Andre duduk
termenung di bangkunya, Ia tidak memedulikan ajakan beberapa temannya untuk ke
kantin atau pun bermain. Andre selalu membawa bekal makan siang sendiri dari
rumah, buatan mamanya, buatan sosok wanita yang amat dikaguminya.
Sekilas,
Andre melirik beberapa temannya yang sedang berkumpul sambil bercanda di dalam
kelas. Sepertinya, hanya dia saja yang tidak punya teman. Sikap dingin dan
cueknya membuat beberapa temannya sungkan. Apalagi mengingat nama Adrian yang
menjadi latar belakangnya, masing-masing dari anak itu, kebanyakan sudah diberi
tahu bahwa Adrian bukan lah seseorang yang bisa dipermainkan.
Andre kembali
membaca bukunya, ia mulai tidak bisa fokus. Sebenarnya… dulu ia bukan orang
yang seperti ini, dua tahun lalu ia masih menjadi anak periang yang sangat suka
bermain dengan teman seumurannya.
Sampai
akhirnya ia dikecewakan, ia menyadari bahwa sekumpulan temannya itu mau
mengajaknya bermain hanya kalau dia sedang membawa uang. Menghamburkan uang
jajan yang diberi sang papa untuk mentraktir teman-teman yang dianggapnya
sahabat itu jajan.
Dan kemudian…
disaat Andre lupa tidak minta uang sakunya pada sang papa, ia tak diacuhkan
semua temannya karena tidak bisa memberikan apa pun pada mereka, tidak bisa
memberi mereka makanan atau pun jajanan yang biasa diberikannya.
Saat itu
pulang sekolah Andre menangis, ia mengadu pada Anggun tidak ada seorang pun di
antara temannya yang mau mengajak ia bermain karena ia lupa membawa uang. Saat
itu Andrew yang tanpa sengaja mendengarnya murka, ia mulai melarang Andre
bergaul dengan siapa pun yang bisa menyakiti hati sucinya.
Andre yang
terlalu mengagumi sosok pahlawan sang papa begitu mudah di doktrin, sampai
akhirnya… sekarang Andrew menyesali apa yang dilakukannya karena sang anak
pertama dari Anggun itu benar-benar menutup diri. Andre… tidak pernah lagi
bersikap layaknya anak seumuran dia.
“Andre, kau
sudah makan?” Tanya seorang anak yang kini tanpa izin duduk di samping Andre.
Ia tersenyum manis memamerkan lesung di pipi kirinya yang begitu mirip dengan
lesung yang dimiliki sang mama. Gadis tomboy yang berambut panjang itu
satu-satunya orang yang selalu nekad mendekati Andre sekalipun Andre selalu
bersikap ketus padanya. Ia… ingin menjadi sahabat dari sosok Andre yang selalu terlihat
sendirian.
“Mau apa kau
ke sini?” Tanya Andre judes. Sama sekali tidak berniat beramah-tamah.
“Numpang
makan.” Gadis bernama Sayma itu mencibir. Ia membuka kotak bekal biru yang
dibawanya lalu mengambil sandwhich dan mulai melahapnya, tersenyum pada Andre
yang sejak tadi terus tak mengacuhkannya.
Andre hanya
mendengus, ia mulai mengambil kotak bekalnya sendiri di bawah meja lalu
meletakannya di atas meja, membuka tutupnya dan melahap nasi dengan ayam kecap
kesukaannya. Diam-diam ia melirik gadis kecil di sampingnya, seseorang yang
tidak pernah takut sekali pun selalu dibentak olehnya.
“Sepertinya
itu enak.” Sayma menelan makanan yang ada di dalam mulutnya lalu melirik isi
kotak bekal Andre yang tinggal setengah, tergoda dengan aroma harum memikat
yang menurutnya pasti terasa nikmat. “Boleh aku coba?”
“Tidak!”
“Pelit! Aku
lapar Andre…” Sayma mulai merengek. Melihat Andre tidak bereaksi, akhirnya
Sayma memilih cemberut sambil melipat ke dua tangannya di dada. Berdecak sebal
beberapa kali karena Andre yang tidak mau membagi makanannya. Sayma terus saja
mengutuk dalam hati, sesekali tanpa sengaja omelannya terlontar begitu saja.
Sampai kemudian… kotak bekal Andre bergeser ke mejanya, Sayma mengerjap
beberapa kali lalu menoleh pada Andre tak mengerti. Andre hanya meminum air
mineralnya tanpa menghiraukan tatapan Sayma.
“Aku kenyang,
kau makan saja.” Andre berkata judes. Ia segera berdiri lalu keluar dari kelas,
tidak menghiraukan sorot mata Sayma yang berbinar karena tingkah manis Andre
yang tidak langsung itu.
“Andre… You are
my prince…” kata Sayma tidak waras, tidak peduli pada usianya yang bahkan
belum menginjak tujuh tahun. Masih tidak bisa membedakan apa itu cinta dan
persahabatan, kekaguman dan rasa ingin memiliki. Bagi Sayma… Andre tidak lebih
dari segumpal daging lemak di balik cangkang duri.
***
“Kau sudah
makan?” Tanya Andrew saat Anggun hanya diam saja sesaat ia melahap makan siang
yang dibawakan Anggun ke kantornya. Anggun menggeleng, ia tersenyum tipis saat
Andrew menatapnya tajam tidak suka. Kenapa Anggun susah sekali makan sih?
“Melihatmu
makan saja aku sudah kenyang.” Anggun menyandarkan kepalanya ke sofa merah yang
didudukinya. Menatap sang suami penuh cinta dengan jemari tangan kanannya yang
ia angkat untuk menghapus kecap manis yang menempel di sudut bibir Andrew.
“Makanlah
denganku, Anggun.” Andrew menarik tangan Anggun agar lebih mendekatinya,
mengecup tangannya yang lain dan masih membelai pelan pipi putihnya.
Hangat…
setiap kali disentuh Anggun, Andrew memang selalu merasa hangat. Dadanya
berdesir menyanyikan alunan merdu yang sampai sekarang masih tidak bisa ia
mengerti. Anggunnya yang cantik, Anggunnya yang penyayang, Anggunnya yang
selalu menerima Andrew apa adanya.
Tuhan… betapa
Andrew sangat mencintai sosok wanita yang kini sudah menjadi istrinya,
mati-matian berusaha mempertahankan rumah tangga mereka yang masih
terombang-ambing diterjang badai cobaan.
Setiap malam,
setiap kali Anggun tidur Andrew bahkan sering terbangun karena kebingungan. Ia
sering mendadak ketakutan tanpa alasan yang pasti. Selalu ada pemikiran yang
nyaris membuatnya gila setengah mati. Seolah Tuhan memerintahkannya untuk
memilih, meninggalkan… atau ditinggalkan?
Bagi Andrew
yang sekarang, mati akan jauh lebih baik daripada ia harus berpisah dengan
Anggun. Apa pun akan ia lakukan untuk mempertahankan sosok wanita yang sudah
mencuri hatinya sejak pertama mereka berkenalan walaupun tidak ia sadari.
Demi Tuhan…
Andrew sangat mencintai Anggun setulus hati.
“Apa yang kau
pikirkan?” Tanya Anggun saat Andrew sejak tadi terus memandanginya dan berhenti
mengunyah. Menatapnya dengan sorot emosi bercampur aduk yang membuat Anggun
lama-lama penasaran juga.
“Anggun…”
“Hm?”
“Aku sangat
mencintaimu…”
“Eh?” Anggun
terbelalak shock. Ada apa dengan
Andrew? Kenapa mendadak ia mengatakan kalimat yang sanggup membuanya malu?
Sifat Andrew yang seperti ini justru sering membuat Anggun bingung. Pasalnya…
seolah menjadi kalimat terakhir yang akan Andrew ucapkan sebelum mereka
terpisah untuk waktu yang lama sekali.
Pemikiran itu
mau tidak mau membuat Anggun merinding. Anggun tidak tahu akan jadi apa dirinya
kalau sampai Andrew suatu saat meninggalkannya?
“Kenapa kau
mendadak berkata seperti itu?”
“Konyol, ya?”
Andrew meringis. Ia kembali memasukan satu sendok nasi ke dalam mulutnya. Mengunyahnya
tanpa minat karena mendadak ia kehilangan selera makan. Apa yang Andrew
pikirkan? Mereka sudah cukup lama menikah, untuk apa ia masih mengucapkan
kalimat cinta seolah mereka pasangan pengantin baru?
“Aku juga…”
Anggun tersenyum tipis lalu menyandarkan kepalanya di bahu bidang Andrew, ia
memejamkan matanya rapat saat dirasakannya elusan lembut yang begitu membuatnya
nyaman. Andrew mengecupi puncak kepala Anggun penuh sayang, ia menghirup
dalam-dalam aroma sampo Anggun yang menurutnya begitu memabukkan.
“Kau juga
makanlah.”
“Suapi aku.”
“Anggun, kau
tidak sedang hamil lagi, kan?” Tanya Andrew horror.
Mendadak ia paranoid sendiri karena sikap manja Anggun yang tiba-tiba. Anggun
pernah semanja itu hanya saat ia mengandung Marlon dan Marsya, lupakan masa-masa
mengandung Andre karena Andrew dan Anggun masih belum bersama saat itu.
Memiliki anak
lagi?
Andrew harap
tidak. Ia sudah cukup dipusingkan karena tingkah ketiga anak mereka yang
wataknya bertolak belakang satu sama lain, ditambah dengan kehadiran anaknya
yang lain dan kini menjadi salah satu bagian di antara mereka.
Astaga… mau
punya berapa anak lagi?
“Tidak, aku
sedang datang bulan kok.” Anggun terkikik geli saat merasakan hembusan napas
lega dari suaminya.
***
“Kau sejak
kapan hobi melukis?” Tanya Andrew saat memasuki pekarangan rumahnya. Ia melihat
istrinya yang tampak disibukkan dengan kertas, kuas, dan cat minyak warna-warni
di sore cerah menghampiri senja. Anggun tampak sangat cantik dengan gaun sepaha
berwarna hitam polos dibalut kain transparan putih panjang yang menutupi sampai
mata kakinya. Sebuah topi bundar berwarna hitam menempel miring di kepalanya.
Sesaat Andrew
ragu, apa benar wanita itu adalah sosok istrinya yang sudah beranak tiga?
Anggun masih cocok dianggap gadis terutama jika sudah menggerai rambutnya?
“Entahlah,
hanya suka saja belakangan ini.” Anggun mengecup pipi seseorang yang kini
melingkarkan tangan kekarnya di pinggangnya lalu meletakkan dagu lancip itu di
bahunya yang terbuka. Menikmati hembusan angin sore dengan semburat cantik
senja sebagai latar mereka.
“Apa benar
kau istriku, hn? Kenapa kau terlihat seperti gadis remaja?” Andrew membalas
kecupan Anggun di pipinya, tersenyum menggoda saat Anggun hanya terkekeh kecil
dan mengelus rambutnya.
“Mungkin
karena aku selalu bahagia.”
“Lalu apa
yang membuatmu selalu bahagia?” bisik Andrew lembut, kali ini mata abunya
menatap langsung mata coklat Anggun. Mereka terdiam, saling memuja keindahan
paras seseorang yang kini ada di depan mereka, mengagungkan nama Tuhan karena
sudah menciptakan makhluk yang bagi mereka begitu sempurna.
“Kau…” Anggun
balas berbisik, sesaat kemudian Andrew hendak meniadakan jarak yang ada di
antara mereka, kepalanya semakin miring hendak mengecup bibir Anggun yang merah
tanpa polesan lipstick. Kalau saja-
“Cie-cie…
pacalan ni yeee…”
Suara godaan
itu membuat Anggun terlonjak kaget, ia segera berdiri dari bangkunya tanpa
memedulikan Andrew yang kehilangan keseimbangan dan terjatuh tidak elit ke
rumput di depannya. Marlon tertawa renyah melihatnya, ia membawa balon pink
berbentuk Patrick berlari menghampiri sang Mama.
“Anggun, kau
ini…” Andrew sudah kembali berdiri sambil mengusap wajah tampannya yang baru
saja berciuman dengan rumput, ia mendengus saat anak tengahnya yang baru
kembali aktif setelah traumanya yang tenggelam di kolam renang.
“Marlon sudah
mandinya Sayang?” Tanya Anggun sambil berjongkok. Mengecupi pipi gembil sang
putra sambil menggesekkan hidung mancungnya. Marlon terkekeh geli, ia berusaha
menjauhkan wajah Anggun dari pipinya.
“Geli Mama…”
“Eh, balon
Patrick, lucu sekali.” Anggun menyentil balon udara Marlon pelan, Marlon
mendongak menatap balonnya lalu kemudian tersenyum sumringah.
“Balusan
kasih Papi Ewal…”
Dan kalimat
yang diucapkan Marlon, sanggup membuat Anggun dan Andrew mematung sejenak. Anggun
menggigit bibir bawahnya panik dengan Andrew yang semakin hilang kendali.
Mengepalkan kedua tangannya geram ingin meninju sesuatu.
Bagaimana
caranya Edward bisa masuk kerumahnya dan menemui putranya? Terror macam apa
lagi yang akan Edward berikan kalau mereka tetap tidak mau menyerah?
“Pah…” Anggun
mendadak merasa lemas. Apa pun yang akan Edward lakukan, entah kenapa Anggun
mulai mencemaskan anak-anaknya? Anggun takut Edward berbuat nekad dan menyakiti
para buah hatinya. Terutama pada Marlon… putranya yang selalu positif thinking pada setiap orang yang berbuat baik padanya.
“Tenanglah…
aku akan berusaha menjaga kalian semua.” Sumpah Andrew pasti. Ia… memang akan
melakukan apa pun untuk menggagalkan segala rencana buruk Edward.
Kami hanya ingin hidup bahagia…
Tapi kenapa begitu sulit untuk
mendapatkannya?
***
“Ini kalung
untuk Marsya…” Andrew mengalungkan kalung terakhirnya pada anak bungsunya.
Tersenyum manis saat Marsya berjingkrak-jingkrak kesenangan. Marsya meraih
kalung berbandul huruf ‘A’ yang merupakan inisial dari nama ‘Adrian’. Bandul
kalung yang terbuat dari permata bening itu sudah menjadi sesuatu yang
digunakan keluarga Adrian secara turun-temurun. Untuk anak perempuan, akan
diberikan permata bening, sedangkan anak laki-laki, diberikan permata hitam.
Seperti yang saat ini juga dikenakan oleh Andrew.
Kalung itu
dipesan langsung dari pendesign terbaik di Italia, di mana bandul atau liontin
yang dijadikan bahan merupakan permata mahal yang cukup sulit didapatkan.
Dikikir dan dibuat secara hati-hati menciptakan bentuk yang sempurna.
Memesannya pun dibutuhkan waktu minimal satu bulan dan tentunya merogoh saku
yang cukup dalam untuk mendapatkannya.
Awalnya,
Andrew memang tidak berminat memakai nama Adrian lagi untuk keturunannya, tapi
karena sekarang dia dan keluarga besarnya sudah memilih untuk damai, akhirnya
dua bulan yang lalu Andrew memesan tiga buah kalung untuk anak-anaknya.
“Maca
cuka-cuka-cuka kalungnya.” Marsya tersenyum genit. Andrew hanya mengelus puncak
kepalanya lembut. Anak perempuan semata wayangnya itu memang selalu membuatnya
bahagia. Pintar memuji lagi.
“Kalung itu
harus kalian jaga baik-baik, hanya keluarga kita saja yang memakainya. Oke?”
Andrew berkata pada anak-anaknya, semuanya mengangguk antusias, saling
memegangi kalung masing-masing di tengah ruang tamu rumah mereka.
Anggun ikut
tersenyum, kemudian tanpa sengaja matanya menangkap Brian yang sedang mengintip
dari balik tembok, sorot matanya begitu sedih karena menyadari di antara
semuanya, hanya dia yang tidak diberikan kalung yang sama.
Ia… masih
belum diakui oleh sang Papa?
“Pa… bagaimana
dengan Brian?” Tanya Anggun lirih, tidak tega saat melihat Brian berbalik dan
melangkah pergi.
“Oh. Hm…”
***
Andrew
mengerang tertahan, ia merasakan tangannya yang pegal karena semalaman ditiduri
Anggun, Anggun yang sedang rewel dan manja, Anggun yang mengomel jika sedikit
saja tidak mendapatkan perhatian lebih darinya. Andrew tidak mengerti ada apa
dengan Anggun? Yang jelas, perubahan sikapnya yang sekarang ini sedikit
membuatnya hangat sekaligus hampa.
“Ngh…” Andrew
membuka matanya lalu mengerjap beberapa kali, tersenyum miring saat menoleh
Anggun masih terlelap dalam dekapannya. “Sayang…”
Andrew
menyusuri pipi Anggun dengan telunjuknya, merasakan gesekan halus kulit terawat
sang istri yang begitu ia puja, turun ke dagu lalu bibirnya. Tersenyum aneh,
Andrew mendekatkan bibirnya ke bibir Anggun, hendak mengambil morning kiss
yang sudah beberapa hari belum didapatkannya karena selalu mendadak ad-
“MAMA!”
Yah! Seperti
itulah! Selalu ada suara cempreng yang menginterupsi kegiatan romantis mereka,
merasakan kasurnya yang bergerak-gerak Andrew hanya menghela napas pasrah dan
menjauhkan kembali kepalanya dari Anggun. Ia tahu sekarang salah satu buah
hatinya sedang berusaha memanjat naik ke atas kasurnya. Dalam hati ia berharap
semoga si pemanjat ulung itu tidak terjatuh.
“MAMA!”
“Marsya,
jangan teriak-teriak sayang, ini hari libur loh!” Andrew berkata parau. Anak
gadisnya yang tomboy itu melompat menaiki perut Andrew kemudian nyengir lebar,
rambut ikalnya sedikit kusut, pertanda bahwa bocah manis tiga tahun itu juga
baru bangun tidur.
“Ma’em Papa…”
“Minta suster
aaja.”
“Ndak
mauuuu.” Marsya memonyongkan bibirnya, membentuk huruf ‘O’ yang mau tidak mau
membuat Andrew meringis, sumpah demi apa pun, Andrew merasa anaknya itu
sangat-sangat lucu jika sudah merajuk. Ahh… replika Anggun itu memang selalu
mendinginkan hatinya walau sedang jengkel.
“Ndak mau ndak
mau saja.” Andrew menarik kepala putrinya lalu mengecupi kedua pipi tembemnya
penuh sayang. “Marsya kok pintar manjat?”
“Maca gitu
loh!”
Narsis!
Andrew hanya nyengir melihatnya, kemudian dua pasang mata satu warna itu
menoleh saat mendengar suara erangan lainnya, pertanda sosok sang mama yang
sejak tadi tertidur itu terusik dengan percakapan ayah dan anak di sampingnya.
Anggun membuka matanya sambil tersenyum saat melihat dua pasang mata yang terus
mengusiknya.
“Pagi…”
“Pagi…”
“PAGIIII!”
Marsya menjawab sapaan Anggun dengan teriakkan ceria sepenuh hati. Anggun
terkekeh lalu mengecup pipi putrinya dua kali.
“Papanya
tidak dapat cium?” sindir Andrew cemburu, sebuah kecupan basah beserta air liur
hinggap di pipinya, Andrew melotot horror pada Marsya yang kini tersenyum
centil setelah membuat pipi kanannya yang dulu putih mulus kini dikotori cairan
nista.
“Maca aja
cium Papa, Mama cium Maca.”
“Marsya
curang, ah.”
Terima kasih Tuhan…
Karena Kau memberi kami pagi yang
menyenangkan…
***
“Mereka
lama.” Andre yang sedang berdiri di depan pagar sekolah playgroup
menyandarkan punggungnya ke besi tinggi merah muda di belakangnya, Brian yang
sejak tadi menemaninya hanya diam memutuskan tidak membuka suara.
Siang
berlangsung mendung, sekolah Andre dan Brian yang sedang diadakan rapat guru
membuat semua murid-muridnya diliburkan. Supir yang ditugaskan untuk menjemput
mereka bisaanya datang jam tiga sore, karena malas menelpon dan ingin
jalan-jalan, Andre memutuskan untuk menjemput kedua adiknya ke sekolah mereka.
Biar nanti supirnya itu menjemput mereka sekaligus di satu lokasi.
Brian? Tentu
saja ia mengikuti ke mana pun adiknya pergi, sikap Andre yang sekarang memang
masih cuek bahkan terkesan tidak peduli, tapi Andre juga sudah tidak pernah mengganggunya
atau membentaknya tanpa sebab seperti saat pertama kali Brian menginjakkan kaki
di rumahnya. Sepertinya… insiden kecelakaan Marlon tempo hari mampu merubah
sedikit perangai kasarnya, Andre juga tidak pernah marah kalau Brian memutuskan
untuk mengikutinya.
“Lima belas
menit lagi sekolah mereka bubar.” Brian mengatakan setelah melirik arloji yang
melingkar di tangan kanannya. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku
celana biru muda kotak-kotak ciri khas sekolah dasar barunya. Dasi biru muda
yang biasa ia kenakan sudah dimasukan ke dalam tas, begitu pula dengan adik
tirinya, mereka memakai jaket kaos satu model tapi beda warna.
Andre hanya
meliriknya sekilas lalu memutar kedua bola matanya bosan. Sampai tiba-tiba ia
mengatakan, “Jangan dekat-dekat Sayma.”
“Hn?” Brian
yang tadi sibuk menunduk sambil menendang-nendang kerikil di bawahnya tidak
minat mengangkat kepalanya dan menatap Andre bingung.
“Jangan
dekat-dekat Sayma…” suara Andre kali ini memelan lirih, “Dia temanku
satu-satunya.”
“Yah.” Brian
tak banyak membantah, ia akan menuruti permintaan Andre dalam bentuk apa pun,
hal itu akan ia lakukan agar suatu hari nanti Andre mau mengakuinya sebagai
saudara, memanggilnya ‘Kakak’ layaknya Marsya dan Marlon. Sekali pun… Sayma
juga satu-satunya teman yang dimilikinya, yang mau berteman dan tersenyum tulus
menganggapnya bagian dari Adrian. Tidak memedulikan cibiran orang-orang yang
menyepelekan dan menyebutnya anak haram.
Hening…
Tidak ada
yang membuka suara kembali di antara mereka, sama-sama dihanyutkan dengan
pemikiran masing-masing, baik Andre maupun Brian, merasa atmosfir di antara
mereka semakin tidak nyaman dan dingin.
“Bubar!” kata
Andre saat melihat gerbang sekolah adiknya yang berwarna-warni menyakitkan mata
itu terbuka, Brian dan Andre segera masuk ke dalam sekolah, hendak menghampiri
adik-adik mereka untuk diajak jajan ke kafe eskrim yang jaraknya hanya beberapa
puluh meter dari sekolah itu.
“Eh, Marlon
dan Marsya hari ini dijemput Kakaknya, ya?” sapa guru playgroup yang
sedang menuntun dua bocah kembar itu, tersenyum pada Andre yang juga menjadi
alumni tempat kedua adiknya kini bersekolah. “Bagaimana kabarmu Andre?”
“Baik.” Andre
menjawab malas. Sang guru tersenyum miris menyayangkan perangai Andre yang
berubah, ia tahu masalah yang dialami Andre saat masih TK, teman-teman yang
selalu mengajaknya bermain ternyata hanya memanfaatkannya, dan entah sejak
kapan… sikap Andre yang periang itu kini berubah?
“Ayo pulang,
kita beli eskrim.” Andre berujar, disambut sorakan ‘Yey’ dari Marlon dan
Marsya. Andre menuntun Marsya yang melompat-lompat kesenangan, sedangkan Marlon
yang sejak awal lebih menempel pada Brian, dituntun sang kakak keluar dari
gerbang, tidak terlalu memikirkan tatapan sendu sang guru yang menatap punggung
Andre prihatin.
“Ahh… padahal
dulu Andre sangat mirip dengan Marlon.” Gumam sang guru sembari menghela napas.
***
“Andre,
sebaiknya kita memilih jalan yang ramai saja,” usul Brian sebelum mereka
memasuki sebuah gang rute singkat. Ia lebih memilih jalan memutar daripada
melewati gang sepi yang jarang dilewati orang-orang.
“Takut?”
sindir Andre sinis. Ia menggenggam tangan Marsya erat. “Pulang sana.”
“Perasaanku
tidak nyaman.” Brian tidak ambil pusing, “Ayo kita pilih jalan yang ramai.”
“You
think I care about your feeling?!” Andre memutar kedua bola matanya bosan,
tanpa menghiraukan bantahan Brian selanjutnya, Andre menarik tangan Marlon agar
ikut serta dengannya. Marlon yang dituntun Andre berjalan sesekali menoleh pada
Brian yang tertinggal di belakangnya, terus melangkah maju memasuki gang dengan
tangan kirinya yang digenggam sang kakak.
“Mobil…”
Brian mengernyit di depan gang saat melihat sebuah mobil kijang hitam
melewatinya memasuki gang, perasaannya semakin tidak nyaman, ia segera berlari
menyusul adik-adiknya, berdoa pada Tuhan semoga Andre yang pastinya belum
terlalu jauh, masih baik-baik saja.
***
“LEPAS!”
Andre meronta hebat saat ada dua orang berbadan besar yang turun setelah sebuah
mobil berhenti menghadang jalan mereka. Salah satu dari mereka menangkapnya,
sedangkan rekannya yang lain menggendong Marsya dan Marlon yang terus sibuk
meronta.
“ANDRE!”
Brian yang baru sampai di tempat tujuan langsung terbelalak saat melihat dua
orang itu berusaha memasukan adik-adiknya ke dalam mobil, ia mengambil balok
kayu yang tergeletak sembarang lalu berlari memukulkannya ke punggung orang
besar berambut jabrik.
“Arg!”
secepat itu juga gendongan Andre terlepas, ia segera turun, berbalik lalu
menendang tulang kering si penculik nista. Ia melepas tasnya saat si penculik
kembali mengaduh, memukulkannya ke kepala orang itu berkali-kali.
“MARLON CEPAT
LARI!” perintah Brian saat berhasil memukul penculik yang lainnya membuat
gendongannya pada Marlon melonggar, ia segera memangku Marlon lalu
menurunkannya, menyuruhnya cepat berlari meminta bantuan sementara Brian
bertekad membebaskan adiknya yang lain.
DUG!
“HUAAAAA!!!”
Marlon yang berlari panik menangis histeris saat kakinya terantuk batu
membuatnya jatuh telungkup di atas tanah kotor. Jaraknya tidak terlalu jauh
dari lokasi penculikan, kontan saja hal itu membuat kedua kakaknya khawatir.
“Andre! Kau
cepat bawa Marlon lari, aku bawa Marsya!” sempat ragu, Andre menghantamkan
tasnya sekuat tenaga ke kepala penculiknya yang sudah siap dengan serangannya.
Penculik itu mengambil tas Andre lalu melemparnya, ia benar-benar sebal karena
sudah dipukuli habis-habisan oleh dua orang bocah.
Andre segera
berlari, ia menggendong Marlon lalu menoleh pada Brian yang juga sudah
menggendong Marsya. Matanya terbelalak saat melihat dua saudaranya yang lain
tertangkap.
“MA-MARSYA!”
“LARI BAWA
MARLON ANDRE!!!” teriak Brian yang sudah dipanggul oleh salah satu penculik,
Marsya sudah dimasukan ke dalam mobil beberapa detik lalu, menangis ketakutan
sambil memanggil-manggil nama sang Papa. Berharap Andrew bisa mendengarnya dan
segera menyelamatkannya.
Andre
terpaku, ia bingung antara harus menyelamatkan diri atau datang kembali
menghampiri adik dan kakaknya, tapi menyadari saat ini Marlon ada
digendongannya, dan ada kemungkinan mereka semua justru tertangkap dan lebih
merepotkan sang Papa, akhirnya Andre memantapkan hatinya berlari sekencang
mungkin menghindari salah satu penculik yang hampir mengejarnya.
“Sudah! Dua
anak ini saja cukup!” interuksi salah satu yang lain setelah melemparkan Brian
ke dalam mobil. Rekannya mengangguk lalu mendecih, mereka pun masuk ke dalam
mobil dan segera meninggalkan tempat itu sebelum banyak orang datang dan lebih
membuat mereka repot.
***
Hiks… hiks…
Kali ini
Andre tidak menahan diri untuk menangis. Ia meraung-raung menyalahkan dirinya
sendiri sembari terus menggendong Marlon erat seolah satu-satunya orang yang
bisa diselematkannya itu akan diambil oleh penculik tadi. Berlari tak
menghiraukan sapaan setiap orang yang menatapnya aneh serta khawatir.
Tujuannya
saat ini hanya satu… rumah!
“Tuan muda!”
Andre
menghentikan langkahnya saat medengar suara yang amat familiar di telinganya,
ia menoleh dan melihat Daren yang susah payah akhirnya bisa menyusulnya, Daren
mengatur napasnya sambil menatap Andre khawatir, ia menyusut airmata Andre dan
menghela napas, ia sadar ada yang tidak beres dan itu menimpa keluarga bahagia
yang baru beberapa minggu ini mendapatkan ketenangannya.
“Daren…”
lirih Andre terisak. Ia menangis keras, bukan lagi karena rasa takut yang
menggelayuti hatinya, tapi karena lega setelah melihat Daren, ia pasti akan
baik-baik saja. Kini mereka sedang berdiri di trotoar jalan raya menuju rumah
mereka, Andre yang wajahnya sudah memerah itu memeluk Daren yang langsung
mendapatkan usapan di kepalanya.
“Marsya dan
Brian diculik, itu semua salahku Daren, salahku…” Andre terus mengutuk dirinya
sendiri. Kalau saja sejak awal ia mengikuti nasihat Brian, mungkin hal ini
tidak akan terjadi. Mereka tidak akan terpisah dan mengalami kejadian
mengerikan ini, mereka pasti sedang duduk di kafe eskrim sambil menikmati
pesanan masing-masing.
Yah… itu
kalau saja… tapi semua sudah terlambat, kali ini Andre hanya bisa menyesali
segala sikap egois dan percaya diri yang diturunkan sang papa.
“A-astaga…”
dan perkataan Daren barusan, seolah menjadi puncak masalah keluarga Andrew yang
harus mereka hadapi. Ini… benar-benar jauh lebih sulit daripada semua yang
sudah mereka lewati.
Karena
Anggun… mencintai anak-anaknya melebihi rasa cintanya pada nyawa sendiri.
***
Kreeet…
Anggun
menutup pintu kamarnya, ia menggigit bibir bawahnya berusaha sedikit mengurangi
rasa sakit hatinya, ia memantapkan langkahnya sambil mendesah lama. Anggun
sadar, ini tidak akan bisa ia jalani dengan mudah, ini sudah waktunya bagi ia
untuk menyerah.
Langkah
gontainya melewati ruang tamu rumahnya yang sepi, malam ini seolah menjadi duka
tersendiri bagi setiap orang yang menempati kediaman Andrew yang megah dan
biasanya ramai karena teriakkan atau pertengkaran anak-anak mereka. Semua
merasa gelisah karena kehilangan satu-satunya perempuan keturunan sang
Adrian, beserta anak Andrew yang lain yang mulai bisa mereka terima
kehadirannya.
Brian hilang
karena berusaha menyelamatkan Marsya… Marsya hilang karena seseorang yang mulai
kehabisan akal untuk menghancurkan rumah tangga si sulung Adrian yang keras
kepala.
Koper yang
diseret Anggun berhenti bergerak, siempunya mematung saat melihat seorang pria
yang baru saja keluar dari kamar anak sulungnya, berusaha menenangkan Andre
yang sejak tadi terus histeris menyalahkan dirinya. Sekali lagi… Andre merasa
gagal menjadi seorang kakak karena tidak bisa menolong adik yang sangat
disayanginya.
“Anggun…”
“Andrew…”
Andrew
tertunduk sebentar, telpon dari Edward tadi sore seolah menegaskan bahwa
keselamatan kedua anaknya kini berada di tangan sang ‘sahabat’, menginginkan
Anggun dan Andrew berpisah jika Andrew masih mengharapkan kehidupan
anak-anaknya yang kini disandera Edward. Tentu, Andrew tidak bodoh dengan
mengambil jalan melapor pada polisi, ia tahu pasti orang-orang Edward mengawasi
setiap gerak-geriknya.
Jika Edward
bisa menyusupkan seorang mata-mata ke dalam rumahnya, menyuap salah satu pihak
berwajib tentu bukan perkara yang sulit bagi Edward Ferdinand Carl.
“Kau… mau ke
mana?” Tanya Andrew lirih. Mengharapkan Anggun mau berbesar hati dan sekali
lagi mempercayainya, ia akan melakukan apa pun untuk anak-anaknya, untuk
keselamatan mereka. Tapi… bukan dengan berpisah dari Anggun.
Ditinggalkan
Anggun, sama artinya ia harus merelakan nyawanya. Mungkin bagi Andrew… mati
jauh lebih baik daripada harus ditinggalkan oleh istri yang sangat dicintainya,
menjadi penopang terpenting dalam hidupnya.
“Aku akan
mengambil kembali anak-anakku.” Anggun berkata lirih. Kalimatnya itu tentu saja
membuat Andrew terhenyak, Anggun mengatakan bukan hanya kata ‘anak’, tapi
mengulang kata itu membentuk kata jamak. Itu artinya… Anggun bahkan sudah
menerima Brian dan menganggapnya anak sendiri. Anak yang terlahir dari
kesalahan dan kebrengsekan sang suami, anak yang dulu sempat tak ingin dilihat
Anggun karena kebodohan Andrew di masa muda.
“Tapi… kita
tidak perlu bercerai, kan?” Andrew bertanya lirih, terselip nada harap dalam
setiap getaran tenggorokkannya. Sumpah demi Tuhan, mata Andrew bahkan sudah
memanas memikirkan kemungkinan Anggun yang akan meninggalkannya. Ia tidak bisa…
ia tidak akan bisa bertahan.
“Kita tidak
punya pilihan lain Andrew…” Anggun berucap setelah ia menghela napas lelah.
“Kau sendiri tahu, aku lebih mencintai anak-anakku, dibandingkan dirimu.”
“Jadi kau
lebih baik kehilanganku daripada anak-anak Anggun?” Tanya Andrew sedih, ia
tertawa sakit lalu menggeleng, memalingkan wajahnya saat sebutir airmata
menetes menyusuri pipinya. Sekalipun dia memang tahu, tapi ia tidak menyangka
jika mendengarnya langsung dari Anggun hatinya akan sesakit ni.
Benar-benar
sakit.
“Yah, kau
memang Ibu yang sempurna!” kata Andrew sarkastis.
Anggun tak
menjawab, ia hanya menundukkan kepalanya sembari mempererat genggamannya di
koper, ia sadar ia sudah sangat menyakiti suaminya, tapi kehilangan
anak-anaknya, itu benar-benar pilihan terakhir untuknya selain MATI. Yah, sudah
saatnya mereka berakhir, agar Edward tidak berulah lagi, agar tidak ada lagi di
antara mereka yang tersakiti.
“Aku pergi…”
kata Anggun akhirnya, ia melangkah melewati Andrew tapi kemudian terhenti,
tangan kanan Andrew menggenggam lengannya erat, ia memang tidak akan pernah
membiarkan Anggun pergi apa pun yang terjadi.
“Aku tidak
bisa berpisah.” Lirih Andrew dengan tubuh yang mulai gemetaran, ia menarik
tangan Anggun agar berbalik padanya, dengan segala kerendahan hatinya, ia berlutut
di kaki Anggun, memohon agar istrinya itu memberinya kesempatan. Kesempatan
untuk menyelamatkan anak-anaknya, kesempatan untuk sekali lagi mempertahankan
keluarga kecilnya. “Kumohon beri aku kesempatan, aku janji… malam ini…
kupastikan Marsya dan Brian pulang.”
Anggun
terhenyak, airmatanya menetes semakin deras saat melihat sang suami yang begitu
rapuh, tidak menyangka Andrew akan merendahkan diri untuk berlutut dan memohon
padanya seperti ini. Hatinya linu, nuraninya tersakiti, akalnya mengutuknya
karena sudah menyakiti orang yang selama ini menjadi malaikat pelindungnya.
Tapi…
“Memangnya
apa yang akan kau lakukan?” Tanya Anggun akhirnya. Yah, memangnya apa yang bisa
Andrew lakukan? Waktunya tidak banyak, sebelum tengah malam, Anggun sudah harus
ada di kediaman Edward. Malam ini sudah menunjukkan pukul tujuh.
“Aku… akan
membawa mereka pulang. Aku punya rencana.”
Dan kenapa kau tidak mencoba
mengerti?
Bahwa tanpamu…
Aku akan mati?
***
Baru aja ada keuwuan , ehh jadi sedih
BalasHapus