“Tuan muda…” Daren memanggil lirih, ia berusaha meyakinkan Andrew
bahwa keputusan yang diambilnya saat ini salah, Andrew yang tidak terbiasa
turun tangan saat menghadapi masalah kini memutuskan untuk menjemput
anak-anaknya, membawa mereka dari sekapan Edward, mengembalikan Marsya dan Brian
kepada Anggun apa pun resikonya.
Ia hanya memiliki waktu tiga jam. Ya… tiga jam dari
sekarang.
“Daren…” panggil Andrew sebelum menggunakan helm, ia menoleh
pada Daren lalu tersenyum. Entah kenapa ia ingin mengatakan ini pada orang
kepercayaannya? Satu-satunya orang yang ia yakini tidak akan mengkhianatinya di
antara sekian puluh orang yang mengabdi di rumah itu padanya.
“Ya?”
“Apa maksud Tuan muda?” Daren bertanya tidak mengerti,
firasat buruk tentang orang yang dikaguminya sedikit menyesakkan dadanya,
membuatnya semakin khawatir pada sang tuan muda.
“Aku titip anak-anakku.” Dan begitu hilangnya wajah Andrew
dibalik helm, suara motor sport hitam
besarnya menggerung memecah sunyinya malam. Meninggalkan kesan luka dari sosok
orang yang sejak tadi menatap gerak-geriknya dari balik jendela. Menyadari
sosok yang amat dicintainya tengah menatapnya, Andrew melambaikan tangannya,
berharap Anggun mau walau sekedar memberi semangat.
Raut wajah Andrew berubah sedih saat sadar Anggun tidak
ingin lagi melihatnya, Anggun justru menutup tirai membuat Andrew tak bisa lagi
melihat wajahnya.
“Aku pergi…” dan perkataan lirih Andrew, hanya bisa didengar
dirinya sendiri.
Andrew menggas motornya meninggalkan gerbang rumahnya,
meninggalkan istrinya yang masih tidak mau bicara padanya, meninggalkan sosok
wanita yang akan pergi jauh darinya jika ia tidak bisa membawa pulang kedua
anaknya, membawa luka… luka yang melebar di balik dada, di dalam hatinya…
karena kekecewaan teramat sangat merasa Anggun tidak lagi menginginkannya.
***
“Dingin Kakak…” lirih seorang gadis kecil yang tengah
dipeluk seorang anak lelaki yang tidak sampai lima tahun lebih tua darinya.
Mereka terjebak di sebuah ruangan kecil dan pengap yang letaknya entah ada di
mana? Diculik oleh dua orang yang tadi bahkan sempat memberi tamparan kecil di
pipi sang kakak karena perlawanannya.
Yang lebih tua mempererat pelukannya, bertekad akan
melakukan apa pun untuk melindungi adik kecilnya, agar bisa membawa si adik
keluar dari tempat yang begitu asing untuk mereka. Ia tahu… mereka sedang ada
dalam situasi sulit. Mereka berdua sedang diculik.
“Papa jemput Macaa…” Marsya merengek. Tetap percaya sosok pahlawan
sang papa pasti akan datang untuk menjemputnya, membawanya pulang ke rumah agar
bisa bertemu mama. Ia sudah tidak menangis lagi, takut… mendapatkan bentakkan
kasar lagi dari om-om berkepala botak.
“Marsya makan dulu, Sayang.” Brian mengeluarkan sebuah roti
dari dalam saku jaketnya. Roti yang belum sempat ia makan saat tadi pulang
sekolah. Ia sendiri sedang kelaparan, tapi ia sadar Marsya lebih
membutuhkannya. Adiknya terlihat sangat lemas.
Marsya mengangguk, ia melahap roti yang disuapi Brian dengan
lahap. Marsya memang sangat lapar, sayangnya makanan-makanan kecil yang selalu
dimasukkan sang mama ke dalam tas dirampas para penculik beserta tasnya, ia
mengunyah roti itu antusias.
“Kakak ndak makan?”
“Kakak tidak lapar.” Brian tersenyum tipis. Marsya yang
masih polos mengangguk saja. Selesai menghabiskan satu roti, ia berdiri agar bisa
duduk di pangkuan Brian.
“Papa nanti datang, ya?”
“Iya, Papa pasti datang jemput kita.” Brian berusaha
bersikap optimis. Walau ia sendiri tidak yakin Andrew akan memedulikannya, yang
menurutnya hanya dianggap anak oleh Andrew itu hanya Marsya.
“Naik motol ato mobil?”
Brian berpikir sebentar, memikirkan kemungkinan dengan apa Andrew
akan datang jika hendak menjemput mereka?
“Mungkin motor, biar cepat.”
“Kelen dong…” Marsya berdecak kagum. Imajinasi liarnya mulai
membayangkan sang papa yang turun dari motor, membuka helm, lalu tersenyum
manis padanya. Seperti adegan beberapa drama TV yang tanpa sengaja pernah
dilihatnya. “Nanti belantem ma banyak peman?”
“Iya.”
“Papa menang ndak Kakak?”
“Menang dong, Papa kan kuat.”
“Yey!” Marsya bersorak senang. Ia bertepuk tangan melupakan
fakta bahwa ia sedang diculik. Sedangkan Brian hanya bisa tersenyum tipis
melihat adiknya yang sudah jauh lebih tenang. Setidaknya… Marsya tidak lagi
ketakutan.
DUG-DUG! GEDEBRUK!
Brian dan Marsya menatap pintu kayu yang ada di depan mata,
mereka sedikit kaget mendengar suara ribut-ribut dari luar, sesekali terdengar
suara pekikan dan benda jatuh keras. Teriakan dan dan umpatan makian tidak
luput dari pendengaran mereka.
Apa yang sedang terjadi di luar sana?
***
Beberapa menit sebelumnya…
Sebuah motor hitam besar berhenti tepat di depan pintu
gudang tak terpakai tengah hutan. Malam yang kian larut seolah tak sanggup
menggetarkan hati seorang pria yang sudah membulatkan tekadnya tidak akan mati
konyol di sana.
Ia datang bukan tanpa tujuan, ia datang dengan sebuah tekad
yang tidak terbantahkan. Kekalutan yang kini mendera dadanya seolah tidak
menjadi alasan bagi seorang Andrew Kevin putra Adrian untuk mundur, apa pun…
bahkan nyawa akan ia pertaruhkan demi mengembalikan kedua anaknya pada pelukan
sang Mama, istrinya… belahan jiwa yang akan hilang dari dekapannya jika ia
tidak bisa berbuat apa-apa.
Trang!
Satu besi panjang yang dibawa Andrew ia adukan dengan aspal
butut yang kini menjadi tempatnya berpijak, tas ransel hitam besar kini
bertengger di punggung tegapnya, pakaian serba hitam seolah menyempurnakan performance-nya sebagai ‘Papaku ganteng,
Papaku pahlawan’. Begitu Andrew membuka helmnya, sepuluh pria berbadan besar
keluar dari dalam gudang karena keributan yang sudah ia buat.
Jangan karena ia adalah seorang bisnisman sejak belia,
orang-orang berpikir ia tidak memiliki kemampuan beladiri, ia menggunakan bodyguard bukan karena tidak bisa
apa-apa, melainkan karena prinsipnya ‘jika kau punya uang, untuk apa kau
menangani semua hal sendiri?’.
“Kau tahu siapa dia?” Tanya seorang pria berkepala botak
yang kepalanya bersinar saat tertimpa cahaya bulan.
“Andrew Adrian…” kata temannya yang lain. “Dia yang dimaksud
Mr. Edward!”
“Kembalikan anakku.” Andrew mendesis geram, tongkatnya mulai
ia ayun-ayunkan. “Di mana mereka?”
“Kami hanya akan mengembalikan jika sudah ada perintah dari
Mr. Edward.” Salah satu yang lain menjawab, raut wajahnya masih tetap tenang.
Tampak tidak menggubris ekspresi wajah Andrew yang mengeras.
“Baiklah…” Andrew mengangkat salah satu sudut bibirnya
membentuk seringaian iblis. Kini ia sudah mirip Lucifer yang diturunkan saat
malam purnama tertutup awan. Benar-benar mengerikan. “Aku akan mengambil mereka
secara paksa.”
***
Bag-bug-bag-bug!
Andrew menendang pria besar di depannya sekuat tenaga sampai
orang itu terlempar jauh, ia menangkis tendangan dari samping kanannya menggunakan
lengan kanan lalu menghantam yang dari sisi lain menggunakan sikunya.
Menghindar saat sabetan besi karatan hampir mengenai
pipinya, menendang tulang kering pria yang hampir menyerangnya dari belakang.
Bug!
Jumlah tetaplah sebuah perbedaan yang tidak bisa diremehkan.
Nyatanya stamina Andrew yang menipis hampir menjadi titik kelemahan disaat ia
harus menghadapi sepuluh orang berbadan besar. Ahh… sejak awal Andrew memang
tahu kelemahannya, ia sadar ada kemungkinan akan kalah. Tapi…
“TUAN MUDA!”
TRANG!
Nyaris saja Andrew yang sedang lengah itu kepalanya bocor.
Diserang besi runcing dari belakang tentu saja lukanya tidak bisa dianggap
sepele jika besi itu benar-benar mengenai kepalanya. Beruntung bagi Andrew
karena Daren datang tepat waktu, Daren yang melihat Tuannya dalam bahaya segera
melempar besi yang tengah digenggamnya sekuat tenaga.
Lemparan kuat Daren tentu tidak bisa diremehkan efeknya, dua
besi yang saling berbenturan itu terlempar jauh dengan si penggenggam pertama
yang merasa tangannya pasti keseleo. Merintih kesakitan lalu terlempar jauh
saat Andrew memberi hadiah sebuah tendangan di perut. Oh, nasib buruk baginya…
karena mengalami hal yang diperibahasakan ‘sudah jatuh tertimpa tangga.’.
nasib-nasib!
“Tuan muda, biar saya yang melawan mereka. Anda silahkan
menjemput Tuan dan Nona kecil.” Saran Daren. Meski sempat ragu, Andrew akhirnya
menuruti apa yang dikatakan Daren. Ia segera berlari membuka pintu gudang dan
melempar pandangan mata abunya ke sana kemari. Ruangan kumuh dengan penerangan
lampu lima watt, di dalamnya banyak kardus dan kotak kayu lapuk ditumpuk tidak
terpakai.
Menemukan sebuah pintu tak jauh darinya, Andrew segera
berlari dan mendobraknya, hembusan napas lega terdengar saat ia melihat Marsya
tampak tenang dipangkuan Brian. Kedua pasang mata satu warna itu menatap Andrew
kaget. Terbelalak karena kagum sang Papa yang sedang mereka bicarakan ternyata
memang muncul bak sosok pahlawan.
“Marsya! Brian!” seru Andrew bersemangat.
“PAPA!” Marsya segera berdiri lalu berlari menghambur ke
pelukan Andrew. Andrew memangkunya dan menciuminya. Tidak bisa ia ungkapkan
betapa bersyukurnya ia karena berhasil menemukan dua buah hatinya. Andrew
segera menurunkan Marsya dan melepaskan tas ranselnya. Membuka resletingnya dan
mengeluarkan jaket serta helm kecil.
“Kau pakai ini Sayang. Biar aman!” Andrew segera memakaikan
jaket tebal berwarna biru muda pada Marsya. Dengan cekatan ia juga memasangkan
helm lalu melempar pandangannya pada Brian. “Brian, kau juga ambil helm dan
ganti jaketmu dengan yang lebih tebal di tas Papa. Cepat.”
Brian mengangguk antusias lalu tersenyum. Ia sangat senang
karena Andrew ternyata juga masih mengharapkannya pulang bahkan membawakannya persiapan
seperti untuk Marsya. Ia segera menuruti perintah sang Papa. Melihat Andrew
berdiri, dan sudah menggendong Marsya, Brian pun sudah siap seperti interuksi
papanya.
“Ayo kita pulang!”
***
Cepat!
Andrew memacu langkah kakinya setengah
berlari, dengan tangan kanan memangku Marsya dan tangan kiri menuntun Brian.
Sesekali ia melempar tendangan jika ada orang yang hendak menghalangi jalannya,
mengulur waktu yang tidak lagi lama. Anggun menunggunya, ia hanya punya waktu
satu jam untuk sampai di rumah sebelum tengah malam.
Marsya yang ada di gendongan Andrew
tampak terbelalak kagum, ia menatap
Daren yang sedang berkelahi dengan banyak orang menggunakan kedua bola matanya
yang berbinar.
“DELEN KELEEEN!!” seru Marsya tidak
tahu situasi, melambai semangat pada Daren yang sekilas melempar senyum
diiringi hantaman tinjunya pada pria besar di depannya. Marsya heboh sendiri
sambil bertepuk tangan. setelah besar nanti, Marsya ingin pintar berkelahi
seperti Daren.
“Mau duduk depan, Papa!” Marsya
merengek tidak mau diturunkan saat sadar ia akan didudukkan di jok belakang,
melingkarkan kakinya di pinggang sang papa kuat-kuat.
“Sayang kita sedang dikejar orang,
duduk di belakang dengan Kak Brian, ya?” Andrew membujuk, ia hampir menjerit
frustasi saat helm pink itu menggeleng kuat. Astaga… andai saja Marsya itu Andre,
mungkin Andrew tidak akan segan membentaknya. Sayangnya yang kini dihadapinya
putri semata wayang yang belum mengerti apa-apa.
“POKOKNYA MAU DUDUK DEPAN!”
“Marsya...”
“DUDUK
DEPAN PAPA!”
Menyerah,
Andrew tahu seberapa keras kepalanya putri semata wayangnya itu, ia tidak punya
banyak waktu. Segera ia menaiki motor dan mendudukkan Marsya di depannya,
setelah memastikan Brian duduk di belakangnya dan memberi intruksi memeluk
pinggangnya erat, Andrew segera menyalakan motor, mengatur kopling dan
menggasnya sebelum beberapa orang yang hendak menghadangnya itu sampai di
dekatnya.
***
“Waktumu hanya sampai
tengah malam!”
suara
Anggun tadi mengaung jelas di telinga Andrew, membuatnya refleks semakin memacu
motornya cepat dengan tangan kanan sementara tangan kirinya memeluk sang putri
kuat-kuat.
“Lewat tengah malam,
aku sudah tidak ada lagi di rumah ini...”
Andrew
menggertakkan giginya, pikirannya amat kalut, waktunya sudah tidak banyak, ia
bahkan tidak tahu sekarang jam berapa? Andrew tidak bisa memberi fokus lebih
selain untuk membelah jalanan raya malam yang sepi dan dingin, sambil menjaga
keseimbangan sang putri yang justru berteriak kesenangan tanpa secuil pun rasa
takut.
“Jika kau terlambat,
itu akhir pernikahan kita, Andrew...”
“Anggun...”
TIIIIIT!
Tanpa
ia prediksi sebelumnya, sebuah truk dengan kecepatan tinggi tepat berlawanan
arah dengan motornya, Andrew dengan refleks menginjak rem, membanting stang ke
kiri, tanpa sempat melihat bahwa arah yang ditujunya justru adalah portal
jembatan layang.
BRAK!
Motor
Andrew menghantam trotoar diiringi jeritan ketakutan Marsya dan Brian yang
memecah sunyinya malam di jalanan yang jarang dilewati pengendara saat malam.
Bruk!
Brian
yang tanpa sengaja melepaskan cengkeraman tangannya terlempar ke badan trotoar,
menjerit ngilu saat punggungnya menghantam portal besi.
Trak!
Andrew
yang terlempar melewati portal meraih besi panjang yang terulur ke luar jalan,
tangan kirinya masih memeluk sang putri erat, meringis saat tadi helmnya
terlepas. Kini, ia bergelayutan di jembatan setinggi sepuluh meter dengan
sebelah tangan. Ia semakin mendekap Marsya kuat-kuat saat dirasakannya Marsya
mulai menangis karena kaget.
“MACA
TAKUT PAPA!”
“Sayang...
tenang...” Andrew berusaha menenangkan putrinya, merintih saat menyadari besi
yang menjadi alatnya menyelamatkan diri semakin condong ke arah sungai. Sungai
yang mengalir deras karena baru saja diguyur hujan. Besi kecil itu tentu saja
tidak sanggup menahan bobot Andrew dan putrinya.
Melihat
Marsya yang lebih tenang sambil terisak, Andrew sedikit bernapas lega. Yang
jadi prioritasnya saat ini adalah menyelamatkan Marsya sekalipun ia harus
kehilangan nyawa.
Apa
yang bisa ia lakukan sekarang? Apa yang akan dikatakannya pada Anggun kalau
sampai ia gagal menyelamatkan putri mereka?
“Papa
Maca ndak mau gelantungan, takut.”
“Sebentar,
ya...” Andrew memutar otak, ia harus cepat menaikan Marsya ke atas sebelum besi
yang menjadi pegangannya lepas dari bagian jembatan.
‘Tuhan… aku mati tidak
apa-apa, tapi kumohon beri kehidupan dan keselamatan untuk anak-anakku…’
Andrew membatin memanjatkan doa, sadar saat ini hanya Tuhan lah tempat bagi ia
untuk bergantung. ‘Aku tidak mau hidup
dengan dibenci Anggun…
Kalau sampai aku tidak bisa
mengantar Marsya pulang… biarkan aku mati saja, atau buat aku melupakan
semuanya…’
Andrew
menahan napas dengan mata masih terpejam, ‘Karena
bagiku… mati jauh lebih baik daripada aku harus hidup dengan kebencian orang
yang selama ini selalu mencintaiku.’
“Papa,
Marsya?”
“BRIAN!”
“KAK
BAYEEEN!”
Andrew
bernapas lega, ia senang karena ternyata Brian baik-baik saja, bahkan masih
menapak di daratan. Berbanding terbalik dengan nasibnya. Sebuah kepala
menyembul ke luar portal saat mendengar seruan memanggil namanya, matanya
melebar begitu melihat kondisi papa dan adiknya amat terdesak.
Cepat-cepat
Brian membungkuk mengulurkan tangan, berusaha menggapai sang papa yang tidak
bisa diraihnya.
Malam
kian larut, angin berhembus kencang namun tidak dapat mendinginkan tubuh Andrew,
keringat dingin mengucur deras dari punggung dan pelipisnya. Sialnya Andrew
karena jalanan benar-benar sepi.
Brian
berseru, “Pa, pegang tangan Brian, Pa!”
Andrew
meringis mendengarnya, gelapnya malam yang hanya ditemani cahaya bulan tidak
sanggup menyamarkan matanya yang menatap replika mininya nanar. Anak itu begitu
baik, ia bahkan tidak sadar tubuh kecilnya tidak mungkin sanggup menarik tubuh
sang papa yang besar.
“Marsya,
kau pintar manjat kan, Sayang? Coba kau naik ke pundak Papa terus raih tangan
Kak Brian.” Andrew menunduk lalu tersenyum kecil, berusaha meyakinkan dan menenangkan.
Mata
bulat Marsya berkedip beberapa kali, lalu ia merengek, “Maca takut jatuh
Papa...”
“Papa
menjagamu, Papa pegang baju Marsya, Tidak akan jatuh.”
Marsya
memanyunkan bibirnya, beberapa detik kemudian ia mengangguk pelan. Dua tangan
mungil itu menarik jaket Andrew kuat-kuat, dengan pintarnya ia memanjat bahkan
menjadikan rambut sang papa sebagai pegangan, beruntunglah Andrew yang masih
sedikit gondrong dan mengelak setiap kali Anggun memintanya bercukur.
Setidaknya, rambut itu sekarang berguna untuk putrinya.
Tangan
kanan Andrew masih mencengkeram erat kerah jaket Marsya, berjaga-jaga kalau
putrinya terpeleset.
“Brian
tarik adikmu!”
Menuruti
perintah Papa, Brian menggapai dua tangan Marsya yang terulur ke atas, adiknya
sedang duduk di pundak sang papa dengan wajah manja khasnya.
Susah
payah karena tangannya juga terluka, diiringi debaran jantung yang menggila
akhirnya Marsya bisa naik ke atas jalan. Kini dua kepala itu menyembul ke luar
jembatan, mengulurkan tangan-tangan mungil mereka agar bisa digapai sang Papa.
Trak!
Besi yang dipegang Andrew semakin mencondong saat bebatuannya retak, perlahan
mulai rontok menjatuhkan serpihan-serpihan itu ke dalam sungai.
“PAPA! PEGANG TANGAN BRIAN, AYO!” Brian histeris.
Perasaannya semakin tidak nyaman saat Andrew justru mendongak dan... tersenyum?
Demi Tuhan, mata Brian bahkan memanas setelah sekian
lama, ini untuk pertama kalinya Andrew tersenyum begitu tulus padanya, senyuman
yang begitu menenangkan dan menyenangkan, senyuman seorang ayah yang selama ini
selalu menjadi dambaannya. Bolehkah Brian percaya diri bahwa sang papa mulai
bisa menerima kehadirannya?
“Kau anak Papa juga, Brian...” kata Andrew lirih. Ia
masih setia mengukir senyum, “Siapa pun yang mengandungmu, tetap saja kau anak
Papa.”
“Papa... bicaranya nanti saja, sekarang pegang
tangan Brian...” airmata Brian menetes saat Andrew tak memberi respon. Andrew
justru mendesah pasrah.
“Rasa sayang Papa padamu, tidak berbeda dengan
perasaan Papa pada adik-adikmu sekalipun kalian beda Ibu.” Andrew terus bicara,
ia merasa setelah ini tidak akan punya kesempatan untuk mengatakannya.
“Hanya saja, mungkin awalnya Papa sedikit bingung,
karena kehadiranmu yang terlalu mendadak.”
“Papa... pegang tangan Brian, Pa!” Brian terisak. ia
semakin menjulurkan tangannya, berusaha menggapai tangan Andrew yang
mencengkeram erat besi yang tidak akan bertahan terlalu lama. Mulai sadar
mungkin senyum yang diberikan saat ini oleh sang Papa, adalah senyum pertama
dan terakhir untuknya.
“Kalung untukmu, mungkin besok baru selesai.” Andrew
semakin ngelantur. Waktunya mungkin memang sudah tidak lagi lama. “Kalung itu
paling cepat selesai dalam satu bulan, kau mengerti kan, sekarang? kalungmu dan
milik adik-adikmu, di pesan di waktu yang berbeda jauh, Papa harap, kau tidak
membenci Papa karena tidak pernah jadi ayah yang baik untukmu.”
“Pa...”
“Papa jangan belenang malam-malam, nanti cakit,
pegang tangan Maca, Papa...” Marsya mengerjap polos saat sang papa mengatakan
sesuatu yang tidak dimengertinya, hanya satu alasan yang
membuatnya menangis histeris di balik helmnya.
Marsya... merasa ketakutan akan firasat tidak bisa
bertemu lagi dengan sang Papa.
“Jaga Mama dan adik-adikmu, Brian.” Andrew menahan
napas saat retakkan di batu beton itu kian melebar, “Sampai Papa pulang.” Itu pun jika aku bisa pulang. Lanjut Andrew
dalam hati. Mengingat saat menunduk di bawahnya ada batu besar yang kemungkinan
bisa menghancurkan kepalanya jika sampai menghantamnya dari jarak sepuluh
meter.
“Pap-”
“NONA KECIL!” seru seseorang yang mendadak
menghentikan laju motornya, tepat di samping sebuah motor yang terguling, motor
yang cukup familiar di matanya. Terlebih saat melihat dua pasang kaki beda
ukuran terjulur di trotoar jalan. Dan benar saja, kaki mungil itu milik Marsya.
“DAREN!”
“DELEN!”
Seru dua anak itu saat menoleh, Daren segera
menghampiri mereka panik. Kenapa dua anak itu masih di sana? Bukannya
seharusnya mereka sudah pulang bersama Andrew?
Andrew? Eh?
“DAREN CEPAT TOLONG PAPA!”
“Daren?” terselip sedikit nada harap saat Andrew
menyebut namanya. Daren memang pasti sanggup menariknya yang sudah tidak kuat
bergelantungan. Mendengar
namanya disebut seseorang dari luar jembatan, Daren segera menyembulkan kepalanya
dan melebarkan matanya.
“Tu-tuan muda?” dengan panik Daren segera membungkuk
dan mengulurkan tangannya. “Raih tangan saya.”
Andrew tersenyum lega. Sepertinya hidupnya memang
akan selamat.
***
Anggun termenung, ia sejak tadi hanya membungkuk
menatap bingkai foto keluarganya yang mendadak copot dari dinding kemudian
menghantam lantai yang mengakibatkan kacanya pecah. Retakan kaca itu lebih
banyak tepak di bagian wajah Andrew, saat Anggun membungkuk untuk
membereskannya, serpihan kaca itu justru menusuk kedua jemari lentiknya.
Darah mengucur membasahi foto wajah Andrew,
menimbulkan firasat buruk akan terjadinya sesuatu hal kepada suami yang saat
ini Anggun anggap tidak penting keberadaannya dibanding para buah hatinya.
Teng!
Kreeet…
Tepat tengah malam, pintu utama rumahnya terbuka, Anggun
yang memang sedang ada di ruang tamu menoleh. Matanya berbinar saat melihat
tiga sosok yang muncul di ambang pintu.
“MAMA!!!”
“Marsya!” segera Anggun berlari memeluk putrinya,
menciuminya dengan airmata lega karena Andrew bisa menepati janjinya. Setelah
puas memeluk Marsya, Anggun menarik Brian dalam pelukannya, mengucapkan banyak
kata terima kasih karena Brian sudah menjaga gadis kecil kesayangannya.
“Mata Brian kenapa sembab?” Tanya Anggun cemas. Kembali
rasa tidak nyaman menyelimuti relung kalbunya, terutama… saat melihat tangisan Brian
pecah. Brian terus-terusan menggumamkan permohonan maaf.
Anggun mendongak, menatap tubuh gemetaran Daren
dengan kedua matanya yang membengkak. Ada yang salah… Ada yang kurang…
“Daren, ke mana… Andrew?” Suara Anggun begitu lirih,
menyayat hati seakan tahu suaminya tidak dalam kondisi baik.
“Tuan muda… hilang di sungai... Nyonya…”
Dan
aku seolah ditelan oleh karmaku…
Aku
dibinasakan oleh sumpah serapahku…
***
Kasian andrew😭😭😭😭
BalasHapusCeritanya bagus banget kak, luv🖤
BalasHapus