Anggun dan Andrew sudah resmi menikah secara hukum, untuk
tiga hari ke depan Andrew ingin tetap di kampung untuk melepas penat. Jauh dari
suasana hiruk-pikuk ibukota tampaknya membuat taipan muda itu sedikit rileks.
Walaupun ia memang masih mau menerima telpon jika ada yang kurang dimengerti
orang-orang kepercayaannya di kantor.
Pagi-pagi Andrew sudah memakai sepatu kets-nya lalu berdiri. Ia mengenakan celana olahraga panjang, dan
kaos putih polos yang sedikit ketat, memamerkan tubuh putih tegapnya yang
atletis. Selembar handuk kecil melilit di lehernya, Andrew hendak jogging, seperti kebiasaannya di
Jakarta, di belakangnya Daren tetap setia mengikutinya. Sengaja Andrew menyewa
sebuah rumah untuk tempat tinggal supir dan beberapa bodyguard yang selalu mengikutinya.
Sepanjang perjalanan, banyak mata yang menatap pria tampan
blasteran Amerika itu penuh minat. Bahkan beberapa ibu-ibu yang hendak pergi ke
pasar ada yang tidak sengaja menabrak pohon atau terantuk batu saat
memperhatikan Andrew. Ibu hamil melihat Andrew sambil mengelus-elus perutnya.
Berharap, anak mereka jika lahir dan berjenis kelamin laki-laki, bisa setampan Andrew.
Mereka terpesona? Tentu saja. Tidak pernah ada sosok sesempurna Andrew yang
datang mengunjungi desa kecil mereka.
“Daren! Aku rasa di sini aman, kau tidak perlu mengikutiku,”
saran Andrew saat ia mulai berjalan santai. Matanya menyapu sekelilingnya yang
menampilkan pemandangan asri. Desa ini masih sangat hijau, kabut cukup tebal
sekalipun sudah hampir pukul tujuh pagi. Sepertinya… Andrew akan lumayan betah
tinggal di kampung halaman istrinya.
“Tugas saya melindungi Tuan. Tidak ada tempat yang aman
selain rumah.” Daren keukeuh ingin mengikuti Andrew. Ia adalah satu-satunya
orang yang berani membantah perintah Andrew, dan Andrew seringkali menuruti
semua pendapatnya, walau bagaimanapun Andrew tahu Daren hanya ingin
melindunginya dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Kesetiaan Daren padanya membuat Andrew sama sekali tidak
menyesal karena dulu pernah mengeluarkan uang banyak dan terlibat hukum agar Daren
bisa terbebas dari hukuman mati karena sudah membunuh pamannya sendiri.
Yah! Daren memang memiliki masa lalu yang cukup kelam,
karena tidak tahan selalu dianiaya pamannya yang sejak kecil merawatnya, tanpa
segan Daren menikam dada kirinya menggunakan parang. Parang itu menembus
jantung pamannya dan membuatnya tewas seketika. Daren hampir dijerat hukuman
mati, karena dianggap melakukan pembunuhan keji, dan anehnya ia sama sekali
tidak menyesal sudah membunuh pamannya yang selalu memperlakukannya lebih keji
dari binatang.
Dalam pelariannya dari polisi, Daren menemukan mobil Andrew
yang menabrak trotoar jalanan yang sepi saat dinihari, mendadak hatinya
tergugah dan merasa harus menolong Andrew yang saat itu tak sadarkan diri. Daren
membawa Andrew ke rumah sakit, ia juga mendonorkan darahnya agar Andrew cepat
pulih.
Andrew sangat berterima kasih pada Daren, ia mengangkat Daren
sebagai salah satu bodyguard-nya
sekalipun tubuhnya paling kecil dan tidak bisa berkelahi. Saat itu, Daren
memang masih berperawakan kurus tak terawat. Berbeda dengan sosoknya yang
sekarang yang bentuk tubuhnya bahkan hampir menyerupai Andrew.
Sang Tuan muda bahkan membiayai Daren sekolah bela diri dan
kuliah. Saat tahu Daren adalah buronan polisi, awalnya dia marah besar, tapi
berkat saran Anggun dan ketulusan hati Daren yang selalu berusaha melindunginya,
Andrew akhirnya menyerah. Ia memutuskan untuk menolong Daren dan membantunya
terbebas dari jeratan hukum.
Andrew tetap
menyerahkan Daren ke polisi agar hukuman Daren dapat diperingan. Ia mengutus
pengacara terbaik untuk membela Daren, ia bahkan sampai meninggalkan meeting hanya untuk datang ke
pengadilan.
Merasa Daren tetap tidak akan selamat, Andrew menerima
usulan pengacaranya untuk meminta keluarga paman Daren mencabut tuntutan
mereka. Awalnya keluarganya menolak, tapi setelah ditawari uang lima ratus juta
dan sebuah mobil mewah mereka mencabut tuntutan mereka, dan tiga hari kemudian Daren
dibebaskan.
“Nyawa saya milik Tuan!” Daren menunduk sopan. Andrew
tersenyum lalu menoleh.
Mau bagaimana lagi? Daren memang orang yang tahu balas budi.
Sekalipun kadang Andrew risih karena beberapa kali orang-orang yang tidak
mengenalnya menganggap Andrew dan Daren adalah sepasang kekasih. Yang benar
saja… apa wajahnya itu sudah seperti seorang gay yang jatuh cinta pada
pengawalnya sendiri?
“Baiklah! Itu memang seharusnya, hanya saja... jujur aku
tidak suka dengan caramu setiap kali menatap istriku! Kau menyukainya?” tanya Andrew
setengah bercanda.
Mendengar tuduhan itu, Daren mengangkat kepalanya
terbelalak. Ia tidak menyangka Andrew akan tahu bahwa selama ini ia selalu
menatap Anggun dengan pandangan yang berbeda. Jujur saja… Daren memang selalu
iri dengan keharmonisan hubungan tuan dan nyonyanya. Tapi ia tidak tahu bahwa
caranya menatap Anggun akan membuat Andrew tidak nyaman.
“Maaf, Tuan! Maaf jika selama ini saya bersikap lancang.
Tuan boleh membunuh saya!” ucap Daren dengan nada panik. Andrew membolakan
matanya lalu tertawa terbahak-bahak.
Terkadang… mengusili Daren memang menjadi hiburan tersendiri
untuknya. Andrew selalu senang saat Daren mengeluarkan ekspresi wajah. Lelaki
tampan itu memang harus lebih ekspresif.
“Aku hanya bercanda, mengapa kau serius sekali? Jangan
terlalu kaku. Sudah siang, ayo kita jalan!” ajak Andrew lalu mulai kembali
berjalan santai menapakki aspal. Daren menghela nafas lega, dengan segera ia
sedikit berlari menyusul Andrew.
***
Andrew berjalan santai, tidak dipedulikannya sekalipun
banyak yang menatapnya asing. Di belakangnya Daren tetap setia mengikuti Andrew,
sesekali ia berjalan mendahului Andrew untuk menyingkirkan batu besar agar Andrew
tidak tersandung. Kadang Andrew geli dengan sikap Daren yang terlalu protektif,
tapi ia membiarkannya saja.
Daren memang susah dibantah jika ada maunya.
“Daren, apa kalau jika kita berjalan ke lereng gunung, kau
akan menyingkirkan semua batu itu untukku?” tanya Andrew heran. Sedikit
penasaran juga dengan cara Daren menjaganya yang bisa dikatakan terlalu
berlebihan.
“Apapun perintah Tuan, apapun untuk kebaikan Tuan!” jawab Daren
lempeng. Andrew mengangguk malas, Daren itu sangat kaku sekali. Apalagi jika
sudah mengobrol berdua dengannya. Padahal, jika sedang dengan Anggun atau Andre
sikap Daren sedikit terbuka.
Ngh… apa Andrew terlihat sangat menakutkan?
Ah… andai saja Andrew bertanya langsung pada Daren, mungkin Daren
akan membantah dan mengatakan, “Tuan
sangat mengagumkan.”
Andrew melihat tukang bubur yang sedang mangkal. Dengan
semangat, ia mengajak Daren ke sana. Kebetulan mereka memang belum sempat
sarapan. Setelah memilih bangku yang tidak terlalu sesak juga berdempetan
dengan pembeli yang lain, ia memutuskan duduk dan memesan.
Menunggu dalam waktu yang relatif lama, Andrew kembali
termenung. Entah kenapa setiap kali bersama Daren terkadang Andrew merasa canggung?
Ia merasa Daren lebih memperhatikannya daripada Anggun, terkadang Anggun sering
mengejek Andrew berselingkuh dengan Daren. Yang jelas saja ditampik Andrew
sebal sambil mengatakan, “Kau masih
meragukanku normal padahal dulu kau sudah tahu bertapa bajingannya aku, Anggun?”
Tapi dengan entengnya Anggun membalas perkataan Andrew, “Siapa tahu Tuan muda yang tampan ini karena
dulu terlalu bajingan sekarang sudah bosan dengan perempuan.”
“Itu siapa? Suaminya Anggun bukan? Tampan sekali, ya? Mirip
aktor,” bisik seorang ibu-ibu pada teman-temannya yang baru pulang dari pasar
dan melewati Andrew. Andrew yang mendengarnya juga tidak ambil pusing. Ia
memang sudah terbiasa menjadi pusat perhatian. Sekarang beberapa ibu penggosip
itu maklum kenapa Anggun tidak keberatan memiliki anak di luar nikah. Rupanya
menurut mereka Anggun memegang prinsip
alon-alon asal kelakon.
“Iya, bukan hanya tampan, tapi katanya kaya juga. Ya ampun,
pantesan saja ya Anggun nolak Pak Lurah, suaminya plus-plus, saya juga mau jadi
istri keduanya. Kalo tidak salah namanya Andrew, kan? nanti anak saya bisa jadi
anaknya juga- AW!!!” jeritnya saat ada yang melemparinya dengan batu.
“Ndak ngomong Papa, PAPA ENDU PAPA ANDE!” teriak Andre dari
belakang para penggosip murka. Andrew yang sedang memakan bubur tersedak saat
mendengar suara Andre yang melengking, ia mengedarkan pandangannya mencari Andre,
takut-takut itu hanya suara dedemit pohon yang sama berisiknya dengan anak
sulungnya.
Andre memungut batu yang lebih besar lalu berlari ke arah
ibu-ibu yang sedang membicarakan ayahnya, ia tidak mau ada yang merebut Andrew,
ia tidak mau ada anak lain yang menjadi saudaranya. Andrew hanya miliknya…
Papanya. “Nakal-nakal! Pukul!” Andre melemparkan batu itu.
“Andre sudah, Nak!” tegur Anggun. Andre tak menghiraukannya,
sekalipun ia sulit berjalan tetap saja ia mengejar ibu-ibu yang sudah berlarian
berusaha menghindari bulldog yang
mengamuk. Yah, bagi mereka perawakan gempal Andre yang lucu tapi sangar itu
memang mirip bulldog.
Daren berlari ke arah Andre lalu memangkunya, Andre menangis
histeris, membuat pemuda tampan itu sedikit menjauhkan telinganya dari bibir Andre,
berusaha melindungi gendang telinganya agar tidak tuli. Daren membawanya
menghampiri kedua orangtuanya yang kini sudah duduk di belakang gerobak bubur.
“Pukul Delen, pukul, mau ambil Papa!” perintah Andre
terisak. Andrew nyengir lalu meraih Andre dan mendudukan Andre dipangkuannya.
Berusaha menenangkan putera sulungnya, sedikit geli melihat wajah putih itu
kini merona padam.
“Sudah Sayang, tidak akan
ada yang mengambil Papa. Jagoan tidak boleh menangis.” Andrew berusaha
menenangkan Andre. Ia mengecupi pipi putranya yang posesif, ia mengaduh saat
tangan mungil Andre justru memukul bibirnya.
“Don spik-spik egen,
yu not nais!” teriak Andre. Andrew membolakan matanya kaget, bukan karena Andre
membentaknya ataupun memukul bibir seksinya yang bisa mengakibatkan jontor
permanen, jontor yang mungkin akan menjadi penyebab Anggun menyelingkuhinya
karena menilai bibirnya sudah tidak menarik –pemikiran Andrew berlebihan-. tapi
karena bahasa inggris yang Andre ucapkan itu berantakan.
“Andre, siapa yang mengajarkanmu bahasa inggris seperti it-”
Andrew menghentikan kalimatnya, ia menoleh pada Anggun yang sedang duduk di
sampingnya, Anggun tampak menikmati bubur yang baru dua suap dimakan Andrew
sambil menyenandung. Merasa ditatap dengan sorot menusuk, Anggun menoleh dan
menatap suaminya canggung.
“Aku tidak boleh makan ini?” tanya Anggun sedih saat Andrew
semakin menatapnya jengkel. Ia meletakkan kembali mangkuk buburnya di atas
meja. Lalu memanyunkan bibirnya. Melihat itu, Andrew mendengus kasar.
“Bukan! Tapi aku mohon sangat padamu, Anggun. Jangan pernah
mengajari Andre bahasa inggris lagi. Oke?”
“Memang kenapa? Bahasa inggrisku juga bagus, kan?” Anggun
tersenyum polos. Andrew menghela nafas berusaha menenangkan diri. Ia menahan
diri agar tidak membenturkan kepalanya ke gerobak bubur.
Diakuinya hanya wajah cantik dan sikap Anggun yang baik saja
yang bisa memikat hatinya. Mph… mungkin service
yang diberikan Anggun juga masuk kategori, kan, Andrew?
“No-no belantem. Not
nais bicaus ken luka!” bahasa inggris Andre semakin ngaco.
“Ya ampun...” desah Andrew kian shock. Sepertinya ia harus mendidik ulang bahasa inggris Andre dari
awal. Untunglah otak Andre itu sama jeniusnya dengan otak papanya. Andrew
mungkin akan bunuh diri kalau sampai IQ yang dimiliki Andre justru gen yang
diturunkan oleh ibunya.
“Bahasa inggris Andre semakin bagus, Andre pintr...” Anggun
tersenyum senang, ia mengusap kepala Andre bangga. Andre menatapnya lalu
mengerutkan keningnya. Melihat ibunya yang terus tersenyum, tiba-tiba Andre
ingin menggodanya.
“Angun!” cibir Andre tidak sopan.
“ANDRE!”
Kebersamaan yang selalu kami
harapkan…
Menjadi mimpi yang akan kami
wujudkan...
***
Andre gemoyy banget
BalasHapus