Still For You, Andrew (Tiga)

| Senin, 13 April 2015


3 Tahun kemudian...
Anggun sedang merapikan make-up tipisnya di depan cermin. Ia sedikit mencondongkan tubuhnya menatap polesan lipstick di bibirnya yang sudah rapi. Berdiri tegak lalu memperhatikan gaun biru berlengan pendek yang dikenakannya, setelah merasa cukup berkelas, ia mengambil tas berwarna senada dengan pakaiannya yang tergeletak di atas kasur. Segera ia tenteng dan di bawanya keluar kamar.
“Mama! Mama! Cakit! HUAAAA!!!” jerit seorang balita histeris, ia berlari ke arah ibunya yang baru menuruni tangga dan menatapnya bingung, digendongnya balita lelaki bertumbuh gempal itu sambil berusaha menenangkannya.
“Marlon kenapa, Nak?”
“Cakit-cakit… hiks!” Marlon memeluk leher Anggun lalu menunjukan memar merah di tangan kanan putihnya yang hanya dibalut singlet putih. Anggun sedikit terbelalak, memar di lengan putra tengahnya cukup parah.
“Siapa yang melakukan ini, Marlon? Mana suster? Disuruh jaga bayi saja tidak becus.” tanya Anggun geram. Ia melangkah dan mengedarkan pandangannya mencari suster-suster yang ia bayar untuk menjaga ketiga anaknya. Dikecupinya wajah Marlon penuh sayang, replika kedua Andrew itu terus saja meraung-raung.
“Cubit Kakak, cubit Kakak!”
Anggun tertegun. Kali ini sikap Andre pada Marlon sudah sangat keterlaluan. Ia mendengus kasar lalu berteriak, “ANDRE!!!”
Mendengar teriakan ibunya yang menggema sampai membuat adik bungsunya meringkuk takut, si pemilik nama langsung menelan ludah gugup. Ia tahu ibunya itu pasti sedang marah, pasti adiknya itu mengadukannya yang sudah mencubit lengan Marlon gemas. Andre yang sedang menggambar di ruang tamu segera berdiri, ragu-ragu, ia berjalan menuju ruang TV. Menghampiri ibunya yang tengah menatapnya sadis dengan Marlon dipelukannya.
“Kenapa, Ma?” Tanya Andre sok polos. Anggun memicing kan matanya tajam lalu mencubit lengan Andre pelan. “AW! Sakit, Ma!”
“Itu juga yang dirasakann Marlon karena kamu mencubitnya. Bahkan sampai biru.” Anggun mengusapi kepala Marlon. Rambut coklat anak tengahnya yang begitu terasa halus saat disentuhnya. Ia yang sedang duduk di sofa sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya dari Andre.
“Tapi kan Marlon yang mulai, Ma!”
“Lalu karena Marlon yang salah, kau kira tingkahmu yang mencubit Marlon sampai biru itu bisa dibenarkan, Andre? Bagaimana rasanya saat tanganmu Mama cubit? Padahal itu masih bisa dikatakan pelan.” Anggun meninggikan nada suaranya. Memelototi Andre yang tampak tidak sedikit pun merasa bersalah.
Mendengar itu Andre menunduk dalam, mungkin kali ini hukumannya pada si adik memang sudah keterlaluan. Melihat Andre yang tampak menyesal, Anggun menghela napas lelah.
“Sekarang jelaskan, apa alasanmu sampai mencubit Marlon? Dia adik kamu!” tegur Anggun dengan suara yang lebih lembut. Ia tidak habis pikir kenapa anak sulungnya itu selalu saja mengusili Marlon? Setahu Anggun, Marlon itu selalu bersikap manis sama seperti saudara kembarnya, Marsya.
Andre tetap diam, ia menunjukan buku gambarnya, di sana ada gambar ayah, ibu, dan tiga orang anak kecil yang dicorat-coret. Menggunakan spidol, membuat gambarnya jadi terlihat berantakkan. Anggun menatapnya sebentar lalu kembali menatap si sulung.
“Marlon nakal, Ma... gambar Andre dicorat-coret, besok kan mau dikumpulkan.” Andre membela diri,  walau nada suaranya berusaha ia pertahankan tetap angkuh tapi ia tidak bisa membohongi perasaannya sendiri. ia sedih karena selalu disalahkan sang Mama. matanya berkaca-kaca, sedikit merasa kecewa karena Anggun terkesan pilih kasih.
“Bantu gambal, Kakak...” bisik Marlon pelan, ia sudah berhenti menangis. Andre mengangkat kepala menatapnya sinis lalu hendak mencubit kakinya, Anggun mengelak memiringkan kakinya sehingga Andre hanya mencubit angin, sekali lagi ia mencubit pipi Andre pelan.
“Mama bilang jangan sakiti Marlon lagi. Andre... Marlon masih kecil, dia tidak sengaja, dia hanya ingin membantumu menggambar saja...” nada bicara Anggun kembali mengeras, heran pada Andre yang bahkan begitu beraninya menyakiti Marlon di depan matanya. namun tampaknya Andre tidak mau tahu, ia tetap kesal pada Marlon.
“Mama, Maca mau ekim!” adu Marsya sambil berjalan menghampiri Anggun. Tadi ia mendengar suara ribut-ribut di ruang sebelah. Kedua susternya tertidur di ruang tamu. Marsya menatap Marlon sebentar lalu memegangi lutut Anggun manja. Anggun mendudukan Marlon di sofa, ia juga mendudukkan Marsya di samping Marlon lalu berdiri.
Ditatapnya kedua balita kembar itu bergantian sambil mengukir seluas senyum. Ahh… ia senang sekali selalu memiliki anak yang lucu-lucu.
“Andre, kau duduk juga, biar Mama siapkan eskrim, tapi jangan nakal lagi pada Marlon, ya?” kata Anggun tidak terlalu menghiraukan masalah yang tadi. Andre mengangguk lalu duduk di antara kedua adiknya. Sesekali ia mendelik menatap adik lelakinya itu sebal. Uh, kenapa adiknya bukan hanya Marsya saja? Adik perempuannya selain penurut juga sangat manis.
“Kakak mau ekim cokat?” tanya Marlon sambil menoleh dan tersenyum lebar. Anggun baru saja pergi ke dapur. Andre menyorongkan tubuhnya lalu memelototi Marlon.
“Kakak mau memukulmu!” bisik Andre pada adiknya yang masih berusia dua setengah tahun. Marlon menunduk takut, ia sedih karena kakaknya selalu bersikap jahat padanya. Padahal sebenarnya ia tidak berniat usil, dia hanya ingin membantu Andre tetapi entah kenapa perbuatannya selalu saja salah?
“Malon cayang Kakak...” lirih Marlon pelan. Telinga Andre sedikit bergerak-gerak mendengarnya. Ia berusaha tak acuh sambil menoleh pada Marsya yang menyandarkan kepalanya di lengan kakaknya manja. Andre tersenyum tipis, bocah berusia enam tahun dan masih kelas satu SD itu membelai kepala adik bungsunya lembut.
Anggun datang membawa tiga cup eskrim untuk anak-anaknya. Ia memberikannya dengan jumlah takar yang sama agar tidak iri satu sama lain. Ketiga anaknya menerima eskrim itu dengan sangat antusias. Melihat itu Anggun mengulum senyum lalu berkata, “Kalian tunggu di rumah ya... Mama mau ke rumah Tante Tari sebentar, mengantar kue.”
“Iya, Ma...” jawab ketiga anaknya kompak. Anggun mengangguk lalu mengambil box kue di atas meja yang tadi sudah disiapkan pelayan rumahnya, setelah yakin Andre tidak akan mengusili Marlon, ia melangkah pergi. Keluar dari rumahnya meninggalkan ketiga orang anaknya yang sedang asyik memakan eskrim.
“Kakak ini apa?” tanya Marsya sambil menunjuk eskrimnya. Andre mengambil semut mati di cup eskrim Marsya lalu menggeleng.
“Hanya semut mati. Makan lagi.” Andre tersenyum, ia memang sangat menyayangi adik perempuannya. Marsya nyengir lalu kembali melahap eskrimnya. Sesekali ia menggigil merasakan nikmat saat gumpalan eskrim itu meleleh dalam mulutnya.
Pluk! Tanpa sengaja Marlon menjatuhkan cup eskrimnya, eskrim itu tumpah mengotori karpet mahal di ruang TV yang baru saja dicuci. Andre menoleh menatapnya sebentar lalu melanjutkan aktivitasnya memakan eskrim. Berusaha tidak peduli pada Marlon yang berusaha turun dari sofa lalu berjongkok menatap eskrimnya yang tumpah dan meleleh. Marlon tidak menyadari bahwa kakaknya itu sesekali curi-curi pandang ke arahnya.
“Ekim Malon jatuh,” ucap Marlon sedih. Matanya yang sayu berkaca-kaca, ia menoleh pada Marsya yang sedang memperhatikannya sambil terus memakan eskrim. “Ekim...” desah Marlon serak. Ia ingin meminta yang baru tapi tadi sang Mama sudah pergi, ia juga terlalu malas untuk minta tolong pada susternya yang entah ke mana dan tidak ada gunanya?
Marlon terisak, ia mengulurkan tangannya, mencolek eskrim yang sudah mencair separuhnya itu lalu memasukkan ke dalam mulut. Manis.
“Jangan makan itu! Kotor, nanti sakit perut!” tegur Andre sambil berdiri dan menarik Marlon mundur. Marlon berdiri sempoyongan karena berat badannya sendiri. Ia menoleh Kakak dan eskrimnya bergantian dengan tubuhnya yang mulai bergetaran.
“Ekim Malon, ekim Malon. HUAAAA!!!” Marlon menangis histeris sambil menunjuk-nunjuk eskrim. Ia masih ingin eskrim, ia masih menginginkan eskrimnya. Andre menatapnya kesal sekaligus iba, selalu saja Marlon membuatnya serba salah.
Setelah kepalanya cukup pusing mendengar tangisan Marlon dengan suara cemprengnya, akhirnya Andre mengalah. ia menyodorkan eskrimnya pada Marlon, Marlon menghentikan tangisnya lalu menatap eskrim dan kakaknya bergantian.
“Jangan menangis lagi, ini untukmu!” ucap Andre ketus. Marlon mengambil eskrim Andre lalu kembali duduk di samping Marsya, ia melahap eskrimnya sambil menyeka ingus dan air matanya. Sesekali ia tersenyum dan mengucapkan kata terima kasih.
Andre hanya mencibir, ia duduk di karpet lalu menggambar. Sebenarnya ia juga sangat ingin makan eskrim, tapi ia tidak tega melihat Marlon menangis sampai sesenggukkan, walau kadang usil dan kasar, ia juga sangat menyayangi Marlon. Marlon juga adiknya… sama seperti Marsya, seseorang yang menurut sang Papa tetap harus ia jaga.
Melihat kakaknya bergeming, Marsya turun dari sofa lalu duduk di depan Andre, Marlon pun melakukan hal yang sama. Dua saudara kembar itu seolah bisa merasakan keinginan satu sama lain. Mereka tersenyum lebar memamerkan gigi-gigi susu mereka kepada kakaknya.
“Aaa Kakak!” perintah Marsya sambil menyodorkan sendok eskrimnya pada Andre.
“Makan ekim, cama-cama!” Marlon meniru apa yang Marsya lakukan. Andre tersenyum lalu melahap eskrim dari dua adik kembarnya bergantian. Ia duduk dan menikmati setiap suapan dari kedua adiknya. Hhh… Berbagi itu indah bukan? Saling melempar senyum tulus dengan orang-orang yang kita sayangi, saling memberi apa yang kita miliki.
“Malon tadi tepon Papa, mita donat, nanti, Kakak cama Maca, Malon kacih.” Marlon tersenyum genit. Andre dan Marsya ikut tersenyum lalu mengangguk antusias.
Mereka tidak menyadari… sejak tadi tidak jauh dari mereka sepasang mata abu tampak memerhatikan kelakuan anak-anaknya yang begitu manis. Mensyukuri apa yang sudah Tuhan titipkan kepada dirinya yang dulu begitu berjiwa kotor.
Andrew menghela napas, ia segera menyiapkan diri lalu keluar dari balik tembok sambil berseru, “PAPA PULANG, AYOOOO SIAPA YANG MAU DONAT?!!”
Dan manisnya ikatan antar saudara…
Manisnya kehidupan yang bahkan melebihi gula…
***
“Kau yakin?” Anggun terkekeh. Ia sedang duduk bersandar ke dada bidang Andrew di atas kasur. Baru saja suaminya itu menceritakan kelakuan manis ketiga anak mereka tadi sore. Andrew mempererat pelukannya di perut Anggun lalu meletakkan dagunya di puncak kepala istrinya.
“Yah, tadinya aku sudah sedikit kesal karena Andre begitu cuek pada Marlon. Tapi kekesalanku hilang saat Andre memberikan eskrimnya pada Marlon walau tampak ketus.”
“Andre selalu menutupi perasaannya dengan wajah datarnya. Huh, Andrew sekali…”
“Kau pikir dulu aku begitu?”
“Yah, kau sejak lama mencintaiku tapi tidak mau mengakuinya. kau bilang aku tidak pantas untuk adikmu tetapi kau menginginkanku, oh, jangan lupakan kata-katamu dulu yang bilang tidak akan pernah jatuh cinta pada seorang Anggun Kasesya.” Anggun mencibir. Ia masih ingat semua kelakuan absurd Andrew yang membuatnya jengkel setengah mati. Menarik-ulur perasaannya membuat gelisah. Penantian yang selama ini ditunggunya kini terbayar sudah. Tidak ada lagi Andrew Kevin Putra Ardian sang Casanova. Yang ada sekarang, hanya Andrewnya, suaminya yang sangat mencintai anak dan istrinya.
“Ahh… tidak baik mengingat kesalahan seseorang di masa lalu.” Andrew berkelit. Ia terkekeh saat mendengar dengusan kasar dari Anggun. “Jadi, sebentar lagi kau ulang tahun yang ke dua puluh tiga, ya? Di usia semuda ini kau sudah punya anak tiga. Yang tertua bahkan sekarang sudah kelas satu SD.”
“Oh, katakan itu pada Tuan Muda angkuh yang memperkosaku di usiaku yang masih 16.” Kata Anggun sarkastik.
“O, ya? Memangnya siapa Tuan muda tidak tahu diri itu? Benar-benar pedofil. Apa dia tampan?” Andrew mengikuti permainan Anggun.
Anggun terkikik geli lalu berdehem, “Yah, sedikit. Tapi dia sangat menyebalkan. Membuatku setiap hari menangisi kelakuannya.”
“Dia pasti sangat brengsek.”
“Oh, tambahkan kata bajingan dan berhati dingin, Sayang. Tuan muda itu benar-benar menyebalkan.” Anggun mengangguk-angguk. Andrew berpikir sebentar lalu ikut menganggukkan saja apa yang istrinya omelkan.
“Katakan padaku siapa orangnya? Berani sekali dia bersikap kurang ajar pada istriku yang sangat cantik ini.” Andrew mulai panas. Tidak peduli bahwa si brengsek-bajingan-berhati dingin itu adalah dirinya di masa lalu.
“Memangnya apa yang akan kau lakukan pada orang itu?” Tanya Anggun penasaran.
“Aku akan memasukkannya ke mesin cuci lalu menggilingnya biar dia tahu rasa!”
“Ya ampun! Hahahahaha!” Anggun berbalik lalu memeluk Andrew erat. Andrew membalas pelukan istrinya. Ia mengecup puncak kepala Anggun lalu menghirup aroma harum shampoo istrinya kuat-kuat. Hanya satu yang menjadi harapan terbesarnya saat ini.
Semoga…
Kebersamaan mereka bisa abadi.
Mereka dulu sudah sama-sama terluka, sudah sangat sering menyakiti satu sama lain. Terutama Anggunnya, Anggun yang selalu bertahan dan tetap mencintainya disaat Andrew tidak pernah segan membuat hatinya terluka.
“Semoga… di masa depan aku tidak pernah menyakitimu lagi, Anggun.” Bisik Andrew lirih. Lirihan tulus lagi-lagi ia gumamkan, pemikiran menyedihkan terus saja membayang seolah tidak akan pernah hilang.
Anggun sudah menjadi candu untuknya, berharga dan akan selalu menjadi bagian terpenting dalam hidupnya.
***

2 komentar:

Next Prev
▲Top▲