“Andre,
jangan lari-lari terus, Nak! Mama capek.” Anggun tampak kepayahan mengejar si
sulung yang hyper aktif itu. Berlari ke sana-kemari sambil mengomentari apa pun
hal yang dianggapnya menarik. Ada juga hal yang tidak menarik yang ia
komentari. Bahkan hal jelek pun tidak luput dari cibirannya. Seperti tentang
pria separuh baya yang sejak tadi duduk di depan Anggun.
“Ih,
kakek cudah jelek kok lama idup, cih?” cibir Andre saat tadi sempat duduk di
samping Anggun. Lalu kembali turun dari kursi. Anggun yang sudah lelah
mengejarnya akhirnya kembali duduk, ia menyampingkan rambutnya ke telinga lalu
menatap pria tua botak yang kini duduk di depannya.
“Kau
semakin cantik saja Anggun.” Asep memuji. Sejak tadi ia menatap wajah Anggun
dengan sorot berbinar. Tidak menyangka sekembalinya ke kampung, Anggun
berpenampilan layaknya wanita bangsawan dengan wajahnya yang semakin rupawan.
Mendengar hal itu Anggun hanya mencibir sebal. Ia tahu maksud bandot tua ini
datang ke rumahnya pagi ini.
Ingin
menikahinya agar kedua orangtuanya bebas dari hutang, heh? Maaf saja. Anggun
lebih memilih menyerahkan mobil Jaguar milyaran yang parkir di depan rumahnya
daripada harus menjadi istri keempat kakek tua tidak tahu diri itu. Hanya
karena hutang orangtuanya sebesar dua puluh juta dan dalam beberapa bulan
membengkak karena bunga menjadi tujuh puluh juta, ia harus menikah dengan orang
yang lebih layak dipanggil kakek begitu?
“Kau
rentenir gila tidak punya otak!” cibir Anggun jengkel. “Kau pikir aku mau
menikah denganmu, begitu?”
“Kau
tidak punya pilihan Anggun. Hanya setengah jam lagi, kalau sampai kau belum
juga membayar hutang orangtuamu, kita akan segera menikah.” Asep tertawa
renyah. Membuat kedua orangtua Anggun yang berdiri di sisi ruangan itu menatap puteri
tunggal mereka menyesal. Salah mereka memang, tidak menceritakan pada Anggun
bahwa memiliki hutang pada si lintah darat. Tadinya mereka ingin melunasinya
sendiri dan tidak merepotkan Anggun lagi, tapi ternyata sikap mereka justru
jauh lebih merepotkan puteri mereka.
Seperti
perjanjian Anggun dan Asep kemarin malam, kalau sampai jam sepuluh pagi Andrew
belum juga datang untuk melunasi hutang-hutangnya, Anggun harus rela menjadi
istri keempat si bandot tua.
Astaga!
Andrew bisa hilang pamor jika dikalahkan oleh kakek-kakek tua di depannya
padahal dengan mudah ia menyingkirkan adiknya sendiri yang dulu sempat menjalin
kasih dengan Anggun. Tidak termasuk Edward, salah satu sahabatnya yang kini
menetap di luar negri.
“Andrew…”
lirih Anggun jengkel. Harusnya tadi malam Andrew sudah sampai di desanya, tapi
karena ketinggalan pesawat, terpaksa dari Surabaya ke Jakarta dia naik kereta.
Tentu saja memakan waktu lebih lama, belum lagi perjalanan dari stasiun Jakarta
ke desanya yang cukup jauh. Bukan hal yang tidak mungkin Andrew terlambat
datang. “Kenapa nomormu tidak aktif?” desahnya semakin cemas. Sejak tadi ia
tidak bisa duduk diam. Kedua lututnya gemetaran.
“Mama-Mama,
itu… dia kok ndak pulang-pulang, cih? Bau tau!” Andre menghampiri Anggun dan
menutup hidungnya. Anggun langsung memangku putra sulungnya dan mendudukkannya di
pangkuan.
“Iya,
bau tanah. Tidak tau diri lagi.” Anggun menambahkan sinis. Tapi sepertinya otak
somplak Asep tidak ambil pusing dengan hinaan dari ibu dan anak judes padanya
itu. Ia sangat senang karena tidak lama lagi bisa memperistri wanita secantik Anggun.
Tidak peduli pada Anggun yang sudah punya anak bahkan sekarang sedang hamil.
“Mati
sana!”
Oh,
Andrew junior semakin panas saja karena merasa didukung oleh ibunya. Tangannya
mengarahkan dot ke dalam mulutnya lalu mengisap susunya kuat-kuat. Matanya terus
menatap Asep tajam.
“Papa
mana Mama? Ande kangen…”
“Sebentar
lagi saya akan jadi Papamu. Sini, Nak! Sama Papa sayang!” Asep merentangkan
tangannya. Hendak memeluk bocah blasteran yang bergidik ngeri melihatnya. Ia
membalikan tubuhnya dan memeluk Anggun semakin erat.
“Amit-amit
kakek! Papa Ande kan ganteng.”
“Iya,
sudah ganteng tidak celamitan sepertimu. Tua Bangka!” Anggun semakin galak
saja. Kondisinya yang tengah hamil membuatnya moodswing. Tidak jarang Andrew juga terciprat sifat judesnya.
Sepertinya… saat mengatakan Andrew tidak celamitan Anggun melupakan bahwa dulu Andrew
tidak lebih dari seorang pemuda brengsek yang memelihara enam orang pelacur di
rumahnya tidak termasuk dirinya.
Oke,
mungkin awalnya termasuk, tapi itu tidak bertahan lama.
“Sudah
jam sepuluh!” Asep bertepuk tangan. Akhirnya ia bisa menggiring Anggun ke
penghulu untuk segera dia nikahi. “Ayo sayang, penghulu sudah menunggu.”
“Aku
tidak mau! Kau nikahi saja si botak itu!” tunjuk Anggun sebal. Dia menunjuk
orang kepercayaan Asep yang selalu menjadi buntut rentenir itu. Berbadan besar
dengan wajah yang sangat mengerikan.
“Ah,
ayolah Anggun… waktumu sudah habis.”
“Aku
tidak mau sialan!” bentak Anggun gemas. Saat tangannya mulai ditarik-tarik paksa
oleh Asep. Andre saja terpaksa turun dari pangkuannya saat Anggun dipaksa
berdiri. Kedua orangtua Anggun yang hendak menolongnya ditahan oleh dua
bodyguard Asep yang lain.
“Cukup!”
perintah seseorang di lubang pintu tegas. Suaranya yang amat berwibawa membuat
acara tarik-menarik Anggun berhenti. Seorang pria mengenakan jas hitam berjalan menghampiri Anggun,
pria berlesung pipi itu membungkuk memberi hormat pada Anggun.
“Nyonya, saya terlambat, maaf!” ucap
Daren menyesal, Daren adalah salah satu orang kepercayaan Andrew, wajahnya
tampan dan tubuhnya tinggi tegap. Anggun tersenyum lalu mengangguk. Tidak ada
waktu berbasa-basi. Ia ingin segera menyelesaikan masalahnya dengan bandot tua yang
segera ia hempaskan pegangannya.
“Uangnya kau bawa kan, Daren?” tanya
Anggun. Daren meletakan koper hitam di atas meja lalu membukanya, memutar koper
itu lalu berdiri tegap. mata Asep membola melihat isi koper penuh dengan uang
gepokan.
“Tujuh puluh juta, ambil!” Daren
mengambil sebuah amplop besar yang khusus ia siapkan untuk Asep lalu
menyodorkannya. “Si buruk rupa tidak akan pernah pantas untuk seorang bidadari!” cibir Daren sinis.
Asep menggeleng lalu mundur, ia
tetap keukeuh ingin menikahi Anggun.
“Ti-tidak, kau telat! Anggun tetap
harus menikah denganku!” sentak Asep tidak terima. Matanya memicing tajam
menatap Daren yang nyaris tidak bergerak dari tempatnya. Daren tersenyum sinis,
ia merogoh sakunya lalu menodong Asep dengan pistolnya. Moncong pistol itu
tepat berada di kening Asep.
“Sepertinya anda tidak pernah
merasakan panasnya peluru yang menembus kepala anda!” Daren berkata dengan
suara nyaris tak bernada. Ia memang dididik untuk menjadi pembunuh berdarah
dingin. Membinasakan seseorang yang menghalangi niat tuannya, tentu bukan hal
yang aneh bagi seorang Daren.
“Itu pistol sungguhan? Jangan
main-main!” ucap Asep panik. Daren tersenyum lalu mulai menarik pelatuknya.
Salah satu sudut bibirnya terangkat semakin tinggi saat melihat mangsanya sudah
berwajah pucat pasi.
“Saya bodyguard, tugas saya
melindungi majikan saya dengan taruhan nyawa.” Daren mendesis. Mata cokelatnya
menatap Asep semakin geram. “Pergi!”
Asep mengangguk, dengan wajah shock ia mengajak ketiga ajudannya
meninggalkan rumah Anggun. Tidak lupa dengan amplop coklat berisi uang yang
tadi disodorkan Daren. Setelah memastikan Asep dan orang-orangnya pergi, ia bernapas
lega. Untunglah dia tidak datang terlambat. Ia jadi tidak harus membunuh
seseorang agar tidak mengecewakan tuannya.
“Delen-Delen! itu kan pistol Ande!” tegur Andre
sambil bersidekap. Pipinya menggembung dan keningnya mengkerut. Daren tersenyum
lalu berjongkok pada Andre yang berdiri di depannya, ia menyerahkan pistol pada
Andre.
“Maaf Tuan Muda, tadi saya pinjam
sebentar untuk mengusir Kakek jahat. Pistol saya ketinggalan di rumah.” Daren
memberi pengertian. Andre mengangguk lalu meraih pistolnya, ia menodongkannya
pada Daren lalu menarik pelatuknya.
“Dol!” teriak Andre saat gelembung
busa keluar dari moncong pistolnya. Daren pura-pura tertembak lalu berbaring di
lantai seolah sudah mati. Andre tertawa riang lalu menduduki perut Daren. Ia
melompat-lompat membuat perut bodyguard ayahnya itu mual. Daren terbatuk-batuk “Papa
mana?” tanya Andre sedih.
Ia sudah sangat rindu pada ayahnya.
Sejak kemarin sore Andrew belum sempat menelpon Andre, saat menelpon ibunya
justru dirinya sudah tidur. dan itu membuat Andre merasa ayahnya sudah tidak
memperhatikannya. Ayahnya melupakannya… hari ini tidak menelponnya.
“Papa di sini Andre!” sapa seseorang
di lubang pintu. Andre menoleh cepat, ia berlari menghampiri Andrew lalu
melompat minta dipangkunya. Andrew memangkunya dan memeluknya erat, wajah
lelahnya sedikit terlihat lega saat melihat Daren sudah berada di sana. Tadi
malam ia panik bukan main. Saat mendengar kabar Anggunnya hendak direbut lelaki
tua yang sama sekali tidak pantas untuk bersaing dengannya.
“Papa mana aja?
Kangen-kangen-kangen!” Andre memeluk leher Andrew erat. Andrew mencium puncak
kepala Andre lalu menghampiri Anggun. Sekujur tubuhnya yang pegal mendadak fit,
rupanya melihat istri dan anaknya dalam kondisi baik, melepaskan rasa lelah
yang menggantung di kelopak matanya tadi.
“Kalian belum menikah kan?” goda Andrew.
Anggun cemberut lalu berhambur memeluk Andrew. Ia mendekap suaminya erat dan
menghirup aroma tubuh Andrew yang sangat disukainya. Maskulin dan menyegarkan,
sekalipun Anggun yakin Andrew belum sempat mandi.
“Hampir, untung saja ada Daren!”
ucap Anggun manja, Daren berdiri lalu mundur agar tidak mengganggu majikannya.
Tersenyum melihat keharmonisan keluarga Andrew.
‘Kalau saja yang dipeluknya itu... aku...’ batin Daren sedih. Walaupun
kesedihannya tidak tampak jelas di wajah datarnya. Ia memperhatikan Andrew
dalam-dalam lalu menunduk. Sadar… apa pun yang dilakukannya, ia tidak mungkin
mendapatkan seseorang yang sejak dulu amat dikaguminya.
“Terima kasih, Daren, kau datang tepat
waktu,” ucap Andrew lalu menoleh, Daren tersenyum lalu menunduk sopan.
“Sudah tugas saya, Tuan!”
“Bu, Pak!” sapa Andrew saat melihat
kedua orangtua Anggun menghampirinya. Tersenyum saat kedua orangtua itu
menatapnya dengan begitu berbinar. Mereka sangat mengagumi Andrew yang jauh
lebih tampan daripada yang mereka lihat di foto yang Anggun kirimkan.
“Nak Andrew, maaf… kami merepotkan
Nak Andrew lagi.” Kata ayahnya Anggun menyesal. Ia sedih karena tidak bisa
berbuat apa-apa saat tadi Asep hampir membawa putrinya pergi.
“Iya, selalu saja seperti ini.”
Ibunya Anggun menunduk sedih.
“Sudahlah, tidak perlu kalian
pikirkan. Yang jelas kan semua sekarang baik-baik saja.” Andrew berkata maklum.
Ia meringis saat Andre naik ke atas pundaknya dan menjambak rambutnya sebagai
pegangan. Ditepuknya pantat Andre yang montok karena menggunakan pampers. “Diam
Andre, nanti kau jatuh.”
“Ah bodo ah!” jawan Andre cuek. Ia
tetap naik sampai kemudian mendudukki pundak Andrew.
Andrew mencibir, ia menoleh lalu
mendongak, masih sedikit ragu kalau sifat menyebalkan Andre itu memang
benar-benar gen yang diturunkannya. “Kau itu mirip siapa, sih?” dengus Andrew
sebal. Tidak menyadari bahwa Andre adalah replika dari dirinya dulu.
“Milip Mama dong. Papa kan peboy.”
“Eh?”
***
0 komentar:
Posting Komentar