Still For You, Andrew (Satu)

| Senin, 13 April 2015


“Andre, jangan lari-lari terus, Nak! Mama capek.” Anggun tampak kepayahan mengejar si sulung yang hyper aktif itu. Berlari ke sana-kemari sambil mengomentari apa pun hal yang dianggapnya menarik. Ada juga hal yang tidak menarik yang ia komentari. Bahkan hal jelek pun tidak luput dari cibirannya. Seperti tentang pria separuh baya yang sejak tadi duduk di depan Anggun.
“Ih, kakek cudah jelek kok lama idup, cih?” cibir Andre saat tadi sempat duduk di samping Anggun. Lalu kembali turun dari kursi. Anggun yang sudah lelah mengejarnya akhirnya kembali duduk, ia menyampingkan rambutnya ke telinga lalu menatap pria tua botak yang kini duduk di depannya.
“Kau semakin cantik saja Anggun.” Asep memuji. Sejak tadi ia menatap wajah Anggun dengan sorot berbinar. Tidak menyangka sekembalinya ke kampung, Anggun berpenampilan layaknya wanita bangsawan dengan wajahnya yang semakin rupawan. Mendengar hal itu Anggun hanya mencibir sebal. Ia tahu maksud bandot tua ini datang ke rumahnya pagi ini.
Ingin menikahinya agar kedua orangtuanya bebas dari hutang, heh? Maaf saja. Anggun lebih memilih menyerahkan mobil Jaguar milyaran yang parkir di depan rumahnya daripada harus menjadi istri keempat kakek tua tidak tahu diri itu. Hanya karena hutang orangtuanya sebesar dua puluh juta dan dalam beberapa bulan membengkak karena bunga menjadi tujuh puluh juta, ia harus menikah dengan orang yang lebih layak dipanggil kakek begitu?
“Kau rentenir gila tidak punya otak!” cibir Anggun jengkel. “Kau pikir aku mau menikah denganmu, begitu?”
“Kau tidak punya pilihan Anggun. Hanya setengah jam lagi, kalau sampai kau belum juga membayar hutang orangtuamu, kita akan segera menikah.” Asep tertawa renyah. Membuat kedua orangtua Anggun yang berdiri di sisi ruangan itu menatap puteri tunggal mereka menyesal. Salah mereka memang, tidak menceritakan pada Anggun bahwa memiliki hutang pada si lintah darat. Tadinya mereka ingin melunasinya sendiri dan tidak merepotkan Anggun lagi, tapi ternyata sikap mereka justru jauh lebih merepotkan puteri mereka.
Seperti perjanjian Anggun dan Asep kemarin malam, kalau sampai jam sepuluh pagi Andrew belum juga datang untuk melunasi hutang-hutangnya, Anggun harus rela menjadi istri keempat si bandot tua.
Astaga! Andrew bisa hilang pamor jika dikalahkan oleh kakek-kakek tua di depannya padahal dengan mudah ia menyingkirkan adiknya sendiri yang dulu sempat menjalin kasih dengan Anggun. Tidak termasuk Edward, salah satu sahabatnya yang kini menetap di luar negri.
“Andrew…” lirih Anggun jengkel. Harusnya tadi malam Andrew sudah sampai di desanya, tapi karena ketinggalan pesawat, terpaksa dari Surabaya ke Jakarta dia naik kereta. Tentu saja memakan waktu lebih lama, belum lagi perjalanan dari stasiun Jakarta ke desanya yang cukup jauh. Bukan hal yang tidak mungkin Andrew terlambat datang. “Kenapa nomormu tidak aktif?” desahnya semakin cemas. Sejak tadi ia tidak bisa duduk diam. Kedua lututnya gemetaran.
“Mama-Mama, itu… dia kok ndak pulang-pulang, cih? Bau tau!” Andre menghampiri Anggun dan menutup hidungnya. Anggun langsung memangku putra sulungnya dan mendudukkannya di pangkuan.
“Iya, bau tanah. Tidak tau diri lagi.” Anggun menambahkan sinis. Tapi sepertinya otak somplak Asep tidak ambil pusing dengan hinaan dari ibu dan anak judes padanya itu. Ia sangat senang karena tidak lama lagi bisa memperistri wanita secantik Anggun. Tidak peduli pada Anggun yang sudah punya anak bahkan sekarang sedang hamil.
“Mati sana!”
Oh, Andrew junior semakin panas saja karena merasa didukung oleh ibunya. Tangannya mengarahkan dot ke dalam mulutnya lalu mengisap susunya kuat-kuat. Matanya terus menatap Asep tajam.
“Papa mana Mama? Ande kangen…”
“Sebentar lagi saya akan jadi Papamu. Sini, Nak! Sama Papa sayang!” Asep merentangkan tangannya. Hendak memeluk bocah blasteran yang bergidik ngeri melihatnya. Ia membalikan tubuhnya dan memeluk Anggun semakin erat.
“Amit-amit kakek! Papa Ande kan ganteng.”
“Iya, sudah ganteng tidak celamitan sepertimu. Tua Bangka!” Anggun semakin galak saja. Kondisinya yang tengah hamil membuatnya moodswing. Tidak jarang Andrew juga terciprat sifat judesnya. Sepertinya… saat mengatakan Andrew tidak celamitan Anggun melupakan bahwa dulu Andrew tidak lebih dari seorang pemuda brengsek yang memelihara enam orang pelacur di rumahnya tidak termasuk dirinya.
Oke, mungkin awalnya termasuk, tapi itu tidak bertahan lama.
“Sudah jam sepuluh!” Asep bertepuk tangan. Akhirnya ia bisa menggiring Anggun ke penghulu untuk segera dia nikahi. “Ayo sayang, penghulu sudah menunggu.”
“Aku tidak mau! Kau nikahi saja si botak itu!” tunjuk Anggun sebal. Dia menunjuk orang kepercayaan Asep yang selalu menjadi buntut rentenir itu. Berbadan besar dengan wajah yang sangat mengerikan.
“Ah, ayolah Anggun… waktumu sudah habis.”
“Aku tidak mau sialan!” bentak Anggun gemas. Saat tangannya mulai ditarik-tarik paksa oleh Asep. Andre saja terpaksa turun dari pangkuannya saat Anggun dipaksa berdiri. Kedua orangtua Anggun yang hendak menolongnya ditahan oleh dua bodyguard Asep yang lain.
“Cukup!” perintah seseorang di lubang pintu tegas. Suaranya yang amat berwibawa membuat acara tarik-menarik Anggun berhenti. Seorang pria mengenakan jas hitam berjalan menghampiri Anggun, pria berlesung pipi itu membungkuk memberi hormat pada Anggun.
“Nyonya, saya terlambat, maaf!” ucap Daren menyesal, Daren adalah salah satu orang kepercayaan Andrew, wajahnya tampan dan tubuhnya tinggi tegap. Anggun tersenyum lalu mengangguk. Tidak ada waktu berbasa-basi. Ia ingin segera menyelesaikan masalahnya dengan bandot tua yang segera ia hempaskan pegangannya.
“Uangnya kau bawa kan, Daren?” tanya Anggun. Daren meletakan koper hitam di atas meja lalu membukanya, memutar koper itu lalu berdiri tegap. mata Asep membola melihat isi koper penuh dengan uang gepokan.
“Tujuh puluh juta, ambil!” Daren mengambil sebuah amplop besar yang khusus ia siapkan untuk Asep lalu menyodorkannya. “Si buruk rupa tidak akan pernah pantas untuk seorang  bidadari!” cibir Daren sinis.
Asep menggeleng lalu mundur, ia tetap keukeuh ingin menikahi Anggun.
“Ti-tidak, kau telat! Anggun tetap harus menikah denganku!” sentak Asep tidak terima. Matanya memicing tajam menatap Daren yang nyaris tidak bergerak dari tempatnya. Daren tersenyum sinis, ia merogoh sakunya lalu menodong Asep dengan pistolnya. Moncong pistol itu tepat berada di kening Asep.
“Sepertinya anda tidak pernah merasakan panasnya peluru yang menembus kepala anda!” Daren berkata dengan suara nyaris tak bernada. Ia memang dididik untuk menjadi pembunuh berdarah dingin. Membinasakan seseorang yang menghalangi niat tuannya, tentu bukan hal yang aneh bagi seorang Daren.
“Itu pistol sungguhan? Jangan main-main!” ucap Asep panik. Daren tersenyum lalu mulai menarik pelatuknya. Salah satu sudut bibirnya terangkat semakin tinggi saat melihat mangsanya sudah berwajah pucat pasi.
“Saya bodyguard, tugas saya melindungi majikan saya dengan taruhan nyawa.” Daren mendesis. Mata cokelatnya menatap Asep semakin geram. “Pergi!”
Asep mengangguk, dengan wajah shock ia mengajak ketiga ajudannya meninggalkan rumah Anggun. Tidak lupa dengan amplop coklat berisi uang yang tadi disodorkan Daren. Setelah memastikan Asep dan orang-orangnya pergi, ia bernapas lega. Untunglah dia tidak datang terlambat. Ia jadi tidak harus membunuh seseorang agar tidak mengecewakan tuannya.
 “Delen-Delen! itu kan pistol Ande!” tegur Andre sambil bersidekap. Pipinya menggembung dan keningnya mengkerut. Daren tersenyum lalu berjongkok pada Andre yang berdiri di depannya, ia menyerahkan pistol pada Andre.
“Maaf Tuan Muda, tadi saya pinjam sebentar untuk mengusir Kakek jahat. Pistol saya ketinggalan di rumah.” Daren memberi pengertian. Andre mengangguk lalu meraih pistolnya, ia menodongkannya pada Daren lalu menarik pelatuknya.
“Dol!” teriak Andre saat gelembung busa keluar dari moncong pistolnya. Daren pura-pura tertembak lalu berbaring di lantai seolah sudah mati. Andre tertawa riang lalu menduduki perut Daren. Ia melompat-lompat membuat perut bodyguard ayahnya itu mual. Daren terbatuk-batuk “Papa mana?” tanya Andre sedih.
Ia sudah sangat rindu pada ayahnya. Sejak kemarin sore Andrew belum sempat menelpon Andre, saat menelpon ibunya justru dirinya sudah tidur. dan itu membuat Andre merasa ayahnya sudah tidak memperhatikannya. Ayahnya melupakannya… hari ini tidak menelponnya.
“Papa di sini Andre!” sapa seseorang di lubang pintu. Andre menoleh cepat, ia berlari menghampiri Andrew lalu melompat minta dipangkunya. Andrew memangkunya dan memeluknya erat, wajah lelahnya sedikit terlihat lega saat melihat Daren sudah berada di sana. Tadi malam ia panik bukan main. Saat mendengar kabar Anggunnya hendak direbut lelaki tua yang sama sekali tidak pantas untuk bersaing dengannya.
“Papa mana aja? Kangen-kangen-kangen!” Andre memeluk leher Andrew erat. Andrew mencium puncak kepala Andre lalu menghampiri Anggun. Sekujur tubuhnya yang pegal mendadak fit, rupanya melihat istri dan anaknya dalam kondisi baik, melepaskan rasa lelah yang menggantung di kelopak matanya tadi.
“Kalian belum menikah kan?” goda Andrew. Anggun cemberut lalu berhambur memeluk Andrew. Ia mendekap suaminya erat dan menghirup aroma tubuh Andrew yang sangat disukainya. Maskulin dan menyegarkan, sekalipun Anggun yakin Andrew belum sempat mandi.
“Hampir, untung saja ada Daren!” ucap Anggun manja, Daren berdiri lalu mundur agar tidak mengganggu majikannya. Tersenyum melihat keharmonisan keluarga Andrew.
‘Kalau saja yang dipeluknya itu... aku...’ batin Daren sedih. Walaupun kesedihannya tidak tampak jelas di wajah datarnya. Ia memperhatikan Andrew dalam-dalam lalu menunduk. Sadar… apa pun yang dilakukannya, ia tidak mungkin mendapatkan seseorang yang sejak dulu amat dikaguminya.
“Terima kasih, Daren, kau datang tepat waktu,” ucap Andrew lalu menoleh, Daren tersenyum lalu menunduk sopan.
“Sudah tugas saya, Tuan!”
“Bu, Pak!” sapa Andrew saat melihat kedua orangtua Anggun menghampirinya. Tersenyum saat kedua orangtua itu menatapnya dengan begitu berbinar. Mereka sangat mengagumi Andrew yang jauh lebih tampan daripada yang mereka lihat di foto yang Anggun kirimkan.
“Nak Andrew, maaf… kami merepotkan Nak Andrew lagi.” Kata ayahnya Anggun menyesal. Ia sedih karena tidak bisa berbuat apa-apa saat tadi Asep hampir membawa putrinya pergi.
“Iya, selalu saja seperti ini.” Ibunya Anggun menunduk sedih.
“Sudahlah, tidak perlu kalian pikirkan. Yang jelas kan semua sekarang baik-baik saja.” Andrew berkata maklum. Ia meringis saat Andre naik ke atas pundaknya dan menjambak rambutnya sebagai pegangan. Ditepuknya pantat Andre yang montok karena menggunakan pampers. “Diam Andre, nanti kau jatuh.”
“Ah bodo ah!” jawan Andre cuek. Ia tetap naik sampai kemudian mendudukki pundak Andrew.
Andrew mencibir, ia menoleh lalu mendongak, masih sedikit ragu kalau sifat menyebalkan Andre itu memang benar-benar gen yang diturunkannya. “Kau itu mirip siapa, sih?” dengus Andrew sebal. Tidak menyadari bahwa Andre adalah replika dari dirinya dulu.
“Milip Mama dong. Papa kan peboy.”
“Eh?”
***

0 komentar:

Posting Komentar

Next Prev
▲Top▲