histeris. ia bahkan nyaris pingsan saat tubuh Andre yang begitu lemas dipangku Daren kemudian diberikannya pada satu Andrew.
Dan sejak saat itu…
Andre selalu membenci air jika dalam jumlah takar banyak.
“Brian salah Nyonya…” Brian menunduk menyesal, Anggun yang duduk di sampingnya hanya tersenyum tipis, mengerti akan penyesalan yang sekarang dirasakan anak tirinya. “Brian tadi marah-marah tanpa mendengar penjelasan Andre, Brian salah…”
“Sudahlah Brian.” Anggun mengelus kepala Brian lembut, entah mengapa? Sikap baik Brian kepada anak-anaknya juga membuat Anggun ikut bersikap baik padanya, Brian yang begitu menyayangi saudara-saudara tirinya juga sanggup melelehkan hati Anggun dan membuatnya ikut menyayangi sang anak yang tidak lahir dari rahimnya.
Terutama setelah hari ini…
Di mana Anggun melihat kesungguhan Brian yang ingin melindungi anak-anaknya bahkan begitu marah saat melihat Andre diam saja. Anggun hutang nyawa.
“Saya harus berterima kasih karena kau sudah menolong Marlon.”
“Eh?” Brian mendongakan kepalanya menatap Anggun, wajahnya sedikit bersemu merah saat melihat senyuman tulus ibu tirinya. “Ti-tidak perlu, kalian selalu memperlakukan saya dengan baik di rumah ini, ja-jadi tidak perlu berterima kasih. Sudah seharusnya saya melakukan apa pun yang saya bisa untuk kalian.”
Dan kali ini, giliran Anggun yang tertohok karena kata-kata Brian. Memperlakukannya dengan baik, heh? Anggun bahkan tidak pernah mau menyiapkan Brian sarapan sampai dua minggu anak itu tinggal di rumahnya.
Tampaknya, sikap baik yang dimaksud Brian hanya karena selama ini Anggun tidak pernah menyiksanya saja.
“Mulai hari ini…” Anggun menahan napas sebelum mengatakannya, tapi ia sudah membulatkan tekadnya, ia akan memperlakukan Brian dengan lebih layak, “Kau boleh memanggil saya Mama.”

Dan terkadang…
Cinta tumbuh ketika kau memberi…
Hadir ketika kau mau diberi…
***

1 komentar:

Next Prev
▲Top▲