Still For You, Andrew (Sepuluh)

| Jumat, 13 Januari 2017


“Tuan muda…” Daren memanggil lirih, ia berusaha meyakinkan Andrew bahwa keputusan yang diambilnya saat ini salah, Andrew yang tidak terbiasa turun tangan saat menghadapi masalah kini memutuskan untuk menjemput anak-anaknya, membawa mereka dari sekapan Edward, mengembalikan Marsya dan Brian kepada Anggun apa pun resikonya.
Ia hanya memiliki waktu tiga jam. Ya… tiga jam dari sekarang.
“Daren…” panggil Andrew sebelum menggunakan helm, ia menoleh pada Daren lalu tersenyum. Entah kenapa ia ingin mengatakan ini pada orang kepercayaannya? Satu-satunya orang yang ia yakini tidak akan mengkhianatinya di antara sekian puluh orang yang mengabdi di rumah itu padanya.
“Ya?”
“Apa pun yang terjadi, kau harus hidup.”
“Apa maksud Tuan muda?” Daren bertanya tidak mengerti, firasat buruk tentang orang yang dikaguminya sedikit menyesakkan dadanya, membuatnya semakin khawatir pada sang tuan muda.
“Aku titip anak-anakku.” Dan begitu hilangnya wajah Andrew dibalik helm, suara motor sport hitam besarnya menggerung memecah sunyinya malam. Meninggalkan kesan luka dari sosok orang yang sejak tadi menatap gerak-geriknya dari balik jendela. Menyadari sosok yang amat dicintainya tengah menatapnya, Andrew melambaikan tangannya, berharap Anggun mau walau sekedar memberi semangat.
Raut wajah Andrew berubah sedih saat sadar Anggun tidak ingin lagi melihatnya, Anggun justru menutup tirai membuat Andrew tak bisa lagi melihat wajahnya.
“Aku pergi…” dan perkataan lirih Andrew, hanya bisa didengar dirinya sendiri.
Andrew menggas motornya meninggalkan gerbang rumahnya, meninggalkan istrinya yang masih tidak mau bicara padanya, meninggalkan sosok wanita yang akan pergi jauh darinya jika ia tidak bisa membawa pulang kedua anaknya, membawa luka… luka yang melebar di balik dada, di dalam hatinya… karena kekecewaan teramat sangat merasa Anggun tidak lagi menginginkannya.
***
“Dingin Kakak…” lirih seorang gadis kecil yang tengah dipeluk seorang anak lelaki yang tidak sampai lima tahun lebih tua darinya. Mereka terjebak di sebuah ruangan kecil dan pengap yang letaknya entah ada di mana? Diculik oleh dua orang yang tadi bahkan sempat memberi tamparan kecil di pipi sang kakak karena perlawanannya.
Yang lebih tua mempererat pelukannya, bertekad akan melakukan apa pun untuk melindungi adik kecilnya, agar bisa membawa si adik keluar dari tempat yang begitu asing untuk mereka. Ia tahu… mereka sedang ada dalam situasi sulit. Mereka berdua sedang diculik.
“Papa jemput Macaa…” Marsya merengek. Tetap percaya sosok pahlawan sang papa pasti akan datang untuk menjemputnya, membawanya pulang ke rumah agar bisa bertemu mama. Ia sudah tidak menangis lagi, takut… mendapatkan bentakkan kasar lagi dari om-om berkepala botak.
“Marsya makan dulu, Sayang.” Brian mengeluarkan sebuah roti dari dalam saku jaketnya. Roti yang belum sempat ia makan saat tadi pulang sekolah. Ia sendiri sedang kelaparan, tapi ia sadar Marsya lebih membutuhkannya. Adiknya terlihat sangat lemas.
Marsya mengangguk, ia melahap roti yang disuapi Brian dengan lahap. Marsya memang sangat lapar, sayangnya makanan-makanan kecil yang selalu dimasukkan sang mama ke dalam tas dirampas para penculik beserta tasnya, ia mengunyah roti itu antusias.
“Kakak ndak makan?”
“Kakak tidak lapar.” Brian tersenyum tipis. Marsya yang masih polos mengangguk saja. Selesai menghabiskan satu roti, ia berdiri agar bisa duduk di pangkuan Brian.
“Papa nanti datang, ya?”
“Iya, Papa pasti datang jemput kita.” Brian berusaha bersikap optimis. Walau ia sendiri tidak yakin Andrew akan memedulikannya, yang menurutnya hanya dianggap anak oleh Andrew itu hanya Marsya.
“Naik motol ato mobil?”
Brian berpikir sebentar, memikirkan kemungkinan dengan apa Andrew akan datang jika hendak menjemput mereka?
“Mungkin motor, biar cepat.”
“Kelen dong…” Marsya berdecak kagum. Imajinasi liarnya mulai membayangkan sang papa yang turun dari motor, membuka helm, lalu tersenyum manis padanya. Seperti adegan beberapa drama TV yang tanpa sengaja pernah dilihatnya. “Nanti belantem ma banyak peman?”
“Iya.”
“Papa menang ndak Kakak?”
“Menang dong, Papa kan kuat.”
“Yey!” Marsya bersorak senang. Ia bertepuk tangan melupakan fakta bahwa ia sedang diculik. Sedangkan Brian hanya bisa tersenyum tipis melihat adiknya yang sudah jauh lebih tenang. Setidaknya… Marsya tidak lagi ketakutan.
DUG-DUG! GEDEBRUK!
Brian dan Marsya menatap pintu kayu yang ada di depan mata, mereka sedikit kaget mendengar suara ribut-ribut dari luar, sesekali terdengar suara pekikan dan benda jatuh keras. Teriakan dan dan umpatan makian tidak luput dari pendengaran mereka.
Apa yang sedang terjadi di luar sana?
***
Beberapa menit sebelumnya…
Sebuah motor hitam besar berhenti tepat di depan pintu gudang tak terpakai tengah hutan. Malam yang kian larut seolah tak sanggup menggetarkan hati seorang pria yang sudah membulatkan tekadnya tidak akan mati konyol di sana.
Ia datang bukan tanpa tujuan, ia datang dengan sebuah tekad yang tidak terbantahkan. Kekalutan yang kini mendera dadanya seolah tidak menjadi alasan bagi seorang Andrew Kevin putra Adrian untuk mundur, apa pun… bahkan nyawa akan ia pertaruhkan demi mengembalikan kedua anaknya pada pelukan sang Mama, istrinya… belahan jiwa yang akan hilang dari dekapannya jika ia tidak bisa berbuat apa-apa.
Trang!
Satu besi panjang yang dibawa Andrew ia adukan dengan aspal butut yang kini menjadi tempatnya berpijak, tas ransel hitam besar kini bertengger di punggung tegapnya, pakaian serba hitam seolah menyempurnakan performance-nya sebagai ‘Papaku ganteng, Papaku pahlawan’. Begitu Andrew membuka helmnya, sepuluh pria berbadan besar keluar dari dalam gudang karena keributan yang sudah ia buat.
Jangan karena ia adalah seorang bisnisman sejak belia, orang-orang berpikir ia tidak memiliki kemampuan beladiri, ia menggunakan bodyguard bukan karena tidak bisa apa-apa, melainkan karena prinsipnya ‘jika kau punya uang, untuk apa kau menangani semua hal sendiri?’.
“Kau tahu siapa dia?” Tanya seorang pria berkepala botak yang kepalanya bersinar saat tertimpa cahaya bulan.
“Andrew Adrian…” kata temannya yang lain. “Dia yang dimaksud Mr. Edward!”
“Kembalikan anakku.” Andrew mendesis geram, tongkatnya mulai ia ayun-ayunkan. “Di mana mereka?”
“Kami hanya akan mengembalikan jika sudah ada perintah dari Mr. Edward.” Salah satu yang lain menjawab, raut wajahnya masih tetap tenang. Tampak tidak menggubris ekspresi wajah Andrew yang mengeras.
“Baiklah…” Andrew mengangkat salah satu sudut bibirnya membentuk seringaian iblis. Kini ia sudah mirip Lucifer yang diturunkan saat malam purnama tertutup awan. Benar-benar mengerikan. “Aku akan mengambil mereka secara paksa.”
***
Bag-bug-bag-bug!
Andrew menendang pria besar di depannya sekuat tenaga sampai orang itu terlempar jauh, ia menangkis tendangan dari samping kanannya menggunakan lengan kanan lalu menghantam yang dari sisi lain menggunakan sikunya.
Menghindar saat sabetan besi karatan hampir mengenai pipinya, menendang tulang kering pria yang hampir menyerangnya dari belakang.
Bug!
Jumlah tetaplah sebuah perbedaan yang tidak bisa diremehkan. Nyatanya stamina Andrew yang menipis hampir menjadi titik kelemahan disaat ia harus menghadapi sepuluh orang berbadan besar. Ahh… sejak awal Andrew memang tahu kelemahannya, ia sadar ada kemungkinan akan kalah. Tapi…
“TUAN MUDA!”
TRANG!
Nyaris saja Andrew yang sedang lengah itu kepalanya bocor. Diserang besi runcing dari belakang tentu saja lukanya tidak bisa dianggap sepele jika besi itu benar-benar mengenai kepalanya. Beruntung bagi Andrew karena Daren datang tepat waktu, Daren yang melihat Tuannya dalam bahaya segera melempar besi yang tengah digenggamnya sekuat tenaga.
Lemparan kuat Daren tentu tidak bisa diremehkan efeknya, dua besi yang saling berbenturan itu terlempar jauh dengan si penggenggam pertama yang merasa tangannya pasti keseleo. Merintih kesakitan lalu terlempar jauh saat Andrew memberi hadiah sebuah tendangan di perut. Oh, nasib buruk baginya… karena mengalami hal yang diperibahasakan ‘sudah jatuh tertimpa tangga.’. nasib-nasib!
“Tuan muda, biar saya yang melawan mereka. Anda silahkan menjemput Tuan dan Nona kecil.” Saran Daren. Meski sempat ragu, Andrew akhirnya menuruti apa yang dikatakan Daren. Ia segera berlari membuka pintu gudang dan melempar pandangan mata abunya ke sana kemari. Ruangan kumuh dengan penerangan lampu lima watt, di dalamnya banyak kardus dan kotak kayu lapuk ditumpuk tidak terpakai.
Menemukan sebuah pintu tak jauh darinya, Andrew segera berlari dan mendobraknya, hembusan napas lega terdengar saat ia melihat Marsya tampak tenang dipangkuan Brian. Kedua pasang mata satu warna itu menatap Andrew kaget. Terbelalak karena kagum sang Papa yang sedang mereka bicarakan ternyata memang muncul bak sosok pahlawan.
“Marsya! Brian!” seru Andrew bersemangat.
“PAPA!” Marsya segera berdiri lalu berlari menghambur ke pelukan Andrew. Andrew memangkunya dan menciuminya. Tidak bisa ia ungkapkan betapa bersyukurnya ia karena berhasil menemukan dua buah hatinya. Andrew segera menurunkan Marsya dan melepaskan tas ranselnya. Membuka resletingnya dan mengeluarkan jaket serta helm kecil.
“Kau pakai ini Sayang. Biar aman!” Andrew segera memakaikan jaket tebal berwarna biru muda pada Marsya. Dengan cekatan ia juga memasangkan helm lalu melempar pandangannya pada Brian. “Brian, kau juga ambil helm dan ganti jaketmu dengan yang lebih tebal di tas Papa. Cepat.”
Brian mengangguk antusias lalu tersenyum. Ia sangat senang karena Andrew ternyata juga masih mengharapkannya pulang bahkan membawakannya persiapan seperti untuk Marsya. Ia segera menuruti perintah sang Papa. Melihat Andrew berdiri, dan sudah menggendong Marsya, Brian pun sudah siap seperti interuksi papanya.
“Ayo kita pulang!”
***
Cepat!
Andrew memacu langkah kakinya setengah berlari, dengan tangan kanan memangku Marsya dan tangan kiri menuntun Brian. Sesekali ia melempar tendangan jika ada orang yang hendak menghalangi jalannya, mengulur waktu yang tidak lagi lama. Anggun menunggunya, ia hanya punya waktu satu jam untuk sampai di rumah sebelum tengah malam.
Marsya yang ada di gendongan Andrew tampak terbelalak kagum, ia menatap Daren yang sedang berkelahi dengan banyak orang menggunakan kedua bola matanya yang berbinar.
“DELEN KELEEEN!!” seru Marsya tidak tahu situasi, melambai semangat pada Daren yang sekilas melempar senyum diiringi hantaman tinjunya pada pria besar di depannya. Marsya heboh sendiri sambil bertepuk tangan. setelah besar nanti, Marsya ingin pintar berkelahi seperti Daren.
“Mau duduk depan, Papa!” Marsya merengek tidak mau diturunkan saat sadar ia akan didudukkan di jok belakang, melingkarkan kakinya di pinggang sang papa kuat-kuat.
“Sayang kita sedang dikejar orang, duduk di belakang dengan Kak Brian, ya?” Andrew membujuk, ia hampir menjerit frustasi saat helm pink itu menggeleng kuat. Astaga… andai saja Marsya itu Andre, mungkin Andrew tidak akan segan membentaknya. Sayangnya yang kini dihadapinya putri semata wayang yang belum mengerti apa-apa.
“POKOKNYA MAU DUDUK DEPAN!”
“Marsya...”
“DUDUK DEPAN PAPA!”
Menyerah, Andrew tahu seberapa keras kepalanya putri semata wayangnya itu, ia tidak punya banyak waktu. Segera ia menaiki motor dan mendudukkan Marsya di depannya, setelah memastikan Brian duduk di belakangnya dan memberi intruksi memeluk pinggangnya erat, Andrew segera menyalakan motor, mengatur kopling dan menggasnya sebelum beberapa orang yang hendak menghadangnya itu sampai di dekatnya.
***
“Waktumu hanya sampai tengah malam!”
suara Anggun tadi mengaung jelas di telinga Andrew, membuatnya refleks semakin memacu motornya cepat dengan tangan kanan sementara tangan kirinya memeluk sang putri kuat-kuat.
“Lewat tengah malam, aku sudah tidak ada lagi di rumah ini...”
Andrew menggertakkan giginya, pikirannya amat kalut, waktunya sudah tidak banyak, ia bahkan tidak tahu sekarang jam berapa? Andrew tidak bisa memberi fokus lebih selain untuk membelah jalanan raya malam yang sepi dan dingin, sambil menjaga keseimbangan sang putri yang justru berteriak kesenangan tanpa secuil pun rasa takut.
“Jika kau terlambat, itu akhir pernikahan kita, Andrew...”
“Anggun...”
TIIIIIT!
Tanpa ia prediksi sebelumnya, sebuah truk dengan kecepatan tinggi tepat berlawanan arah dengan motornya, Andrew dengan refleks menginjak rem, membanting stang ke kiri, tanpa sempat melihat bahwa arah yang ditujunya justru adalah portal jembatan layang.
BRAK!
Motor Andrew menghantam trotoar diiringi jeritan ketakutan Marsya dan Brian yang memecah sunyinya malam di jalanan yang jarang dilewati pengendara saat malam.
Bruk!
Brian yang tanpa sengaja melepaskan cengkeraman tangannya terlempar ke badan trotoar, menjerit ngilu saat punggungnya menghantam portal besi.
Trak!
Andrew yang terlempar melewati portal meraih besi panjang yang terulur ke luar jalan, tangan kirinya masih memeluk sang putri erat, meringis saat tadi helmnya terlepas. Kini, ia bergelayutan di jembatan setinggi sepuluh meter dengan sebelah tangan. Ia semakin mendekap Marsya kuat-kuat saat dirasakannya Marsya mulai menangis karena kaget.
“MACA TAKUT PAPA!”
“Sayang... tenang...” Andrew berusaha menenangkan putrinya, merintih saat menyadari besi yang menjadi alatnya menyelamatkan diri semakin condong ke arah sungai. Sungai yang mengalir deras karena baru saja diguyur hujan. Besi kecil itu tentu saja tidak sanggup menahan bobot Andrew dan putrinya.
Melihat Marsya yang lebih tenang sambil terisak, Andrew sedikit bernapas lega. Yang jadi prioritasnya saat ini adalah menyelamatkan Marsya sekalipun ia harus kehilangan nyawa.
Apa yang bisa ia lakukan sekarang? Apa yang akan dikatakannya pada Anggun kalau sampai ia gagal menyelamatkan putri mereka?
“Papa Maca ndak mau gelantungan, takut.”
“Sebentar, ya...” Andrew memutar otak, ia harus cepat menaikan Marsya ke atas sebelum besi yang menjadi pegangannya lepas dari bagian jembatan.
‘Tuhan… aku mati tidak apa-apa, tapi kumohon beri kehidupan dan keselamatan untuk anak-anakku…’ Andrew membatin memanjatkan doa, sadar saat ini hanya Tuhan lah tempat bagi ia untuk bergantung. ‘Aku tidak mau hidup dengan dibenci Anggun…
Kalau sampai aku tidak bisa mengantar Marsya pulang… biarkan aku mati saja, atau buat aku melupakan semuanya…’
Andrew menahan napas dengan mata masih terpejam, ‘Karena bagiku… mati jauh lebih baik daripada aku harus hidup dengan kebencian orang yang selama ini selalu mencintaiku.’
“Papa, Marsya?”
“BRIAN!”
“KAK BAYEEEN!”
Andrew bernapas lega, ia senang karena ternyata Brian baik-baik saja, bahkan masih menapak di daratan. Berbanding terbalik dengan nasibnya. Sebuah kepala menyembul ke luar portal saat mendengar seruan memanggil namanya, matanya melebar begitu melihat kondisi papa dan adiknya amat terdesak.
Cepat-cepat Brian membungkuk mengulurkan tangan, berusaha menggapai sang papa yang tidak bisa diraihnya.
Malam kian larut, angin berhembus kencang namun tidak dapat mendinginkan tubuh Andrew, keringat dingin mengucur deras dari punggung dan pelipisnya. Sialnya Andrew karena jalanan benar-benar sepi.
Brian berseru, “Pa, pegang tangan Brian, Pa!”
Andrew meringis mendengarnya, gelapnya malam yang hanya ditemani cahaya bulan tidak sanggup menyamarkan matanya yang menatap replika mininya nanar. Anak itu begitu baik, ia bahkan tidak sadar tubuh kecilnya tidak mungkin sanggup menarik tubuh sang papa yang besar.
“Marsya, kau pintar manjat kan, Sayang? Coba kau naik ke pundak Papa terus raih tangan Kak Brian.” Andrew menunduk lalu tersenyum kecil, berusaha meyakinkan dan menenangkan.
Mata bulat Marsya berkedip beberapa kali, lalu ia merengek, “Maca takut jatuh Papa...”
“Papa menjagamu, Papa pegang baju Marsya, Tidak akan jatuh.”
Marsya memanyunkan bibirnya, beberapa detik kemudian ia mengangguk pelan. Dua tangan mungil itu menarik jaket Andrew kuat-kuat, dengan pintarnya ia memanjat bahkan menjadikan rambut sang papa sebagai pegangan, beruntunglah Andrew yang masih sedikit gondrong dan mengelak setiap kali Anggun memintanya bercukur. Setidaknya, rambut itu sekarang berguna untuk putrinya.
Tangan kanan Andrew masih mencengkeram erat kerah jaket Marsya, berjaga-jaga kalau putrinya terpeleset.
“Brian tarik adikmu!”
Menuruti perintah Papa, Brian menggapai dua tangan Marsya yang terulur ke atas, adiknya sedang duduk di pundak sang papa dengan wajah manja khasnya.
Susah payah karena tangannya juga terluka, diiringi debaran jantung yang menggila akhirnya Marsya bisa naik ke atas jalan. Kini dua kepala itu menyembul ke luar jembatan, mengulurkan tangan-tangan mungil mereka agar bisa digapai sang Papa.
Trak! Besi yang dipegang Andrew semakin mencondong saat bebatuannya retak, perlahan mulai rontok menjatuhkan serpihan-serpihan itu ke dalam sungai.
“PAPA! PEGANG TANGAN BRIAN, AYO!” Brian histeris. Perasaannya semakin tidak nyaman saat Andrew justru mendongak dan... tersenyum?
Demi Tuhan, mata Brian bahkan memanas setelah sekian lama, ini untuk pertama kalinya Andrew tersenyum begitu tulus padanya, senyuman yang begitu menenangkan dan menyenangkan, senyuman seorang ayah yang selama ini selalu menjadi dambaannya. Bolehkah Brian percaya diri bahwa sang papa mulai bisa menerima kehadirannya?
“Kau anak Papa juga, Brian...” kata Andrew lirih. Ia masih setia mengukir senyum, “Siapa pun yang mengandungmu, tetap saja kau anak Papa.”
“Papa... bicaranya nanti saja, sekarang pegang tangan Brian...” airmata Brian menetes saat Andrew tak memberi respon. Andrew justru mendesah pasrah.
“Rasa sayang Papa padamu, tidak berbeda dengan perasaan Papa pada adik-adikmu sekalipun kalian beda Ibu.” Andrew terus bicara, ia merasa setelah ini tidak akan punya kesempatan untuk mengatakannya.
“Hanya saja, mungkin awalnya Papa sedikit bingung, karena kehadiranmu yang terlalu mendadak.”
“Papa... pegang tangan Brian, Pa!” Brian terisak. ia semakin menjulurkan tangannya, berusaha menggapai tangan Andrew yang mencengkeram erat besi yang tidak akan bertahan terlalu lama. Mulai sadar mungkin senyum yang diberikan saat ini oleh sang Papa, adalah senyum pertama dan terakhir untuknya.
“Kalung untukmu, mungkin besok baru selesai.” Andrew semakin ngelantur. Waktunya mungkin memang sudah tidak lagi lama. “Kalung itu paling cepat selesai dalam satu bulan, kau mengerti kan, sekarang? kalungmu dan milik adik-adikmu, di pesan di waktu yang berbeda jauh, Papa harap, kau tidak membenci Papa karena tidak pernah jadi ayah yang baik untukmu.”
“Pa...”
“Papa jangan belenang malam-malam, nanti cakit, pegang tangan Maca, Papa...” Marsya mengerjap polos saat sang papa mengatakan sesuatu yang tidak dimengertinya, hanya satu alasan yang membuatnya menangis histeris di balik helmnya.
Marsya... merasa ketakutan akan firasat tidak bisa bertemu lagi dengan sang Papa.
“Jaga Mama dan adik-adikmu, Brian.” Andrew menahan napas saat retakkan di batu beton itu kian melebar, “Sampai Papa pulang.” Itu pun jika aku bisa pulang. Lanjut Andrew dalam hati. Mengingat saat menunduk di bawahnya ada batu besar yang kemungkinan bisa menghancurkan kepalanya jika sampai menghantamnya dari jarak sepuluh meter.
“Pap-”
“NONA KECIL!” seru seseorang yang mendadak menghentikan laju motornya, tepat di samping sebuah motor yang terguling, motor yang cukup familiar di matanya. Terlebih saat melihat dua pasang kaki beda ukuran terjulur di trotoar jalan. Dan benar saja, kaki mungil itu milik Marsya.
“DAREN!”
“DELEN!”
Seru dua anak itu saat menoleh, Daren segera menghampiri mereka panik. Kenapa dua anak itu masih di sana? Bukannya seharusnya mereka sudah pulang bersama Andrew?
Andrew? Eh?
“DAREN CEPAT TOLONG PAPA!”
“Daren?” terselip sedikit nada harap saat Andrew menyebut namanya. Daren memang pasti sanggup menariknya yang sudah tidak kuat bergelantungan. Mendengar namanya disebut seseorang dari luar jembatan, Daren segera menyembulkan kepalanya dan melebarkan matanya.
“Tu-tuan muda?” dengan panik Daren segera membungkuk dan mengulurkan tangannya. “Raih tangan saya.”
Andrew tersenyum lega. Sepertinya hidupnya memang akan selamat.
***
Anggun termenung, ia sejak tadi hanya membungkuk menatap bingkai foto keluarganya yang mendadak copot dari dinding kemudian menghantam lantai yang mengakibatkan kacanya pecah. Retakan kaca itu lebih banyak tepak di bagian wajah Andrew, saat Anggun membungkuk untuk membereskannya, serpihan kaca itu justru menusuk kedua jemari lentiknya.
Darah mengucur membasahi foto wajah Andrew, menimbulkan firasat buruk akan terjadinya sesuatu hal kepada suami yang saat ini Anggun anggap tidak penting keberadaannya dibanding para buah hatinya.
Teng!
Kreeet…
Tepat tengah malam, pintu utama rumahnya terbuka, Anggun yang memang sedang ada di ruang tamu menoleh. Matanya berbinar saat melihat tiga sosok yang muncul di ambang pintu.
“MAMA!!!”
“Marsya!” segera Anggun berlari memeluk putrinya, menciuminya dengan airmata lega karena Andrew bisa menepati janjinya. Setelah puas memeluk Marsya, Anggun menarik Brian dalam pelukannya, mengucapkan banyak kata terima kasih karena Brian sudah menjaga gadis kecil kesayangannya.
“Mata Brian kenapa sembab?” Tanya Anggun cemas. Kembali rasa tidak nyaman menyelimuti relung kalbunya, terutama… saat melihat tangisan Brian pecah. Brian terus-terusan menggumamkan permohonan maaf.
Anggun mendongak, menatap tubuh gemetaran Daren dengan kedua matanya yang membengkak. Ada yang salah… Ada yang kurang…
“Daren, ke mana… Andrew?” Suara Anggun begitu lirih, menyayat hati seakan tahu suaminya tidak dalam kondisi baik.
“Tuan muda… hilang di sungai... Nyonya…”
Dan aku seolah ditelan oleh karmaku…
Aku dibinasakan oleh sumpah serapahku…
***

2 komentar:

Next Prev
▲Top▲