“Papa di mana?” Tanya Anggun. Ia sedikit cemas karena hari
ini Andrew pulang telat tidak memberi kabar. Hari hampir mencapai tengah malam,
tapi sang suami yang pulang dari jam delapan tadi belum juga sampai di rumah.
Alhasil, hal itu membuat Anggun panik tidak karuan. Karena itu sekarang ia
mondar-mandir di ruang tamu rumahnya sambil menempelkan ponsel ke telinga kirinya.
“A-aku mendadak ada meeting
dengan client.” Andrew menjawab
sedikit gugup. Suaranya begitu pelan seolah tidak ingin orang lain ada yang
mendengar percakapan mereka ditelpon. Seseorang yang sedang duduk manis di
samping kanan Andrew hanya melempar senyum bak malaikat penebar bahagia. “Kau
tidur duluan saja.”
“Aku sibuk Anggun. Sampai jumpa di rumah.”
Tut-tut-tut!
Anggun hanya mematung saat Andrew menutup telponnya secara
sepihak. Ia menyayukan matanya saat menatap ponsel yang kini berada dalam
genggaman tangannya. Ia merasakan firasat yang kurang baik, ia merasa ada yang
sedang disembunyikan oleh sang suami tercinta.
Tapi…
Apa?
Dan disaat aku sepenuhnya percaya
padamu…
Haruskah kau menyakitiku?
***
“Siapa, En?” Tanya Maurin sambil mengangkat sebelah alisnya.
Ia menatap Andrew curiga. Andrew sedikit gelagapan saat memasukan ponselnya ke
saku. Sebutir keringat mulai menuruni pelipisnya. Ia hanya menggidikkan bahunya
lalu kembali menyesap winenya. Saat ini, mereka memang sedang ada di sebuah bar
dengan tempat VIP yang mereka singgahi.
‘En’ memang panggilan sayang Maurin untuk Andrew, berbeda
dengan orang lain yang biasanya memanggilnya dengan kosakata nama belakangnya, Maurin
dan beberapa sahabat dekatnya yang selalu ingin dianggap berbeda pun memanggil Andrew
dengan sebutan yang berbeda.
“Bukan siapa-siapa.”
Andrew terkesiap karena jawabannya sendiri. Ia tidak
menyangka tidak berani mengakui sudah beristri dan beranak tiga di depan
seorang mantan yang belum resmi menjadi mantan. Andrew segera mengalihkan
perhatiannya, ia tidak mau rasa bersalah yang tersirat di sorot matanya bisa
ditangkap jelas oleh Maurin.
“Lebih dari delapan tahun tidak bertemu, kau sudah sangat
berubah, ya?” Maurin menyenderkan kepalanya di pundak bidang Andrew. Ia hanya
tersenyum misterius saat Andrew berusaha mengatur napasnya yang memburu. Lihat
saja, seberapa hebatnya keberadaan seorang Maurin hingga sanggup membuat Andrew
mabuk kepayang,
“Napasku sesak.”
“Perlu napas buatan?” Maurin tersenyum jahil.
***
“Ah-ah-ah, bagaimana? Kau suka kejutan dariku, Sayang?” sapa
Edward begitu Anggun mengangkat telponnya. Bibirnya mengukir seulas senyum
tanpa arti. Menyadari Anggun hanya diam, Edward bersiul genit di ujung sana.
Sepertinya Anggun mulai tahu apa yang dia maksudkan. Dan kali ini, Anggun tidak
perlu ragu lagi untuk menilai keseriusan Edward yang ingin memporak porandakan
rumah tangganya.
“Apa maumu?” Tanya Anggun datar. Ia mulai muak pada pria
aneh yang kini begitu terobsesi padanya. Ke mana saja Edward saat dulu Anggun
membutuhkannya? Kenapa ia kembali hadir disaat Anggun dan Andrew menjalin rumah
tangga yang harmonis?
“Honey…” bisik Edward
lirih, “Suamimu selingkuh dengan mantan kekasihnya dulu.”
“…”
“Tidak kah kau berniat untuk bercerai?”
“Kau yang memonopoli semuanya.” Anggun mendesis marah. “Kau
yang sengaja mengundang Maurin untuk membuat Andrew berpaling dariku.”
“Dia sudah tidak menginginkanmu lagi.” Edward bersikeras
ingin membujuk Anggun agar menggugat cerai suaminya. “Tinggalkan bajingan itu,
aku lebih pantas untukmu.”
“Meninggalkan seorang bajingan untuk seorang bajingan, heh?”
“Ayolah Anggun…” Edward berbicara mulai melunak. “Setidaknya
bagiku kau cinta pertam-”
Tut-tut-tut!
Anggun menutup telponnya sebelum Edward selesai bicara. Ia
menggigit bibir bawahnya cemas lalu memijat kedua pelipisnya yang berdenyut.
Yah, ia sudah tahu kalau Andrew belakangan ini bersikap
lebih dingin dan menjauh karena kehadiran Maurin. Anggun juga sudah tahu bahwa Maurin
kembali datang merupakan salah satu bentuk kekuasaan Edward untuk menghancurkan
rumah tangga yang sudah ia dan Andrew bangun susah payah.
Tapi…
Ini juga menjadi salah satu hal yang bisa menguji kesabaran Anggun
dan kesetiaan suaminya. Ia yakin Andrew dan Maurin belum sempat melakukan
hubungan yang lebih jauh dari sekedar berpelukan atau bertemu diam-diam di
belakangnya.
“Aku akan mempertahankan suamiku…” bisik Anggun lirih. “Susah
payah aku membuatnya mencintaiku, dan tidak semudah itu aku mengembalikannya
padamu… Maurin.”
“Mama-mama! Papa ndak pulang lagi, ya?” Tanya Marlon. Entah
sejak kapan ia sudah ada di samping Anggun? menarik-narik ujung gaunnya, dengan
mata sayunya yang terus menatap polos sang mama. Anggun menunduk, ia tersenyum
pada Marlon sampai kemudian tersentak melihat sebuah robot gundam di tangannya.
Anggun, tidak pernah merasa membelikan mainan itu. Jadi… darimana Marlon
mendapatkannya?
“Marlon, itu punya siapa, Nak?” Tanya Anggun kemudian
berjongkok di depan Marlon. Mengusap rambut si tengah penuh sayang dengan
senyuman manis bertengger di bibir tipisnya. Mata abu sang anak menunduk
sebentar kemudian kembali menatap mata coklat mama.
“Oh, ini dali Papi…” Marlon menjawab polos.
“Papi?” beo Anggun bingung.
“Iya, Papi ewal bilang mulai cekalang Malon panggilnya Papi caja.”
‘Brengsek!’ Anggun hanya bisa mengumpat dalam
hati.
Edward… entah cara apa yang harus Anggun lakukan agar pria
itu menjauh dari kehidupannya?
Sampai kapan cintanya akan diuji dan dia harus bertahan agar
tetap hidup bersama Andrew?
***
“Hallo Mr. Andrew, apa kabar?” sapa Edward saat di sebuah
restoran, tanpa sengaja mereka bertemu. Andrew yang sedang mengunyah steaknya
di depan Maurin langsung tersedak mendengar suara yang begitu familiar di
telinganya, ia menoleh dan menatap Edward yang sedang tersenyum miring, horror.
Tidak menyangka malam ini mereka akan bertemu dengan Maurin sebagai pendamping dinner-nya.
“Sedang apa kau di sini?” desis Andrew sinis. Menggeram saat
Edward justru memperlebar senyumannya. Pria itu hanya menggidikkan bahunya lalu
menoleh pada Maurin, tersenyum tipis bentuk sapaan kepada wanita bergaun biru
yang terlihat sangat anggun menyanggul rambutnya.
Anggun?
Hehehehehe…
“Siapa wanita cantik yang bersamamu?”
“Kau pikir itu urusanmu?”
“Sudah berniat cerai dengan Anggun, ya?” Edward menyahut
tidak peduli. Ia hanya tersenyum samar saat lagi-lagi Andrew menggeram seakan
hendak mengamuk. “Apa? Kau sudah mendapatkan gantinya, kan? Jangan serakah, brad!” ia meninju bahu Andrew sok akrab.
Sekalipun dulunya mereka memang sahabat dekat.
“Apa maumu?”
“Berikan Anggun padaku.”
“Kau pikir Anggun itu barang?”
“Siapa itu Anggun?” Tanya Maurin menginterupsi acara ‘reuni’
dua sahabat lama itu. Ia menatap Andrew dan Edward bergantian. Kemudian matanya
memicing tajam menatap bola mata abu Andrew meminta penjelasan. Membuat Andrew
salah tingkah dengan keringat dingin yang mengucur dari pelipisnya.
“Istrinya.” Edward menjawab watados. Ia hanya nyengir saat Andrew
melotot ke arahnya. “Tapi kau tenang saja, mereka tidak lama lagi bercerai kok.”
Imbuhnya sok tahu.
“Aku tidak akan menceraikan Anggun.” Bantah Andrew tegas.
Sama sekali tidak pikir dua kali saat mengucapkannya.
“Lalu bagaimana dengan aku, En?”
Kali ini Andrew kembali membatu. Pertanyaan Maurin tampaknya
sanggup membuatnya bingung. Andrew juga tidak tahu sekarang ini hubungannya
dengan Maurin hendak dilanjutkan ke tahap yang seperti apa? Ia masih sadar
bahwa dirinya sudah beristri dan bahkan beranak tiga. Apa mungkin dia tega
menelantarkan keluarganya demi mengejar cinta pertamanya?
“En? Kau tidak bilang sudah menikah.” Maurin berkata sedih.
Ia meletakkan sendok sup yang sedang digenggamnya lalu menunduk. Andrew semakin
merasa bersalah, ia merasa terjebak di dalam suatu keadaan yang menyesakkan.
Membuatnya tidak tahu mana yang harus dipilih dan dipertahankan?
“Maurin…”
“Ceraikan dia, En!” pinta Maurin sungguh-sungguh. Membuat Andrew
membulatkan mata menatap Maurin tidak percaya. Mulut Andrew membuka-tutup. Ia
menghela napas panjang kemudian memejamkan matanya sambil menunduk. “Kau bilang
selamanya hanya aku yang kau cintai bukan?” imbuhnya mendesak.
“…”
“En…”
“Beri aku waktu Maurin.” Andrew akhirnya member keputusan.
Ia sama sekali tidak menganggap penting Edward yang menarik sudut bibir
kanannya mengukir seringaian. “Aku sudah punya 3 anak. Aku sudah menghabiskan
waktu tujuh tahun dengan istriku yang sekarang.”
“Hanya 7 tahunkan?” Maurin menyela. Ia tidak mau menyerah
agar bisa kembali mendapatkan Andrew. “Kau, akan menghabiskan waktu seumur
hidup bersamaku, En.” Maurin tersenyum manis. Ia mengulurkan tangannya
menggenggam punggung tangan Andrew yang terkulai di atas meja. “Kumohon.”
Terjebak di dalam pilihan sulit…
Membuat semuanya semakin rumit…
***
“Aku tidak tahu kau akan pulang…” Andrew berujar. Saat ini
ia sedang duduk dengan Maurin di kap mobilnya. Menatap pantai malam di ujung
sana, menikmati hembusan angin kasar yang menerpa habis tubuh mereka.
Andrew hanya menatap pemandangan cantik di depan matanya
layu, ia diam saja saat Maurin menggenggam erat sebelah tangannya dengan jas
hitamnya yang melingkar di bahunya, melindungi tubuh ringkih wanita itu dari
ganasnya hembusan angin pantai.
Suasana berlangsung hening, tidak ada lagi di antara mereka
yang memutuskan membuka suara. Keduanya disibukkan dengan pemikiran
masing-masing, memikirkan hal apa yang mesti mereka ambil sebagai tindakkan di
masa depan?
Andrew sudah tidak sendiri lagi. Ia sudah memiliki tanggung
jawab, ia sudah memiliki Anggun, wanita hebat yang selama ini selalu bertahan
untuknya meski Andrew selalu menyakitinya. Ia punya tiga anak yang pintar yang
pasti akan membencinya jika sang Papa meninggalkan mereka untuk wanita lain
yang dulu amat dicintainya.
Dulu?
Heh?
Jangan bercanda Tuan muda. Bahkan sekarang dalam sekali
lihat saja kau tidak bisa lagi melepas diri dari jerat cinta Maurin bukan?
“Kau akan meninggalkannya untukku, kan, En?” Tanya Maurin
lirih. Ia benar-benar berharap Andrew memilihnya. Ingin mereka memulai kembali
hubungan yang sempat tertunda. Maurin meremat jari-jari besar Andrew penuh
harap. Andrew tidak menjawab, ia masih sangat kacau.
“En?”
“Aku tidak tahu, Maurin.” Andrew kembali membuka suara.
Kemeja putih polosnya sedikit menjeplak ketat di tubuh seksinya. “Aku tidak
tahu.”
“Kau masih mencintaiku, En!” Maurin berujar setengah
berbisik. “Kau hanya merasa bersalah saja pada mereka jika kau meninggalkan
istrimu.”
Andrew kembali bungkam. Ia sibuk dengan pemikirannya yang
semakin kacau. Namun kata-kata Maurin barusan memang menjadi setitik cahaya untuk
kekalutan pikirannya. Maurin benar, Andrew mungkin hanya sekedar merasa
bersalah.
***
“Suamimu memeluk wanita itu, mereka romantis sekali.” Edward
terkekeh. Di dalam mobil, ia sedang duduk di jok kemudi dengan Anggun yang
duduk sambil mengepal tangan geram di sampingnya. Menatap suaminya yang sedang
memeluk wanita cantik berkelas yang ia yakini adalah cinta pertama suaminya
dulu.
Anggun menyayukan matanya. Ia sudah melakukan banyak cara
agar rumah tangga mereka tidak hancur lebur begitu saja. Ia sudah melakukan apa
pun untuk mempertahankan Andrew di sisinya. Tapi apa mau dikata? Tampaknya
usahanya itu amat sia-sia.
Tadi, ia ditelpon Edward dan dimintanya untuk berpikir ulang
mempertahankan rumah tangganya dengan Andrew, Edward mengajak Anggun untuk
melihat perselingkuhan sang suami dengan kedua bola matanya sendiri. Anggun
yang sedang berada di mall bersama anak-anaknya itu mengangguk setuju. Ia
bersedia saat Edward menjemputnya dan kini mereka semua terdampar di tepi
pantai.
Malam yang suram…
Itulah suasana malam ini yang amat sesuai dengan kondisi
hati Anggun. Ia ingin menangis saat tahu Andrew sudah tidak lagi
menginginkannya tapi tetap berusaha agar tidak terlihat rapuh di depan sosok
biadab yang menjadi inti permasalahannya. Anggun hanya bisa menelan ludah pahit
berkali-kali, ia memalingkan wajahnya kearah lain saat sadar hatinya sudah
tidak sanggup lagi.
“Sudah malam, anak-anakku butuh tidur.” Anggun berujar
serak. Ia tetap keukeuh dan percaya bahwa apa yang Andrew rasakan pada Maurin
saat ini bukan lagi cinta. Itu hanya perasaan sementara karena tidak bisa
menghapus memori masa lalu yang dulu begitu berarti untuk suaminya.
“Masih keras kepala, Anggun?”
“Anakku harus tidur.” Anggun menoleh dan mendelik tajam pada
Edward. Edward hanya menghela napas dan mengangkat bahunya pasrah. Ia kemudian
menoleh ke jok belakang hanya untuk menemukan anak-anak Anggun tidak ada lagi
di mobilnya.
“Eh? Mereka ke mana?”
***
“Papa-Papa, kok Papa peluk tante lain cih, mama cedih loh.”
“Marlon bobo sana, udah malem.” Suruh Andrew tanpa
melepaskan pelukannya pada Maurin. Ia masih merasa sangat nyaman.
“Tapi nanti Mama nangis Papa, nda boleh bikin Mama cedih,
Papa nakal ih.”
“Marsya juga cepet tidur Sayang. Ini sudah malam. Jangan
bilang pada Mama saja biar tidak sedih.” Andrew masih tidak sadar. “Besok Papa
belikan eskrim.” Lanjutnya membujuk. Ia mengajak anak-anaknya bersekongkol agar
tidak melaporkan perselingkuhannya pada sang Mama. Dasar suami kurang ajar!
“Pa! Aku patahkan tangan tuh Tante-tante genit boleh, ya?”
“Andre kau masih saja kasar pada or-” Andrew tidak
melanjutkan kalimatnya. Ia mulai merasa di sini ada yang salah.
Kenapa… ia bisa berinteraksi dengan ketiga anaknya?
Pelan-pelan, Andrew melepaskan pelukannya pada Maurin. Maurin
hanya diam tidak melakukan hal apa pun yang bisa memancing emosi ketiga anak
itu terutama untuk anak yang dianggapnya pasti sulung. Menatapnya geram seolah
sanggup membunuhnya dengan tatapan matanya.
“KALIAN KENAPA BISA ADA DI SINI?!!!” jerit Andrew shock saat menunduk ketiga anaknya
sedang berpangku tangan dengan wajah penuh tuntutan akan jawaban yang
memuaskan. Bertekad akan membuang sang Papa kalau sampai berani menyakiti Mama
lebih dari ini.
“Papa celingkuh.” Marlon memicingkan matanya tajam sambil
mendongak.
“Papa cakitin Mama, bikin Mama nangis ntal.” Marsya
menggeleng pelan.
“Aku, akan memerintahkan Daren untuk membunuh Tante kurang
ajar itu.” Andre lah yang berujar paling sinis di antara ketiga anak Andrew.
Untuk kali ini, Andrew hanya bisa mengerjap beberapa kali.
Sejak awal ia tidak menyukai selera Anggun yang hobinya
menonton drama di tv-tv. Bagaimana anak sekecil Marlon bisa mengenal kata
‘selingkuh’? dan bagaimana bocah berumur enam tahun, bisa berpikir untuk
membinasakan orang lain?
“Sudah tidak bisa lagi, jelaskan semuanya pada kami, Andrew!”
dan entah sejak kapan, sang Mama yang menjadi orang paling tersakiti karena
kelakuan pongah sang Papa sudah berdiri di belakang anak-anaknya?
“A-aku, bisa jelasin semuanya…” seru Andrew gugup.
***
Sedih banget😭😭
BalasHapus