3 Tahun kemudian...
Anggun sedang merapikan make-up tipisnya di depan cermin. Ia
sedikit mencondongkan tubuhnya menatap polesan lipstick di bibirnya yang sudah
rapi. Berdiri tegak lalu memperhatikan gaun biru berlengan pendek yang
dikenakannya, setelah merasa cukup berkelas, ia mengambil tas berwarna senada
dengan pakaiannya yang tergeletak di atas kasur. Segera ia tenteng dan di
bawanya keluar kamar.
“Mama! Mama! Cakit! HUAAAA!!!” jerit seorang balita histeris,
ia berlari ke arah ibunya yang baru menuruni tangga dan menatapnya bingung,
digendongnya balita lelaki bertumbuh gempal itu sambil berusaha menenangkannya.
“Marlon kenapa, Nak?”
“Cakit-cakit… hiks!” Marlon memeluk leher Anggun lalu
menunjukan memar merah di tangan kanan putihnya yang hanya dibalut singlet
putih. Anggun sedikit terbelalak, memar di lengan putra tengahnya cukup parah.
“Siapa yang melakukan ini, Marlon? Mana suster? Disuruh jaga
bayi saja tidak becus.” tanya Anggun geram. Ia melangkah dan mengedarkan
pandangannya mencari suster-suster yang ia bayar untuk menjaga ketiga anaknya.
Dikecupinya wajah Marlon penuh sayang, replika kedua Andrew itu terus saja
meraung-raung.
“Cubit Kakak, cubit Kakak!”
Anggun tertegun. Kali ini sikap Andre pada Marlon sudah
sangat keterlaluan. Ia mendengus kasar lalu berteriak, “ANDRE!!!”
Mendengar teriakan ibunya yang menggema sampai membuat adik
bungsunya meringkuk takut, si pemilik nama langsung menelan ludah gugup. Ia
tahu ibunya itu pasti sedang marah, pasti adiknya itu mengadukannya yang sudah
mencubit lengan Marlon gemas. Andre yang sedang menggambar di ruang tamu segera
berdiri, ragu-ragu, ia berjalan menuju ruang TV. Menghampiri ibunya yang tengah
menatapnya sadis dengan Marlon dipelukannya.
“Kenapa, Ma?” Tanya Andre sok polos. Anggun memicing kan
matanya tajam lalu mencubit lengan Andre pelan. “AW! Sakit, Ma!”
“Itu juga yang dirasakann Marlon karena kamu mencubitnya.
Bahkan sampai biru.” Anggun mengusapi kepala Marlon. Rambut coklat anak
tengahnya yang begitu terasa halus saat disentuhnya. Ia yang sedang duduk di
sofa sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya dari Andre.
“Tapi kan Marlon yang mulai, Ma!”
“Lalu karena Marlon yang salah, kau kira tingkahmu yang
mencubit Marlon sampai biru itu bisa dibenarkan, Andre? Bagaimana rasanya saat
tanganmu Mama cubit? Padahal itu masih bisa dikatakan pelan.” Anggun
meninggikan nada suaranya. Memelototi Andre yang tampak tidak sedikit pun
merasa bersalah.
Mendengar itu Andre menunduk dalam, mungkin kali ini
hukumannya pada si adik memang sudah keterlaluan. Melihat Andre yang tampak
menyesal, Anggun menghela napas lelah.
“Sekarang jelaskan, apa alasanmu sampai mencubit Marlon? Dia
adik kamu!” tegur Anggun dengan suara yang lebih lembut. Ia tidak habis pikir
kenapa anak sulungnya itu selalu saja mengusili Marlon? Setahu Anggun, Marlon
itu selalu bersikap manis sama seperti saudara kembarnya, Marsya.
Andre tetap diam, ia menunjukan buku gambarnya, di sana ada
gambar ayah, ibu, dan tiga orang anak kecil yang dicorat-coret. Menggunakan
spidol, membuat gambarnya jadi terlihat berantakkan. Anggun menatapnya sebentar
lalu kembali menatap si sulung.
“Marlon nakal, Ma... gambar Andre dicorat-coret, besok kan
mau dikumpulkan.” Andre membela diri, walau nada suaranya berusaha ia pertahankan
tetap angkuh tapi ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. ia sedih karena
selalu disalahkan sang Mama. matanya berkaca-kaca, sedikit merasa kecewa karena
Anggun terkesan pilih kasih.
“Bantu gambal, Kakak...” bisik Marlon pelan, ia sudah
berhenti menangis. Andre mengangkat kepala menatapnya sinis lalu hendak
mencubit kakinya, Anggun mengelak memiringkan kakinya sehingga Andre hanya
mencubit angin, sekali lagi ia mencubit pipi Andre pelan.
“Mama bilang jangan sakiti Marlon lagi. Andre... Marlon
masih kecil, dia tidak sengaja, dia hanya ingin membantumu menggambar saja...”
nada bicara Anggun kembali mengeras, heran pada Andre yang bahkan begitu
beraninya menyakiti Marlon di depan matanya. namun tampaknya Andre tidak mau
tahu, ia tetap kesal pada Marlon.
“Mama, Maca mau ekim!” adu Marsya sambil berjalan
menghampiri Anggun. Tadi ia mendengar suara ribut-ribut di ruang sebelah. Kedua
susternya tertidur di ruang tamu. Marsya menatap Marlon sebentar lalu memegangi
lutut Anggun manja. Anggun mendudukan Marlon di sofa, ia juga mendudukkan Marsya
di samping Marlon lalu berdiri.
Ditatapnya kedua balita kembar itu bergantian sambil
mengukir seluas senyum. Ahh… ia senang sekali selalu memiliki anak yang
lucu-lucu.
“Andre, kau duduk juga, biar Mama siapkan eskrim, tapi
jangan nakal lagi pada Marlon, ya?” kata Anggun tidak terlalu menghiraukan
masalah yang tadi. Andre mengangguk lalu duduk di antara kedua adiknya.
Sesekali ia mendelik menatap adik lelakinya itu sebal. Uh, kenapa adiknya bukan
hanya Marsya saja? Adik perempuannya selain penurut juga sangat manis.
“Kakak mau ekim cokat?” tanya Marlon sambil menoleh dan
tersenyum lebar. Anggun baru saja pergi ke dapur. Andre menyorongkan tubuhnya
lalu memelototi Marlon.
“Kakak mau memukulmu!” bisik Andre pada adiknya yang masih
berusia dua setengah tahun. Marlon menunduk takut, ia sedih karena kakaknya
selalu bersikap jahat padanya. Padahal sebenarnya ia tidak berniat usil, dia
hanya ingin membantu Andre tetapi entah kenapa perbuatannya selalu saja salah?
“Malon cayang Kakak...” lirih Marlon pelan. Telinga Andre
sedikit bergerak-gerak mendengarnya. Ia berusaha tak acuh sambil menoleh pada Marsya
yang menyandarkan kepalanya di lengan kakaknya manja. Andre tersenyum tipis,
bocah berusia enam tahun dan masih kelas satu SD itu membelai kepala adik
bungsunya lembut.
Anggun datang membawa tiga cup eskrim untuk anak-anaknya. Ia memberikannya dengan jumlah takar
yang sama agar tidak iri satu sama lain. Ketiga anaknya menerima eskrim itu
dengan sangat antusias. Melihat itu Anggun mengulum senyum lalu berkata, “Kalian
tunggu di rumah ya... Mama mau ke rumah Tante Tari sebentar, mengantar kue.”
“Iya, Ma...” jawab ketiga anaknya kompak. Anggun mengangguk lalu
mengambil box kue di atas meja yang tadi sudah disiapkan pelayan rumahnya,
setelah yakin Andre tidak akan mengusili Marlon, ia melangkah pergi. Keluar
dari rumahnya meninggalkan ketiga orang anaknya yang sedang asyik memakan
eskrim.
“Kakak ini apa?” tanya Marsya sambil menunjuk eskrimnya. Andre
mengambil semut mati di cup eskrim Marsya lalu menggeleng.
“Hanya semut mati. Makan lagi.” Andre tersenyum, ia memang
sangat menyayangi adik perempuannya. Marsya nyengir lalu kembali melahap
eskrimnya. Sesekali ia menggigil merasakan nikmat saat gumpalan eskrim itu meleleh
dalam mulutnya.
Pluk! Tanpa sengaja Marlon menjatuhkan cup eskrimnya, eskrim itu tumpah mengotori karpet mahal di ruang TV
yang baru saja dicuci. Andre menoleh menatapnya sebentar lalu melanjutkan
aktivitasnya memakan eskrim. Berusaha tidak peduli pada Marlon yang berusaha
turun dari sofa lalu berjongkok menatap eskrimnya yang tumpah dan meleleh. Marlon
tidak menyadari bahwa kakaknya itu sesekali curi-curi pandang ke arahnya.
“Ekim Malon jatuh,” ucap Marlon sedih. Matanya yang sayu
berkaca-kaca, ia menoleh pada Marsya yang sedang memperhatikannya sambil terus
memakan eskrim. “Ekim...” desah Marlon serak. Ia ingin meminta yang baru tapi
tadi sang Mama sudah pergi, ia juga terlalu malas untuk minta tolong pada
susternya yang entah ke mana dan tidak ada gunanya?
Marlon terisak, ia mengulurkan tangannya, mencolek eskrim
yang sudah mencair separuhnya itu lalu memasukkan ke dalam mulut. Manis.
“Jangan makan itu! Kotor, nanti sakit perut!” tegur Andre
sambil berdiri dan menarik Marlon mundur. Marlon berdiri sempoyongan karena
berat badannya sendiri. Ia menoleh Kakak dan eskrimnya bergantian dengan
tubuhnya yang mulai bergetaran.
“Ekim Malon, ekim Malon. HUAAAA!!!” Marlon menangis histeris
sambil menunjuk-nunjuk eskrim. Ia masih ingin eskrim, ia masih menginginkan
eskrimnya. Andre menatapnya kesal sekaligus iba, selalu saja Marlon membuatnya
serba salah.
Setelah kepalanya cukup pusing mendengar tangisan Marlon
dengan suara cemprengnya, akhirnya Andre mengalah. ia menyodorkan eskrimnya
pada Marlon, Marlon menghentikan tangisnya lalu menatap eskrim dan kakaknya
bergantian.
“Jangan menangis lagi, ini untukmu!” ucap Andre ketus. Marlon
mengambil eskrim Andre lalu kembali duduk di samping Marsya, ia melahap
eskrimnya sambil menyeka ingus dan air matanya. Sesekali ia tersenyum dan
mengucapkan kata terima kasih.
Andre hanya mencibir, ia duduk di karpet lalu menggambar.
Sebenarnya ia juga sangat ingin makan eskrim, tapi ia tidak tega melihat Marlon
menangis sampai sesenggukkan, walau kadang usil dan kasar, ia juga sangat
menyayangi Marlon. Marlon juga adiknya… sama seperti Marsya, seseorang yang
menurut sang Papa tetap harus ia jaga.
Melihat kakaknya bergeming, Marsya turun dari sofa lalu
duduk di depan Andre, Marlon pun melakukan hal yang sama. Dua saudara kembar
itu seolah bisa merasakan keinginan satu sama lain. Mereka tersenyum lebar
memamerkan gigi-gigi susu mereka kepada kakaknya.
“Aaa Kakak!” perintah Marsya sambil menyodorkan sendok
eskrimnya pada Andre.
“Makan ekim, cama-cama!” Marlon meniru apa yang Marsya
lakukan. Andre tersenyum lalu melahap eskrim dari dua adik kembarnya
bergantian. Ia duduk dan menikmati setiap suapan dari kedua adiknya. Hhh…
Berbagi itu indah bukan? Saling melempar senyum tulus dengan orang-orang yang
kita sayangi, saling memberi apa yang kita miliki.
“Malon tadi tepon Papa, mita donat, nanti, Kakak cama Maca,
Malon kacih.” Marlon tersenyum genit. Andre dan Marsya ikut tersenyum lalu
mengangguk antusias.
Mereka tidak menyadari… sejak tadi tidak jauh dari mereka
sepasang mata abu tampak memerhatikan kelakuan anak-anaknya yang begitu manis.
Mensyukuri apa yang sudah Tuhan titipkan kepada dirinya yang dulu begitu
berjiwa kotor.
Andrew menghela napas, ia segera menyiapkan diri lalu keluar
dari balik tembok sambil berseru, “PAPA PULANG, AYOOOO SIAPA YANG MAU DONAT?!!”
Dan manisnya ikatan antar saudara…
Manisnya kehidupan yang bahkan
melebihi gula…
***
“Kau yakin?” Anggun terkekeh. Ia sedang duduk bersandar ke
dada bidang Andrew di atas kasur. Baru saja suaminya itu menceritakan kelakuan
manis ketiga anak mereka tadi sore. Andrew mempererat pelukannya di perut Anggun
lalu meletakkan dagunya di puncak kepala istrinya.
“Yah, tadinya aku sudah sedikit kesal karena Andre begitu
cuek pada Marlon. Tapi kekesalanku hilang saat Andre memberikan eskrimnya pada Marlon
walau tampak ketus.”
“Andre selalu menutupi perasaannya dengan wajah datarnya.
Huh, Andrew sekali…”
“Kau pikir dulu aku begitu?”
“Yah, kau sejak lama mencintaiku tapi tidak mau mengakuinya.
kau bilang aku tidak pantas untuk adikmu tetapi kau menginginkanku, oh, jangan
lupakan kata-katamu dulu yang bilang tidak akan pernah jatuh cinta pada seorang
Anggun Kasesya.” Anggun mencibir. Ia masih ingat semua kelakuan absurd Andrew
yang membuatnya jengkel setengah mati. Menarik-ulur perasaannya membuat
gelisah. Penantian yang selama ini ditunggunya kini terbayar sudah. Tidak ada
lagi Andrew Kevin Putra Ardian sang Casanova. Yang ada sekarang, hanya Andrewnya,
suaminya yang sangat mencintai anak dan istrinya.
“Ahh… tidak baik mengingat kesalahan seseorang di masa lalu.”
Andrew berkelit. Ia terkekeh saat mendengar dengusan kasar dari Anggun. “Jadi,
sebentar lagi kau ulang tahun yang ke dua puluh tiga, ya? Di usia semuda ini
kau sudah punya anak tiga. Yang tertua bahkan sekarang sudah kelas satu SD.”
“Oh, katakan itu pada Tuan Muda angkuh yang memperkosaku di
usiaku yang masih 16.” Kata Anggun sarkastik.
“O, ya? Memangnya siapa Tuan muda tidak tahu diri itu?
Benar-benar pedofil. Apa dia tampan?” Andrew mengikuti permainan Anggun.
Anggun terkikik geli lalu berdehem, “Yah, sedikit. Tapi dia
sangat menyebalkan. Membuatku setiap hari menangisi kelakuannya.”
“Dia pasti sangat brengsek.”
“Oh, tambahkan kata bajingan dan berhati dingin, Sayang.
Tuan muda itu benar-benar menyebalkan.” Anggun mengangguk-angguk. Andrew
berpikir sebentar lalu ikut menganggukkan saja apa yang istrinya omelkan.
“Katakan padaku siapa orangnya? Berani sekali dia bersikap
kurang ajar pada istriku yang sangat cantik ini.” Andrew mulai panas. Tidak
peduli bahwa si brengsek-bajingan-berhati dingin itu adalah dirinya di masa
lalu.
“Memangnya apa yang akan kau lakukan pada orang itu?” Tanya Anggun
penasaran.
“Aku akan memasukkannya ke mesin cuci lalu menggilingnya
biar dia tahu rasa!”
“Ya ampun! Hahahahaha!” Anggun berbalik lalu memeluk Andrew
erat. Andrew membalas pelukan istrinya. Ia mengecup puncak kepala Anggun lalu
menghirup aroma harum shampoo istrinya kuat-kuat. Hanya satu yang menjadi
harapan terbesarnya saat ini.
Semoga…
Kebersamaan mereka bisa abadi.
Mereka dulu sudah sama-sama terluka, sudah sangat sering
menyakiti satu sama lain. Terutama Anggunnya, Anggun yang selalu bertahan dan
tetap mencintainya disaat Andrew tidak pernah segan membuat hatinya terluka.
“Semoga… di masa depan aku tidak pernah menyakitimu lagi, Anggun.”
Bisik Andrew lirih. Lirihan tulus lagi-lagi ia gumamkan, pemikiran menyedihkan
terus saja membayang seolah tidak akan pernah hilang.
Anggun sudah menjadi candu untuknya, berharga dan akan
selalu menjadi bagian terpenting dalam hidupnya.
***
Anggun punya anak kembar pasti gemoyy
BalasHapusI loveee itt
BalasHapus