Still For You, Andrew (Sembilan)

| Jumat, 13 Januari 2017


Andre duduk termenung di bangkunya, Ia tidak memedulikan ajakan beberapa temannya untuk ke kantin atau pun bermain. Andre selalu membawa bekal makan siang sendiri dari rumah, buatan mamanya, buatan sosok wanita yang amat dikaguminya.
Sekilas, Andre melirik beberapa temannya yang sedang berkumpul sambil bercanda di dalam kelas. Sepertinya, hanya dia saja yang tidak punya teman. Sikap dingin dan cueknya membuat beberapa temannya sungkan. Apalagi mengingat nama Adrian yang menjadi latar belakangnya, masing-masing dari anak itu, kebanyakan sudah diberi tahu bahwa Adrian bukan lah seseorang yang bisa dipermainkan.
Andre kembali membaca bukunya, ia mulai tidak bisa fokus. Sebenarnya… dulu ia bukan orang yang seperti ini, dua tahun lalu ia masih menjadi anak periang yang sangat suka bermain dengan teman seumurannya.
Sampai akhirnya ia dikecewakan, ia menyadari bahwa sekumpulan temannya itu mau mengajaknya bermain hanya kalau dia sedang membawa uang. Menghamburkan uang jajan yang diberi sang papa untuk mentraktir teman-teman yang dianggapnya sahabat itu jajan.
Dan kemudian… disaat Andre lupa tidak minta uang sakunya pada sang papa, ia tak diacuhkan semua temannya karena tidak bisa memberikan apa pun pada mereka, tidak bisa memberi mereka makanan atau pun jajanan yang biasa diberikannya.
Saat itu pulang sekolah Andre menangis, ia mengadu pada Anggun tidak ada seorang pun di antara temannya yang mau mengajak ia bermain karena ia lupa membawa uang. Saat itu Andrew yang tanpa sengaja mendengarnya murka, ia mulai melarang Andre bergaul dengan siapa pun yang bisa menyakiti hati sucinya.
Andre yang terlalu mengagumi sosok pahlawan sang papa begitu mudah di doktrin, sampai akhirnya… sekarang Andrew menyesali apa yang dilakukannya karena sang anak pertama dari Anggun itu benar-benar menutup diri. Andre… tidak pernah lagi bersikap layaknya anak seumuran dia.
“Andre, kau sudah makan?” Tanya seorang anak yang kini tanpa izin duduk di samping Andre. Ia tersenyum manis memamerkan lesung di pipi kirinya yang begitu mirip dengan lesung yang dimiliki sang mama. Gadis tomboy yang berambut panjang itu satu-satunya orang yang selalu nekad mendekati Andre sekalipun Andre selalu bersikap ketus padanya. Ia… ingin menjadi sahabat dari sosok Andre yang selalu terlihat sendirian.
“Mau apa kau ke sini?” Tanya Andre judes. Sama sekali tidak berniat beramah-tamah.
“Numpang makan.” Gadis bernama Sayma itu mencibir. Ia membuka kotak bekal biru yang dibawanya lalu mengambil sandwhich dan mulai melahapnya, tersenyum pada Andre yang sejak tadi terus tak mengacuhkannya.
Andre hanya mendengus, ia mulai mengambil kotak bekalnya sendiri di bawah meja lalu meletakannya di atas meja, membuka tutupnya dan melahap nasi dengan ayam kecap kesukaannya. Diam-diam ia melirik gadis kecil di sampingnya, seseorang yang tidak pernah takut sekali pun selalu dibentak olehnya.
“Sepertinya itu enak.” Sayma menelan makanan yang ada di dalam mulutnya lalu melirik isi kotak bekal Andre yang tinggal setengah, tergoda dengan aroma harum memikat yang menurutnya pasti terasa nikmat. “Boleh aku coba?”
“Tidak!”
“Pelit! Aku lapar Andre…” Sayma mulai merengek. Melihat Andre tidak bereaksi, akhirnya Sayma memilih cemberut sambil melipat ke dua tangannya di dada. Berdecak sebal beberapa kali karena Andre yang tidak mau membagi makanannya. Sayma terus saja mengutuk dalam hati, sesekali tanpa sengaja omelannya terlontar begitu saja. Sampai kemudian… kotak bekal Andre bergeser ke mejanya, Sayma mengerjap beberapa kali lalu menoleh pada Andre tak mengerti. Andre hanya meminum air mineralnya tanpa menghiraukan tatapan Sayma.
“Aku kenyang, kau makan saja.” Andre berkata judes. Ia segera berdiri lalu keluar dari kelas, tidak menghiraukan sorot mata Sayma yang berbinar karena tingkah manis Andre yang tidak langsung itu.
“Andre… You are my prince…” kata Sayma tidak waras, tidak peduli pada usianya yang bahkan belum menginjak tujuh tahun. Masih tidak bisa membedakan apa itu cinta dan persahabatan, kekaguman dan rasa ingin memiliki. Bagi Sayma… Andre tidak lebih dari segumpal daging lemak di balik cangkang duri.
***
“Kau sudah makan?” Tanya Andrew saat Anggun hanya diam saja sesaat ia melahap makan siang yang dibawakan Anggun ke kantornya. Anggun menggeleng, ia tersenyum tipis saat Andrew menatapnya tajam tidak suka. Kenapa Anggun susah sekali makan sih?
“Melihatmu makan saja aku sudah kenyang.” Anggun menyandarkan kepalanya ke sofa merah yang didudukinya. Menatap sang suami penuh cinta dengan jemari tangan kanannya yang ia angkat untuk menghapus kecap manis yang menempel di sudut bibir Andrew.
“Makanlah denganku, Anggun.” Andrew menarik tangan Anggun agar lebih mendekatinya, mengecup tangannya yang lain dan masih membelai pelan pipi putihnya.
Hangat… setiap kali disentuh Anggun, Andrew memang selalu merasa hangat. Dadanya berdesir menyanyikan alunan merdu yang sampai sekarang masih tidak bisa ia mengerti. Anggunnya yang cantik, Anggunnya yang penyayang, Anggunnya yang selalu menerima Andrew apa adanya.
Tuhan… betapa Andrew sangat mencintai sosok wanita yang kini sudah menjadi istrinya, mati-matian berusaha mempertahankan rumah tangga mereka yang masih terombang-ambing diterjang badai cobaan.
Setiap malam, setiap kali Anggun tidur Andrew bahkan sering terbangun karena kebingungan. Ia sering mendadak ketakutan tanpa alasan yang pasti. Selalu ada pemikiran yang nyaris membuatnya gila setengah mati. Seolah Tuhan memerintahkannya untuk memilih, meninggalkan… atau ditinggalkan?
Bagi Andrew yang sekarang, mati akan jauh lebih baik daripada ia harus berpisah dengan Anggun. Apa pun akan ia lakukan untuk mempertahankan sosok wanita yang sudah mencuri hatinya sejak pertama mereka berkenalan walaupun tidak ia sadari.
Demi Tuhan… Andrew sangat mencintai Anggun setulus hati.
“Apa yang kau pikirkan?” Tanya Anggun saat Andrew sejak tadi terus memandanginya dan berhenti mengunyah. Menatapnya dengan sorot emosi bercampur aduk yang membuat Anggun lama-lama penasaran juga.
“Anggun…”
“Hm?”
“Aku sangat mencintaimu…”
“Eh?” Anggun terbelalak shock. Ada apa dengan Andrew? Kenapa mendadak ia mengatakan kalimat yang sanggup membuanya malu? Sifat Andrew yang seperti ini justru sering membuat Anggun bingung. Pasalnya… seolah menjadi kalimat terakhir yang akan Andrew ucapkan sebelum mereka terpisah untuk waktu yang lama sekali.
Pemikiran itu mau tidak mau membuat Anggun merinding. Anggun tidak tahu akan jadi apa dirinya kalau sampai Andrew suatu saat meninggalkannya?
“Kenapa kau mendadak berkata seperti itu?”
“Konyol, ya?” Andrew meringis. Ia kembali memasukan satu sendok nasi ke dalam mulutnya. Mengunyahnya tanpa minat karena mendadak ia kehilangan selera makan. Apa yang Andrew pikirkan? Mereka sudah cukup lama menikah, untuk apa ia masih mengucapkan kalimat cinta seolah mereka pasangan pengantin baru?
“Aku juga…” Anggun tersenyum tipis lalu menyandarkan kepalanya di bahu bidang Andrew, ia memejamkan matanya rapat saat dirasakannya elusan lembut yang begitu membuatnya nyaman. Andrew mengecupi puncak kepala Anggun penuh sayang, ia menghirup dalam-dalam aroma sampo Anggun yang menurutnya begitu memabukkan.
“Kau juga makanlah.”
“Suapi aku.”
“Anggun, kau tidak sedang hamil lagi, kan?” Tanya Andrew horror. Mendadak ia paranoid sendiri karena sikap manja Anggun yang tiba-tiba. Anggun pernah semanja itu hanya saat ia mengandung Marlon dan Marsya, lupakan masa-masa mengandung Andre karena Andrew dan Anggun masih belum bersama saat itu.
Memiliki anak lagi?
Andrew harap tidak. Ia sudah cukup dipusingkan karena tingkah ketiga anak mereka yang wataknya bertolak belakang satu sama lain, ditambah dengan kehadiran anaknya yang lain dan kini menjadi salah satu bagian di antara mereka.
Astaga… mau punya berapa anak lagi?
“Tidak, aku sedang datang bulan kok.” Anggun terkikik geli saat merasakan hembusan napas lega dari suaminya.
***
“Kau sejak kapan hobi melukis?” Tanya Andrew saat memasuki pekarangan rumahnya. Ia melihat istrinya yang tampak disibukkan dengan kertas, kuas, dan cat minyak warna-warni di sore cerah menghampiri senja. Anggun tampak sangat cantik dengan gaun sepaha berwarna hitam polos dibalut kain transparan putih panjang yang menutupi sampai mata kakinya. Sebuah topi bundar berwarna hitam menempel miring di kepalanya.
Sesaat Andrew ragu, apa benar wanita itu adalah sosok istrinya yang sudah beranak tiga? Anggun masih cocok dianggap gadis terutama jika sudah menggerai rambutnya?
“Entahlah, hanya suka saja belakangan ini.” Anggun mengecup pipi seseorang yang kini melingkarkan tangan kekarnya di pinggangnya lalu meletakkan dagu lancip itu di bahunya yang terbuka. Menikmati hembusan angin sore dengan semburat cantik senja sebagai latar mereka.
“Apa benar kau istriku, hn? Kenapa kau terlihat seperti gadis remaja?” Andrew membalas kecupan Anggun di pipinya, tersenyum menggoda saat Anggun hanya terkekeh kecil dan mengelus rambutnya.
“Mungkin karena aku selalu bahagia.”
“Lalu apa yang membuatmu selalu bahagia?” bisik Andrew lembut, kali ini mata abunya menatap langsung mata coklat Anggun. Mereka terdiam, saling memuja keindahan paras seseorang yang kini ada di depan mereka, mengagungkan nama Tuhan karena sudah menciptakan makhluk yang bagi mereka begitu sempurna.
“Kau…” Anggun balas berbisik, sesaat kemudian Andrew hendak meniadakan jarak yang ada di antara mereka, kepalanya semakin miring hendak mengecup bibir Anggun yang merah tanpa polesan lipstick. Kalau saja-
“Cie-cie… pacalan ni yeee…”
Suara godaan itu membuat Anggun terlonjak kaget, ia segera berdiri dari bangkunya tanpa memedulikan Andrew yang kehilangan keseimbangan dan terjatuh tidak elit ke rumput di depannya. Marlon tertawa renyah melihatnya, ia membawa balon pink berbentuk Patrick berlari menghampiri sang Mama.
“Anggun, kau ini…” Andrew sudah kembali berdiri sambil mengusap wajah tampannya yang baru saja berciuman dengan rumput, ia mendengus saat anak tengahnya yang baru kembali aktif setelah traumanya yang tenggelam di kolam renang.
“Marlon sudah mandinya Sayang?” Tanya Anggun sambil berjongkok. Mengecupi pipi gembil sang putra sambil menggesekkan hidung mancungnya. Marlon terkekeh geli, ia berusaha menjauhkan wajah Anggun dari pipinya.
“Geli Mama…”
“Eh, balon Patrick, lucu sekali.” Anggun menyentil balon udara Marlon pelan, Marlon mendongak menatap balonnya lalu kemudian tersenyum sumringah.
“Balusan kasih Papi Ewal…”
Dan kalimat yang diucapkan Marlon, sanggup membuat Anggun dan Andrew mematung sejenak. Anggun menggigit bibir bawahnya panik dengan Andrew yang semakin hilang kendali. Mengepalkan kedua tangannya geram ingin meninju sesuatu.
Bagaimana caranya Edward bisa masuk kerumahnya dan menemui putranya? Terror macam apa lagi yang akan Edward berikan kalau mereka tetap tidak mau menyerah?
“Pah…” Anggun mendadak merasa lemas. Apa pun yang akan Edward lakukan, entah kenapa Anggun mulai mencemaskan anak-anaknya? Anggun takut Edward berbuat nekad dan menyakiti para buah hatinya. Terutama pada Marlon… putranya yang selalu positif thinking pada setiap orang yang berbuat baik padanya.
“Tenanglah… aku akan berusaha menjaga kalian semua.” Sumpah Andrew pasti. Ia… memang akan melakukan apa pun untuk menggagalkan segala rencana buruk Edward.

Kami hanya ingin hidup bahagia…
Tapi kenapa begitu sulit untuk mendapatkannya?
***
“Ini kalung untuk Marsya…” Andrew mengalungkan kalung terakhirnya pada anak bungsunya. Tersenyum manis saat Marsya berjingkrak-jingkrak kesenangan. Marsya meraih kalung berbandul huruf ‘A’ yang merupakan inisial dari nama ‘Adrian’. Bandul kalung yang terbuat dari permata bening itu sudah menjadi sesuatu yang digunakan keluarga Adrian secara turun-temurun. Untuk anak perempuan, akan diberikan permata bening, sedangkan anak laki-laki, diberikan permata hitam. Seperti yang saat ini juga dikenakan oleh Andrew.
Kalung itu dipesan langsung dari pendesign terbaik di Italia, di mana bandul atau liontin yang dijadikan bahan merupakan permata mahal yang cukup sulit didapatkan. Dikikir dan dibuat secara hati-hati menciptakan bentuk yang sempurna. Memesannya pun dibutuhkan waktu minimal satu bulan dan tentunya merogoh saku yang cukup dalam untuk mendapatkannya.
Awalnya, Andrew memang tidak berminat memakai nama Adrian lagi untuk keturunannya, tapi karena sekarang dia dan keluarga besarnya sudah memilih untuk damai, akhirnya dua bulan yang lalu Andrew memesan tiga buah kalung untuk anak-anaknya.
“Maca cuka-cuka-cuka kalungnya.” Marsya tersenyum genit. Andrew hanya mengelus puncak kepalanya lembut. Anak perempuan semata wayangnya itu memang selalu membuatnya bahagia. Pintar memuji lagi.
“Kalung itu harus kalian jaga baik-baik, hanya keluarga kita saja yang memakainya. Oke?” Andrew berkata pada anak-anaknya, semuanya mengangguk antusias, saling memegangi kalung masing-masing di tengah ruang tamu rumah mereka.
Anggun ikut tersenyum, kemudian tanpa sengaja matanya menangkap Brian yang sedang mengintip dari balik tembok, sorot matanya begitu sedih karena menyadari di antara semuanya, hanya dia yang tidak diberikan kalung yang sama.
Ia… masih belum diakui oleh sang Papa?
“Pa… bagaimana dengan Brian?” Tanya Anggun lirih, tidak tega saat melihat Brian berbalik dan melangkah pergi.
“Oh. Hm…”
***
Andrew mengerang tertahan, ia merasakan tangannya yang pegal karena semalaman ditiduri Anggun, Anggun yang sedang rewel dan manja, Anggun yang mengomel jika sedikit saja tidak mendapatkan perhatian lebih darinya. Andrew tidak mengerti ada apa dengan Anggun? Yang jelas, perubahan sikapnya yang sekarang ini sedikit membuatnya hangat sekaligus hampa.
“Ngh…” Andrew membuka matanya lalu mengerjap beberapa kali, tersenyum miring saat menoleh Anggun masih terlelap dalam dekapannya. “Sayang…”
Andrew menyusuri pipi Anggun dengan telunjuknya, merasakan gesekan halus kulit terawat sang istri yang begitu ia puja, turun ke dagu lalu bibirnya. Tersenyum aneh, Andrew mendekatkan bibirnya ke bibir Anggun, hendak mengambil morning kiss yang sudah beberapa hari belum didapatkannya karena selalu mendadak ad-
“MAMA!”
Yah! Seperti itulah! Selalu ada suara cempreng yang menginterupsi kegiatan romantis mereka, merasakan kasurnya yang bergerak-gerak Andrew hanya menghela napas pasrah dan menjauhkan kembali kepalanya dari Anggun. Ia tahu sekarang salah satu buah hatinya sedang berusaha memanjat naik ke atas kasurnya. Dalam hati ia berharap semoga si pemanjat ulung itu tidak terjatuh.
“MAMA!”
“Marsya, jangan teriak-teriak sayang, ini hari libur loh!” Andrew berkata parau. Anak gadisnya yang tomboy itu melompat menaiki perut Andrew kemudian nyengir lebar, rambut ikalnya sedikit kusut, pertanda bahwa bocah manis tiga tahun itu juga baru bangun tidur.
“Ma’em Papa…”
“Minta suster aaja.”
“Ndak mauuuu.” Marsya memonyongkan bibirnya, membentuk huruf ‘O’ yang mau tidak mau membuat Andrew meringis, sumpah demi apa pun, Andrew merasa anaknya itu sangat-sangat lucu jika sudah merajuk. Ahh… replika Anggun itu memang selalu mendinginkan hatinya walau sedang jengkel.
“Ndak mau ndak mau saja.” Andrew menarik kepala putrinya lalu mengecupi kedua pipi tembemnya penuh sayang. “Marsya kok pintar manjat?”
“Maca gitu loh!”
Narsis! Andrew hanya nyengir melihatnya, kemudian dua pasang mata satu warna itu menoleh saat mendengar suara erangan lainnya, pertanda sosok sang mama yang sejak tadi tertidur itu terusik dengan percakapan ayah dan anak di sampingnya. Anggun membuka matanya sambil tersenyum saat melihat dua pasang mata yang terus mengusiknya.
“Pagi…”
“Pagi…”
“PAGIIII!” Marsya menjawab sapaan Anggun dengan teriakkan ceria sepenuh hati. Anggun terkekeh lalu mengecup pipi putrinya dua kali.
“Papanya tidak dapat cium?” sindir Andrew cemburu, sebuah kecupan basah beserta air liur hinggap di pipinya, Andrew melotot horror pada Marsya yang kini tersenyum centil setelah membuat pipi kanannya yang dulu putih mulus kini dikotori cairan nista.
“Maca aja cium Papa, Mama cium Maca.”
“Marsya curang, ah.”

Terima kasih Tuhan…
Karena Kau memberi kami pagi yang menyenangkan…
***
“Mereka lama.” Andre yang sedang berdiri di depan pagar sekolah playgroup menyandarkan punggungnya ke besi tinggi merah muda di belakangnya, Brian yang sejak tadi menemaninya hanya diam memutuskan tidak membuka suara.
Siang berlangsung mendung, sekolah Andre dan Brian yang sedang diadakan rapat guru membuat semua murid-muridnya diliburkan. Supir yang ditugaskan untuk menjemput mereka bisaanya datang jam tiga sore, karena malas menelpon dan ingin jalan-jalan, Andre memutuskan untuk menjemput kedua adiknya ke sekolah mereka. Biar nanti supirnya itu menjemput mereka sekaligus di satu lokasi.
Brian? Tentu saja ia mengikuti ke mana pun adiknya pergi, sikap Andre yang sekarang memang masih cuek bahkan terkesan tidak peduli, tapi Andre juga sudah tidak pernah mengganggunya atau membentaknya tanpa sebab seperti saat pertama kali Brian menginjakkan kaki di rumahnya. Sepertinya… insiden kecelakaan Marlon tempo hari mampu merubah sedikit perangai kasarnya, Andre juga tidak pernah marah kalau Brian memutuskan untuk mengikutinya.
“Lima belas menit lagi sekolah mereka bubar.” Brian mengatakan setelah melirik arloji yang melingkar di tangan kanannya. Ia memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana biru muda kotak-kotak ciri khas sekolah dasar barunya. Dasi biru muda yang biasa ia kenakan sudah dimasukan ke dalam tas, begitu pula dengan adik tirinya, mereka memakai jaket kaos satu model tapi beda warna.
Andre hanya meliriknya sekilas lalu memutar kedua bola matanya bosan. Sampai tiba-tiba ia mengatakan, “Jangan dekat-dekat Sayma.”
“Hn?” Brian yang tadi sibuk menunduk sambil menendang-nendang kerikil di bawahnya tidak minat mengangkat kepalanya dan menatap Andre bingung.
“Jangan dekat-dekat Sayma…” suara Andre kali ini memelan lirih, “Dia temanku satu-satunya.”
“Yah.” Brian tak banyak membantah, ia akan menuruti permintaan Andre dalam bentuk apa pun, hal itu akan ia lakukan agar suatu hari nanti Andre mau mengakuinya sebagai saudara, memanggilnya ‘Kakak’ layaknya Marsya dan Marlon. Sekali pun… Sayma juga satu-satunya teman yang dimilikinya, yang mau berteman dan tersenyum tulus menganggapnya bagian dari Adrian. Tidak memedulikan cibiran orang-orang yang menyepelekan dan menyebutnya anak haram.
Hening…
Tidak ada yang membuka suara kembali di antara mereka, sama-sama dihanyutkan dengan pemikiran masing-masing, baik Andre maupun Brian, merasa atmosfir di antara mereka semakin tidak nyaman dan dingin.
“Bubar!” kata Andre saat melihat gerbang sekolah adiknya yang berwarna-warni menyakitkan mata itu terbuka, Brian dan Andre segera masuk ke dalam sekolah, hendak menghampiri adik-adik mereka untuk diajak jajan ke kafe eskrim yang jaraknya hanya beberapa puluh meter dari sekolah itu.
“Eh, Marlon dan Marsya hari ini dijemput Kakaknya, ya?” sapa guru playgroup yang sedang menuntun dua bocah kembar itu, tersenyum pada Andre yang juga menjadi alumni tempat kedua adiknya kini bersekolah. “Bagaimana kabarmu Andre?”
“Baik.” Andre menjawab malas. Sang guru tersenyum miris menyayangkan perangai Andre yang berubah, ia tahu masalah yang dialami Andre saat masih TK, teman-teman yang selalu mengajaknya bermain ternyata hanya memanfaatkannya, dan entah sejak kapan… sikap Andre yang periang itu kini berubah?
“Ayo pulang, kita beli eskrim.” Andre berujar, disambut sorakan ‘Yey’ dari Marlon dan Marsya. Andre menuntun Marsya yang melompat-lompat kesenangan, sedangkan Marlon yang sejak awal lebih menempel pada Brian, dituntun sang kakak keluar dari gerbang, tidak terlalu memikirkan tatapan sendu sang guru yang menatap punggung Andre prihatin.
“Ahh… padahal dulu Andre sangat mirip dengan Marlon.” Gumam sang guru sembari menghela napas.
***
“Andre, sebaiknya kita memilih jalan yang ramai saja,” usul Brian sebelum mereka memasuki sebuah gang rute singkat. Ia lebih memilih jalan memutar daripada melewati gang sepi yang jarang dilewati orang-orang.
“Takut?” sindir Andre sinis. Ia menggenggam tangan Marsya erat. “Pulang sana.”
“Perasaanku tidak nyaman.” Brian tidak ambil pusing, “Ayo kita pilih jalan yang ramai.”
You think I care about your feeling?!” Andre memutar kedua bola matanya bosan, tanpa menghiraukan bantahan Brian selanjutnya, Andre menarik tangan Marlon agar ikut serta dengannya. Marlon yang dituntun Andre berjalan sesekali menoleh pada Brian yang tertinggal di belakangnya, terus melangkah maju memasuki gang dengan tangan kirinya yang digenggam sang kakak.
“Mobil…” Brian mengernyit di depan gang saat melihat sebuah mobil kijang hitam melewatinya memasuki gang, perasaannya semakin tidak nyaman, ia segera berlari menyusul adik-adiknya, berdoa pada Tuhan semoga Andre yang pastinya belum terlalu jauh, masih baik-baik saja.
***
“LEPAS!” Andre meronta hebat saat ada dua orang berbadan besar yang turun setelah sebuah mobil berhenti menghadang jalan mereka. Salah satu dari mereka menangkapnya, sedangkan rekannya yang lain menggendong Marsya dan Marlon yang terus sibuk meronta.
“ANDRE!” Brian yang baru sampai di tempat tujuan langsung terbelalak saat melihat dua orang itu berusaha memasukan adik-adiknya ke dalam mobil, ia mengambil balok kayu yang tergeletak sembarang lalu berlari memukulkannya ke punggung orang besar berambut jabrik.
“Arg!” secepat itu juga gendongan Andre terlepas, ia segera turun, berbalik lalu menendang tulang kering si penculik nista. Ia melepas tasnya saat si penculik kembali mengaduh, memukulkannya ke kepala orang itu berkali-kali.
“MARLON CEPAT LARI!” perintah Brian saat berhasil memukul penculik yang lainnya membuat gendongannya pada Marlon melonggar, ia segera memangku Marlon lalu menurunkannya, menyuruhnya cepat berlari meminta bantuan sementara Brian bertekad membebaskan adiknya yang lain.
DUG!
“HUAAAAA!!!” Marlon yang berlari panik menangis histeris saat kakinya terantuk batu membuatnya jatuh telungkup di atas tanah kotor. Jaraknya tidak terlalu jauh dari lokasi penculikan, kontan saja hal itu membuat kedua kakaknya khawatir.
“Andre! Kau cepat bawa Marlon lari, aku bawa Marsya!” sempat ragu, Andre menghantamkan tasnya sekuat tenaga ke kepala penculiknya yang sudah siap dengan serangannya. Penculik itu mengambil tas Andre lalu melemparnya, ia benar-benar sebal karena sudah dipukuli habis-habisan oleh dua orang bocah.
Andre segera berlari, ia menggendong Marlon lalu menoleh pada Brian yang juga sudah menggendong Marsya. Matanya terbelalak saat melihat dua saudaranya yang lain tertangkap.
“MA-MARSYA!”
“LARI BAWA MARLON ANDRE!!!” teriak Brian yang sudah dipanggul oleh salah satu penculik, Marsya sudah dimasukan ke dalam mobil beberapa detik lalu, menangis ketakutan sambil memanggil-manggil nama sang Papa. Berharap Andrew bisa mendengarnya dan segera menyelamatkannya.
Andre terpaku, ia bingung antara harus menyelamatkan diri atau datang kembali menghampiri adik dan kakaknya, tapi menyadari saat ini Marlon ada digendongannya, dan ada kemungkinan mereka semua justru tertangkap dan lebih merepotkan sang Papa, akhirnya Andre memantapkan hatinya berlari sekencang mungkin menghindari salah satu penculik yang hampir mengejarnya.
“Sudah! Dua anak ini saja cukup!” interuksi salah satu yang lain setelah melemparkan Brian ke dalam mobil. Rekannya mengangguk lalu mendecih, mereka pun masuk ke dalam mobil dan segera meninggalkan tempat itu sebelum banyak orang datang dan lebih membuat mereka repot.
***
Hiks… hiks…
Kali ini Andre tidak menahan diri untuk menangis. Ia meraung-raung menyalahkan dirinya sendiri sembari terus menggendong Marlon erat seolah satu-satunya orang yang bisa diselematkannya itu akan diambil oleh penculik tadi. Berlari tak menghiraukan sapaan setiap orang yang menatapnya aneh serta khawatir.
Tujuannya saat ini hanya satu… rumah!
“Tuan muda!”
Andre menghentikan langkahnya saat medengar suara yang amat familiar di telinganya, ia menoleh dan melihat Daren yang susah payah akhirnya bisa menyusulnya, Daren mengatur napasnya sambil menatap Andre khawatir, ia menyusut airmata Andre dan menghela napas, ia sadar ada yang tidak beres dan itu menimpa keluarga bahagia yang baru beberapa minggu ini mendapatkan ketenangannya.
“Daren…” lirih Andre terisak. Ia menangis keras, bukan lagi karena rasa takut yang menggelayuti hatinya, tapi karena lega setelah melihat Daren, ia pasti akan baik-baik saja. Kini mereka sedang berdiri di trotoar jalan raya menuju rumah mereka, Andre yang wajahnya sudah memerah itu memeluk Daren yang langsung mendapatkan usapan di kepalanya.
“Marsya dan Brian diculik, itu semua salahku Daren, salahku…” Andre terus mengutuk dirinya sendiri. Kalau saja sejak awal ia mengikuti nasihat Brian, mungkin hal ini tidak akan terjadi. Mereka tidak akan terpisah dan mengalami kejadian mengerikan ini, mereka pasti sedang duduk di kafe eskrim sambil menikmati pesanan masing-masing.
Yah… itu kalau saja… tapi semua sudah terlambat, kali ini Andre hanya bisa menyesali segala sikap egois dan percaya diri yang diturunkan sang papa.
“A-astaga…” dan perkataan Daren barusan, seolah menjadi puncak masalah keluarga Andrew yang harus mereka hadapi. Ini… benar-benar jauh lebih sulit daripada semua yang sudah mereka lewati.
Karena Anggun… mencintai anak-anaknya melebihi rasa cintanya pada nyawa sendiri.
***
Kreeet…
Anggun menutup pintu kamarnya, ia menggigit bibir bawahnya berusaha sedikit mengurangi rasa sakit hatinya, ia memantapkan langkahnya sambil mendesah lama. Anggun sadar, ini tidak akan bisa ia jalani dengan mudah, ini sudah waktunya bagi ia untuk menyerah.
Langkah gontainya melewati ruang tamu rumahnya yang sepi, malam ini seolah menjadi duka tersendiri bagi setiap orang yang menempati kediaman Andrew yang megah dan biasanya ramai karena teriakkan atau pertengkaran anak-anak mereka. Semua merasa gelisah karena kehilangan satu-satunya perempuan  keturunan sang Adrian, beserta anak Andrew yang lain yang mulai bisa mereka terima kehadirannya.
Brian hilang karena berusaha menyelamatkan Marsya… Marsya hilang karena seseorang yang mulai kehabisan akal untuk menghancurkan rumah tangga si sulung Adrian yang keras kepala.
Koper yang diseret Anggun berhenti bergerak, siempunya mematung saat melihat seorang pria yang baru saja keluar dari kamar anak sulungnya, berusaha menenangkan Andre yang sejak tadi terus histeris menyalahkan dirinya. Sekali lagi… Andre merasa gagal menjadi seorang kakak karena tidak bisa menolong adik yang sangat disayanginya.
“Anggun…”
“Andrew…”
Andrew tertunduk sebentar, telpon dari Edward tadi sore seolah menegaskan bahwa keselamatan kedua anaknya kini berada di tangan sang ‘sahabat’, menginginkan Anggun dan Andrew berpisah jika Andrew masih mengharapkan kehidupan anak-anaknya yang kini disandera Edward. Tentu, Andrew tidak bodoh dengan mengambil jalan melapor pada polisi, ia tahu pasti orang-orang Edward mengawasi setiap gerak-geriknya.
Jika Edward bisa menyusupkan seorang mata-mata ke dalam rumahnya, menyuap salah satu pihak berwajib tentu bukan perkara yang sulit bagi Edward Ferdinand Carl.
“Kau… mau ke mana?” Tanya Andrew lirih. Mengharapkan Anggun mau berbesar hati dan sekali lagi mempercayainya, ia akan melakukan apa pun untuk anak-anaknya, untuk keselamatan mereka. Tapi… bukan dengan berpisah dari Anggun.
Ditinggalkan Anggun, sama artinya ia harus merelakan nyawanya. Mungkin bagi Andrew… mati jauh lebih baik daripada harus ditinggalkan oleh istri yang sangat dicintainya, menjadi penopang terpenting dalam hidupnya.
“Aku akan mengambil kembali anak-anakku.” Anggun berkata lirih. Kalimatnya itu tentu saja membuat Andrew terhenyak, Anggun mengatakan bukan hanya kata ‘anak’, tapi mengulang kata itu membentuk kata jamak. Itu artinya… Anggun bahkan sudah menerima Brian dan menganggapnya anak sendiri. Anak yang terlahir dari kesalahan dan kebrengsekan sang suami, anak yang dulu sempat tak ingin dilihat Anggun karena kebodohan Andrew di masa muda.
“Tapi… kita tidak perlu bercerai, kan?” Andrew bertanya lirih, terselip nada harap dalam setiap getaran tenggorokkannya. Sumpah demi Tuhan, mata Andrew bahkan sudah memanas memikirkan kemungkinan Anggun yang akan meninggalkannya. Ia tidak bisa… ia tidak akan bisa bertahan.
“Kita tidak punya pilihan lain Andrew…” Anggun berucap setelah ia menghela napas lelah. “Kau sendiri tahu, aku lebih mencintai anak-anakku, dibandingkan dirimu.”
“Jadi kau lebih baik kehilanganku daripada anak-anak Anggun?” Tanya Andrew sedih, ia tertawa sakit lalu menggeleng, memalingkan wajahnya saat sebutir airmata menetes menyusuri pipinya. Sekalipun dia memang tahu, tapi ia tidak menyangka jika mendengarnya langsung dari Anggun hatinya akan sesakit ni.
Benar-benar sakit.
“Yah, kau memang Ibu yang sempurna!” kata Andrew sarkastis.
Anggun tak menjawab, ia hanya menundukkan kepalanya sembari mempererat genggamannya di koper, ia sadar ia sudah sangat menyakiti suaminya, tapi kehilangan anak-anaknya, itu benar-benar pilihan terakhir untuknya selain MATI. Yah, sudah saatnya mereka berakhir, agar Edward tidak berulah lagi, agar tidak ada lagi di antara mereka yang tersakiti.
“Aku pergi…” kata Anggun akhirnya, ia melangkah melewati Andrew tapi kemudian terhenti, tangan kanan Andrew menggenggam lengannya erat, ia memang tidak akan pernah membiarkan Anggun pergi apa pun yang terjadi.
“Aku tidak bisa berpisah.” Lirih Andrew dengan tubuh yang mulai gemetaran, ia menarik tangan Anggun agar berbalik padanya, dengan segala kerendahan hatinya, ia berlutut di kaki Anggun, memohon agar istrinya itu memberinya kesempatan. Kesempatan untuk menyelamatkan anak-anaknya, kesempatan untuk sekali lagi mempertahankan keluarga kecilnya. “Kumohon beri aku kesempatan, aku janji… malam ini… kupastikan Marsya dan Brian pulang.”
Anggun terhenyak, airmatanya menetes semakin deras saat melihat sang suami yang begitu rapuh, tidak menyangka Andrew akan merendahkan diri untuk berlutut dan memohon padanya seperti ini. Hatinya linu, nuraninya tersakiti, akalnya mengutuknya karena sudah menyakiti orang yang selama ini menjadi malaikat pelindungnya.
Tapi…
“Memangnya apa yang akan kau lakukan?” Tanya Anggun akhirnya. Yah, memangnya apa yang bisa Andrew lakukan? Waktunya tidak banyak, sebelum tengah malam, Anggun sudah harus ada di kediaman Edward. Malam ini sudah menunjukkan pukul tujuh.
“Aku… akan membawa mereka pulang. Aku punya rencana.”
Dan kenapa kau tidak mencoba mengerti?
Bahwa tanpamu…
Aku akan mati?
***

1 komentar:

Next Prev
▲Top▲