Still For You, Andrew (Lima)

| Senin, 13 April 2015


“Papa di mana?” Tanya Anggun. Ia sedikit cemas karena hari ini Andrew pulang telat tidak memberi kabar. Hari hampir mencapai tengah malam, tapi sang suami yang pulang dari jam delapan tadi belum juga sampai di rumah. Alhasil, hal itu membuat Anggun panik tidak karuan. Karena itu sekarang ia mondar-mandir di ruang tamu rumahnya sambil menempelkan ponsel ke telinga kirinya.
“A-aku mendadak ada meeting dengan client.” Andrew menjawab sedikit gugup. Suaranya begitu pelan seolah tidak ingin orang lain ada yang mendengar percakapan mereka ditelpon. Seseorang yang sedang duduk manis di samping kanan Andrew hanya melempar senyum bak malaikat penebar bahagia. “Kau tidur duluan saja.”
“Ta-tap-,”
“Aku sibuk Anggun. Sampai jumpa di rumah.”
Tut-tut-tut!
Anggun hanya mematung saat Andrew menutup telponnya secara sepihak. Ia menyayukan matanya saat menatap ponsel yang kini berada dalam genggaman tangannya. Ia merasakan firasat yang kurang baik, ia merasa ada yang sedang disembunyikan oleh sang suami tercinta.
Tapi…
Apa?

Dan disaat aku sepenuhnya percaya padamu…
Haruskah kau menyakitiku?
***
“Siapa, En?” Tanya Maurin sambil mengangkat sebelah alisnya. Ia menatap Andrew curiga. Andrew sedikit gelagapan saat memasukan ponselnya ke saku. Sebutir keringat mulai menuruni pelipisnya. Ia hanya menggidikkan bahunya lalu kembali menyesap winenya. Saat ini, mereka memang sedang ada di sebuah bar dengan tempat VIP yang mereka singgahi.
‘En’ memang panggilan sayang Maurin untuk Andrew, berbeda dengan orang lain yang biasanya memanggilnya dengan kosakata nama belakangnya, Maurin dan beberapa sahabat dekatnya yang selalu ingin dianggap berbeda pun memanggil Andrew dengan sebutan yang berbeda.
“Bukan siapa-siapa.”
Andrew terkesiap karena jawabannya sendiri. Ia tidak menyangka tidak berani mengakui sudah beristri dan beranak tiga di depan seorang mantan yang belum resmi menjadi mantan. Andrew segera mengalihkan perhatiannya, ia tidak mau rasa bersalah yang tersirat di sorot matanya bisa ditangkap jelas oleh Maurin.
“Lebih dari delapan tahun tidak bertemu, kau sudah sangat berubah, ya?” Maurin menyenderkan kepalanya di pundak bidang Andrew. Ia hanya tersenyum misterius saat Andrew berusaha mengatur napasnya yang memburu. Lihat saja, seberapa hebatnya keberadaan seorang Maurin hingga sanggup membuat Andrew mabuk kepayang,
“Napasku sesak.”
“Perlu napas buatan?” Maurin tersenyum jahil.
***
“Ah-ah-ah, bagaimana? Kau suka kejutan dariku, Sayang?” sapa Edward begitu Anggun mengangkat telponnya. Bibirnya mengukir seulas senyum tanpa arti. Menyadari Anggun hanya diam, Edward bersiul genit di ujung sana. Sepertinya Anggun mulai tahu apa yang dia maksudkan. Dan kali ini, Anggun tidak perlu ragu lagi untuk menilai keseriusan Edward yang ingin memporak porandakan rumah tangganya.
“Apa maumu?” Tanya Anggun datar. Ia mulai muak pada pria aneh yang kini begitu terobsesi padanya. Ke mana saja Edward saat dulu Anggun membutuhkannya? Kenapa ia kembali hadir disaat Anggun dan Andrew menjalin rumah tangga yang harmonis?
Honey…” bisik Edward lirih, “Suamimu selingkuh dengan mantan kekasihnya dulu.”
“…”
“Tidak kah kau berniat untuk bercerai?”
“Kau yang memonopoli semuanya.” Anggun mendesis marah. “Kau yang sengaja mengundang Maurin untuk membuat Andrew berpaling dariku.”
“Dia sudah tidak menginginkanmu lagi.” Edward bersikeras ingin membujuk Anggun agar menggugat cerai suaminya. “Tinggalkan bajingan itu, aku lebih pantas untukmu.”
“Meninggalkan seorang bajingan untuk seorang bajingan, heh?”
“Ayolah Anggun…” Edward berbicara mulai melunak. “Setidaknya bagiku kau cinta pertam-”
Tut-tut-tut!
Anggun menutup telponnya sebelum Edward selesai bicara. Ia menggigit bibir bawahnya cemas lalu memijat kedua pelipisnya yang berdenyut.
Yah, ia sudah tahu kalau Andrew belakangan ini bersikap lebih dingin dan menjauh karena kehadiran Maurin. Anggun juga sudah tahu bahwa Maurin kembali datang merupakan salah satu bentuk kekuasaan Edward untuk menghancurkan rumah tangga yang sudah ia dan Andrew bangun susah payah.
Tapi…
Ini juga menjadi salah satu hal yang bisa menguji kesabaran Anggun dan kesetiaan suaminya. Ia yakin Andrew dan Maurin belum sempat melakukan hubungan yang lebih jauh dari sekedar berpelukan atau bertemu diam-diam di belakangnya.
“Aku akan mempertahankan suamiku…” bisik Anggun lirih. “Susah payah aku membuatnya mencintaiku, dan tidak semudah itu aku mengembalikannya padamu… Maurin.”
“Mama-mama! Papa ndak pulang lagi, ya?” Tanya Marlon. Entah sejak kapan ia sudah ada di samping Anggun? menarik-narik ujung gaunnya, dengan mata sayunya yang terus menatap polos sang mama. Anggun menunduk, ia tersenyum pada Marlon sampai kemudian tersentak melihat sebuah robot gundam di tangannya. Anggun, tidak pernah merasa membelikan mainan itu. Jadi… darimana Marlon mendapatkannya?
“Marlon, itu punya siapa, Nak?” Tanya Anggun kemudian berjongkok di depan Marlon. Mengusap rambut si tengah penuh sayang dengan senyuman manis bertengger di bibir tipisnya. Mata abu sang anak menunduk sebentar kemudian kembali menatap mata coklat mama.
“Oh, ini dali Papi…” Marlon menjawab polos.
“Papi?” beo Anggun bingung.
“Iya, Papi ewal bilang mulai cekalang Malon panggilnya Papi caja.”
‘Brengsek!’ Anggun hanya bisa mengumpat dalam hati.
Edward… entah cara apa yang harus Anggun lakukan agar pria itu menjauh dari kehidupannya?
Sampai kapan cintanya akan diuji dan dia harus bertahan agar tetap hidup bersama Andrew?
***
“Hallo Mr. Andrew, apa kabar?” sapa Edward saat di sebuah restoran, tanpa sengaja mereka bertemu. Andrew yang sedang mengunyah steaknya di depan Maurin langsung tersedak mendengar suara yang begitu familiar di telinganya, ia menoleh dan menatap Edward yang sedang tersenyum miring, horror. Tidak menyangka malam ini mereka akan bertemu dengan Maurin sebagai pendamping dinner-nya.
“Sedang apa kau di sini?” desis Andrew sinis. Menggeram saat Edward justru memperlebar senyumannya. Pria itu hanya menggidikkan bahunya lalu menoleh pada Maurin, tersenyum tipis bentuk sapaan kepada wanita bergaun biru yang terlihat sangat anggun menyanggul rambutnya.
Anggun?
Hehehehehe…
“Siapa wanita cantik yang bersamamu?”
“Kau pikir itu urusanmu?”
“Sudah berniat cerai dengan Anggun, ya?” Edward menyahut tidak peduli. Ia hanya tersenyum samar saat lagi-lagi Andrew menggeram seakan hendak mengamuk. “Apa? Kau sudah mendapatkan gantinya, kan? Jangan serakah, brad!” ia meninju bahu Andrew sok akrab. Sekalipun dulunya mereka memang sahabat dekat.
“Apa maumu?”
“Berikan Anggun padaku.”
“Kau pikir Anggun itu barang?”
“Siapa itu Anggun?” Tanya Maurin menginterupsi acara ‘reuni’ dua sahabat lama itu. Ia menatap Andrew dan Edward bergantian. Kemudian matanya memicing tajam menatap bola mata abu Andrew meminta penjelasan. Membuat Andrew salah tingkah dengan keringat dingin yang mengucur dari pelipisnya.
“Istrinya.” Edward menjawab watados. Ia hanya nyengir saat Andrew melotot ke arahnya. “Tapi kau tenang saja, mereka tidak lama lagi bercerai kok.” Imbuhnya sok tahu.
“Aku tidak akan menceraikan Anggun.” Bantah Andrew tegas. Sama sekali tidak pikir dua kali saat mengucapkannya.
“Lalu bagaimana dengan aku, En?”
Kali ini Andrew kembali membatu. Pertanyaan Maurin tampaknya sanggup membuatnya bingung. Andrew juga tidak tahu sekarang ini hubungannya dengan Maurin hendak dilanjutkan ke tahap yang seperti apa? Ia masih sadar bahwa dirinya sudah beristri dan bahkan beranak tiga. Apa mungkin dia tega menelantarkan keluarganya demi mengejar cinta pertamanya?
“En? Kau tidak bilang sudah menikah.” Maurin berkata sedih. Ia meletakkan sendok sup yang sedang digenggamnya lalu menunduk. Andrew semakin merasa bersalah, ia merasa terjebak di dalam suatu keadaan yang menyesakkan. Membuatnya tidak tahu mana yang harus dipilih dan dipertahankan?
“Maurin…”
“Ceraikan dia, En!” pinta Maurin sungguh-sungguh. Membuat Andrew membulatkan mata menatap Maurin tidak percaya. Mulut Andrew membuka-tutup. Ia menghela napas panjang kemudian memejamkan matanya sambil menunduk. “Kau bilang selamanya hanya aku yang kau cintai bukan?” imbuhnya mendesak.
“…”
“En…”
“Beri aku waktu Maurin.” Andrew akhirnya member keputusan. Ia sama sekali tidak menganggap penting Edward yang menarik sudut bibir kanannya mengukir seringaian. “Aku sudah punya 3 anak. Aku sudah menghabiskan waktu tujuh tahun dengan istriku yang sekarang.”
“Hanya 7 tahunkan?” Maurin menyela. Ia tidak mau menyerah agar bisa kembali mendapatkan Andrew. “Kau, akan menghabiskan waktu seumur hidup bersamaku, En.” Maurin tersenyum manis. Ia mengulurkan tangannya menggenggam punggung tangan Andrew yang terkulai di atas meja. “Kumohon.”
Terjebak di dalam pilihan sulit…
Membuat semuanya semakin rumit…
***
“Aku tidak tahu kau akan pulang…” Andrew berujar. Saat ini ia sedang duduk dengan Maurin di kap mobilnya. Menatap pantai malam di ujung sana, menikmati hembusan angin kasar yang menerpa habis tubuh mereka.
Andrew hanya menatap pemandangan cantik di depan matanya layu, ia diam saja saat Maurin menggenggam erat sebelah tangannya dengan jas hitamnya yang melingkar di bahunya, melindungi tubuh ringkih wanita itu dari ganasnya hembusan angin pantai.
Suasana berlangsung hening, tidak ada lagi di antara mereka yang memutuskan membuka suara. Keduanya disibukkan dengan pemikiran masing-masing, memikirkan hal apa yang mesti mereka ambil sebagai tindakkan di masa depan?
Andrew sudah tidak sendiri lagi. Ia sudah memiliki tanggung jawab, ia sudah memiliki Anggun, wanita hebat yang selama ini selalu bertahan untuknya meski Andrew selalu menyakitinya. Ia punya tiga anak yang pintar yang pasti akan membencinya jika sang Papa meninggalkan mereka untuk wanita lain yang dulu amat dicintainya.
Dulu?
Heh?
Jangan bercanda Tuan muda. Bahkan sekarang dalam sekali lihat saja kau tidak bisa lagi melepas diri dari jerat cinta Maurin bukan?
“Kau akan meninggalkannya untukku, kan, En?” Tanya Maurin lirih. Ia benar-benar berharap Andrew memilihnya. Ingin mereka memulai kembali hubungan yang sempat tertunda. Maurin meremat jari-jari besar Andrew penuh harap. Andrew tidak menjawab, ia masih sangat kacau.
“En?”
“Aku tidak tahu, Maurin.” Andrew kembali membuka suara. Kemeja putih polosnya sedikit menjeplak ketat di tubuh seksinya. “Aku tidak tahu.”
“Kau masih mencintaiku, En!” Maurin berujar setengah berbisik. “Kau hanya merasa bersalah saja pada mereka jika kau meninggalkan istrimu.”
Andrew kembali bungkam. Ia sibuk dengan pemikirannya yang semakin kacau. Namun kata-kata Maurin barusan memang menjadi setitik cahaya untuk kekalutan pikirannya. Maurin benar, Andrew mungkin hanya sekedar merasa bersalah.
***
“Suamimu memeluk wanita itu, mereka romantis sekali.” Edward terkekeh. Di dalam mobil, ia sedang duduk di jok kemudi dengan Anggun yang duduk sambil mengepal tangan geram di sampingnya. Menatap suaminya yang sedang memeluk wanita cantik berkelas yang ia yakini adalah cinta pertama suaminya dulu.
Anggun menyayukan matanya. Ia sudah melakukan banyak cara agar rumah tangga mereka tidak hancur lebur begitu saja. Ia sudah melakukan apa pun untuk mempertahankan Andrew di sisinya. Tapi apa mau dikata? Tampaknya usahanya itu amat sia-sia.
Tadi, ia ditelpon Edward dan dimintanya untuk berpikir ulang mempertahankan rumah tangganya dengan Andrew, Edward mengajak Anggun untuk melihat perselingkuhan sang suami dengan kedua bola matanya sendiri. Anggun yang sedang berada di mall bersama anak-anaknya itu mengangguk setuju. Ia bersedia saat Edward menjemputnya dan kini mereka semua terdampar di tepi pantai.
Malam yang suram…
Itulah suasana malam ini yang amat sesuai dengan kondisi hati Anggun. Ia ingin menangis saat tahu Andrew sudah tidak lagi menginginkannya tapi tetap berusaha agar tidak terlihat rapuh di depan sosok biadab yang menjadi inti permasalahannya. Anggun hanya bisa menelan ludah pahit berkali-kali, ia memalingkan wajahnya kearah lain saat sadar hatinya sudah tidak sanggup lagi.
“Sudah malam, anak-anakku butuh tidur.” Anggun berujar serak. Ia tetap keukeuh dan percaya bahwa apa yang Andrew rasakan pada Maurin saat ini bukan lagi cinta. Itu hanya perasaan sementara karena tidak bisa menghapus memori masa lalu yang dulu begitu berarti untuk suaminya.
“Masih keras kepala, Anggun?”
“Anakku harus tidur.” Anggun menoleh dan mendelik tajam pada Edward. Edward hanya menghela napas dan mengangkat bahunya pasrah. Ia kemudian menoleh ke jok belakang hanya untuk menemukan anak-anak Anggun tidak ada lagi di mobilnya.
“Eh? Mereka ke mana?”
***
“Papa-Papa, kok Papa peluk tante lain cih, mama cedih loh.”
“Marlon bobo sana, udah malem.” Suruh Andrew tanpa melepaskan pelukannya pada Maurin. Ia masih merasa sangat nyaman.
“Tapi nanti Mama nangis Papa, nda boleh bikin Mama cedih, Papa nakal ih.”
“Marsya juga cepet tidur Sayang. Ini sudah malam. Jangan bilang pada Mama saja biar tidak sedih.” Andrew masih tidak sadar. “Besok Papa belikan eskrim.” Lanjutnya membujuk. Ia mengajak anak-anaknya bersekongkol agar tidak melaporkan perselingkuhannya pada sang Mama. Dasar suami kurang ajar!
“Pa! Aku patahkan tangan tuh Tante-tante genit boleh, ya?”
“Andre kau masih saja kasar pada or-” Andrew tidak melanjutkan kalimatnya. Ia mulai merasa di sini ada yang salah.
Kenapa… ia bisa berinteraksi dengan ketiga anaknya?
Pelan-pelan, Andrew melepaskan pelukannya pada Maurin. Maurin hanya diam tidak melakukan hal apa pun yang bisa memancing emosi ketiga anak itu terutama untuk anak yang dianggapnya pasti sulung. Menatapnya geram seolah sanggup membunuhnya dengan tatapan matanya.
“KALIAN KENAPA BISA ADA DI SINI?!!!” jerit Andrew shock saat menunduk ketiga anaknya sedang berpangku tangan dengan wajah penuh tuntutan akan jawaban yang memuaskan. Bertekad akan membuang sang Papa kalau sampai berani menyakiti Mama lebih dari ini.
“Papa celingkuh.” Marlon memicingkan matanya tajam sambil mendongak.
“Papa cakitin Mama, bikin Mama nangis ntal.” Marsya menggeleng pelan.
“Aku, akan memerintahkan Daren untuk membunuh Tante kurang ajar itu.” Andre lah yang berujar paling sinis di antara ketiga anak Andrew. Untuk kali ini, Andrew hanya bisa mengerjap beberapa kali.
Sejak awal ia tidak menyukai selera Anggun yang hobinya menonton drama di tv-tv. Bagaimana anak sekecil Marlon bisa mengenal kata ‘selingkuh’? dan bagaimana bocah berumur enam tahun, bisa berpikir untuk membinasakan orang lain?
“Sudah tidak bisa lagi, jelaskan semuanya pada kami, Andrew!” dan entah sejak kapan, sang Mama yang menjadi orang paling tersakiti karena kelakuan pongah sang Papa sudah berdiri di belakang anak-anaknya?
“A-aku, bisa jelasin semuanya…” seru Andrew gugup.
***

1 komentar:

Next Prev
▲Top▲