Anggun dan Marlon mengunjungi sebuah mall, Andre tidak
diajak karena sedang menjaga Marsya yang sedang sakit. Anak sulungnya itu
memang sangat bisa diandalkan jika berhubungan dengan si bungsu, tapi amat Anggun
ragukan jika sudah berduaan bersama Marlon.
Anggun mengajak Marlon ke toko mainan, ia ingin membelikan
mainan untuk anak-anaknya. Tersenyum melihat gelagat Marlon yang begitu manis
dan penurut. Marlon memang sedikit berbeda dengan Andre saat masih balita, Andre
dulu tidak pernah mau diam dan keras kepala.
“Marlon mau apa? Pilih saja sayang...” ucap Anggun tanpa
menoleh, setelah beberapa saat sempat terdiam. ia terus memperhatikan boneka
panda yang hendak dibelinya. Marsya tadi minta dibelikan panda raksasa. Marsya
ingin boneka besar yang juga bisa ditidurinya.
Alis Anggun berkedut, ia sedikit heran karena Marlon jauh
lebih tenang dari biasanya. Merasa Marlon tidak akan menyahut, Anggun menunduk,
matanya membola saat sadar Marlon tidak ada di sampingnya, Marlon tidak lagi
dituntunnya. Anggun mengedarkan pandangannya panik, kedua bola matanya berusaha
mencari sosok pangeran kecil yang begitu disayanginya.
“Anakku...”
gumam Anggun semakin panik. “MARLON!!!”
***
“HUAAAA!!!” Marlon terus menangis sambil mencari ibunya, ia
mengedarkan pandangannya berharap Anggun pun kini sedang mencarinya. Marlon
selalu mengamuk setiap ada orang yang menghampirinya dan ingin membantunya. Ia
mengingat pesan ayahnya dengan baik, tidak boleh bicara dengan orang yang tak
dikenal.
“Mama... Mama...” panggilnya serak. Ia mencari sosok pria
berbaju satpam, hal itu yang sering diajarkan Andrew pula kalau-kalau ia
tersesat di mall, pria berbaju satpam yang akan membantunya mencari ibunya.
Tapi ia tidak menemukan orang yang Andrew maksud. Rupanya satpam di dalam mall
ini justru mengunakan setelan hitam-hitam. Membuat Marlon tidak mengenalinya
dan sejak tadi terus menyerang membabi-buta setiap orang itu menghampirinya.
“Mama! Malon takut culik…” Marlon menangis histeris.
beberapa orang yang melihatnya justru terkikik dan memotretnya. Suatu hal yang
langka menemukan bocah pintar kebingungan karena tersesat di dalam mall.
Apalagi penampilan Marlon yang berkelas cukup menarik perhatian banyak orang.
“Hei! Kau kenapa?” tanya seorang pria berjas hitam yang
sejak tadi memperhatikan Marlon dari kejauhan. Pria itu menghampiri Marlon
penasaran. Wajah familiar Marlon rupanya membuat ia tertarik untuk lebih
mengenalnya, tapi anak yang didekatinya justru bersiap-siap untuk memukul,
mengacungkan kedua tinju mungilnya tinggi-tinggi.
“Ndak dekat-dekat! NDAK DEKAT-DEKAT!” teriak Marlon sambil
terus menangis.
Mendengar itu, entah kenapa pria itu justru semakin tertarik
pada Marlon? ia jongkok di depan Marlon lalu mencengkram pelan kedua tangan
mungil bocah itu yang tadi berusaha memukulinya.
“Om hanya ingin membantumu saja, tidak ada niat menculik.”
pria itu tersenyum meyakinkan. “Kau kenapa?”
Sedikit memicingkan mata sayunya yang berair tidak percaya, Marlon
menatap orang dewasa di depannya curiga. Ia menatapnya dari atas sampai bawah
dengan tubuh sesenggukkan. Merasa yakin orang di depannya itu bukan penjahat, Marlon
berkata, “Mama Malon ilang, Om!” adu Marlon.
Pria itu membolakan matanya lalu tertawa. anak ini ternyata
memang benar-benar menarik. Si pria mengelus puncak kepala Marlon dengan
senyuman menenangkan yang tersirat di wajah tampannya.
“Yang hilang itu kau. namamu Marlon?” tanyanya kemudian. Marlon
mengangguk cepat. “Kenalkan, nama Om, Edward.” Edward memperkenalkan dirinya.
***
Anggun datang ke sebuah restoran, beruntung ia selalu
mengajarkan anak-anaknya menghafal nomor telpon orangtuanya agar jika keadaan
mendesak seperti saat ini, anak-anaknya bisa menghubunginya lewat telpon.
Sepertinya Anggun mulai besok akan memberikan satu ponsel tanpa kamera pada
setiap malaikat-malaikat kecilnya.
Kenapa harus ponsel tanpa kamera?
Itu karena Anggun tidak mau di ponsel anak-anaknya terdapat
foto atau video tidak senonoh. Ia cemas pada perangai anak-anaknya di masa
depan apalagi mengingat kebrengsekan sang suami tercinta yang kemungikan besar
menurun pada buah hatinya terlebih pada Andre. Andrew brengsek, dan Anggun
tidak perlu berpikir dua kali untuk mengakuinya. –Dasar istri durhaka-!
Anggun menyeka air matanya saat melihat Marlon sedang duduk
sambil memakan eskrim. Pria yang duduk di depan Marlon dan kini membelakanginya
itu pasti orang yang sudah menolong Marlon. Anggun menyeka air matanya lalu
menghampiri putranya dengan tubuh gemetaran. Tidak bisa ia ungkapkan betapa
bersyukurnya dia karena mendapati Marlon masih utuh dan baik-baik saja.
“Marlon, Mama mencarimu!” Anggun kembali menangis, ia sangat
bersyukur karena Tuhan masih mempertemukan mereka kembali. Ia berdiri di depan Marlon
tepat di samping kanan pria penolongnya.
“MAMA!” Marlon mengulurkan kedua tangannya minta dipangku. Anggun
memangkunya lalu menciumi wajah Marlon. Dipeluknya putra tengahnya itu
erat-erat. Seolah takut kehilangan Marlon untuk kedua kalinya, Anggun
bertingkah begitu posesif.
“Mama benar-benar takut,” bisik Anggun setelah mulai bisa
tenang. “Terima kasih karena anda-” Anggun tak melanjutkan kalimatnya. Matanya
melebar saat menoleh mendapati orang yang telah menolong putranya ternyata Edward.
Salah satu sosok yang seumur hidup tidak mau lagi ditemuinya.
Edward tersenyum lalu berdiri. Ia menatap Anggun kagum lalu
menggeleng tak percaya, sulit ia pungkiri bahwa hatinya begitu bahagia karena
setelah sekian lama, ia bisa bertemu kembali dengan sosok wanita yang beberapa
tahun lalu menaut hatinya.
“Saat Marlon bilang ibunya Anggun Kasesya Adrian, ayahnya Andrew
Kevin Putra Adrian, sebenarnya aku sudah yakin itu kau.” Tembak Edward to the point. Membuat Anggun kebingungan
sendiri hendak menjawab apa? Akhirnya Anggun lebih memilih bungkam, ia tidak
mau salah bicara. “Apa Marlon anak kita?” Edward tersenyum bak malaikat. Tapi
tampak sekali dalam nadanya ia ingin mengingatkan Anggun bahwa ia juga pernah
menjadi bagian di masa lalunya.
“Jaga bicara anda, usia Marlon bahkan belum tiga tahun.
Terakhir kita bertemu itu tujuh tahun yang lalu!” Anggun berkata kasar. Ia
hendak pergi, ia tidak ingin berlama-lama bersama Edward. Tapi sebelum
melangkah Edward menarik lengan Anggun dan memaksa balas menatapnya. Anggun
menatap Edward bengis, ia sama sekali tidak suka dengan perlakuan Edward
terhadapnya.
“Marlon punya kakak, namanya Andre. Apa benar dia anak Andrew?”
tanya Edward serius. Anggun menghempaskan tangan Edward lalu mendorongnya
kasar.
“Andre itu darah daging Andrew. JADI JANGAN SOK TAHU!!!”
“Merasa sudah menjadi nyonya besar, sekarang kau sombong!” Edward
tersenyum meremehkan. Ia mengedipkan matanya pada Marlon yang sejak tadi
menatapnya bingung. Tidak mengerti atas pertengkaran ibunya dengan om-om yang
menurut Marlon justru lebih keren dari sang papa di rumah.
“Terserah! Terima kasih sudah menolong putra saya. Eskrim
dan kopi anda biar saya yang bayar.” Anggun mengeluarkan uang seratus ribuan
dari tasnya lalu meletakannya di atas meja. Cepat-cepat ia pergi, tidak mau
berurusan dengan Edward lagi.
“Ditraktir kopi...” Edward terkekeh geli. Ia yang tadi
sempat berdiri kembali duduk lalu menyesap kopi hitamnya dengan gaya angkuh
khas bangsawannya. “Sebagai ucapan terima kasih kau akan ku jadikan ratu di
istanaku, Anggun…” dan satu seringaian di bibir Edward menandakan permainan
tidak lama lagi akan dikendalikannya.
Ahh… sudah mau dimulai, ya?
***
Andrew meremas dokumen di tangannya kesal. Rupanya Edward
tidak main-main dengan ancamannya jika Andrew tidak bersedia menceraikan Anggun
beberapa minggu lalu. AKP Corporation di ambang bangkrut, hal itu disebabkan
karena Edward dan orang-orangnya mencabut investasi mereka dalam waktu yang
bersamaan. Membuat Andrew kelabakkan karena harus membayar saham yang mereka
tarik dengan jumlah uang yang tidak sedikit.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Andrew pada dirinya
sendiri. “AKP Corporation, karyawannya lebih dari lima ribu orang.” Andrew
merenungkan nasibnya sendiri. Ia bisa saja mengambil dana dari hotel dan
beberapa restoran yang dikelolanya, tapi hal itu hanya akan memperburuk
keadaan. Penghasilannya tidak akan sesuai dengan kebutuhan utang-piutang,
pesangon, dan kerugian yang harus ia tanggung.
Setelah berpikir cukup keras, ia yakin tidak ada solusi yang
bisa diambilnya. Sekali pun ia menjual semua harta yang dimilikinya, tidak akan
bisa menutupi semua biaya yang dibutuhkannya. Andrew menjedotkan kepalanya ke
meja pelan, ia menggeram dan menggertakkan giginya kesal.
“Aku... bangkrut!” desah Andrew pasrah.
***
Anggun menyeka air matanya, ia memasukan semua pakaiannya ke
dalam koper. Dengan berat hati kali ini ia juga harus melakukannya. Andrew
frustasi, dan itu karena keberadaannya. Karena Andrew bersikeras ingin
mempertahankan rumah tangga mereka.
Selalu saja Edward menjadi masalah terbesar yang harus
dihadapinya, entah di masa lalu atau sekarang, kehadiran Edward selalu sanggup
membuat hubungannya dengan Andrew terpisah.
Anggun berusaha menguatkan dirinya, ia menyeret kopernya
hendak keluar kamar, saat akan membuka pintu, justru ada orang yang membukanya
lebih dulu. Mereka sama-sama tersentak, terlebih sosok berantakkan di depan Anggun
yang berwajah amat lelah.
“Anggun, kau bawa koper, mau ke mana?” Andrew berusaha
tersenyum sekalipun raut wajahnya tampak putus asa. Ia tahu apa yang akan
dilakukan Anggun, tapi ia pura-pura tidak mengerti. Ia tidak mau Anggun pergi,
ia tidak mau kehilangan wanita yang sangat dicintainya lagi.
“Mungkin jika aku pergi perusahaan-”
“Masuklah! Sudah malam, kita tidur.” Andrew memotong. Ia
tidak mau Anggun menyelesaikan kalimatnya. Kehilangan Anggun sama artinya
membiarkan hatinya mati. Dan Andrew, tidak mau kembali menjadi sosok bajingan
tak berhati.
Anggun menggeleng, air matanya mengalir semakin deras. Ia
berusaha tersenyum dan meyakinkan Adrew bahwa kepergiannya akan menjadi hal
terbaik untuk semuanya, bibirnya yang berusaha mengukir senyum justru terlihat
getir.
“Aku harus pergi.”
“ANGGUN!” bentak Andrew, matanya merah menyala menahan
kemarahannya. Ia benar-benar tidak suka dengan sikap Anggun. Cukup sekali ia
menyesal karena pernah menjual Anggun pada mantan sahabatnya, kali ini ia tidak
akan mengulang kesalahan yang sama. Ia tidak peduli sekalipun Edward akan
menghancurkan kehidupannya.
“Aku hanya tidak mau kau bangkrut gara-gara aku!” Anggun
menjerit sebelum kemudian memeluk Andrew. Andrew memejamkan matanya rapat,
wajahnya panas, tangan kanannya merayap memeluk punggung istrinya hati-hati.
Tidak seharusnya ia membentak Anggun, istrinya yang polos
itu hanya selalu melakukan sikap yang dianggapnya terbaik untuk semuanya. Anggun
hanya ingin melindunginya. Dia terlalu naïf, untuk membiarkan orang lain
menderita karena keegoisannya.
“Tenanglah, tidak semudah itu. Aku akan berusaha, dan jangan
pernah berpikir untuk meninggalkan aku lagi. Aku tidak bisa tanpamu, Anggun,”
bisik Andrew lembut. Membuat Anggun mengangguk cepat tanpa rasa ragu.
Ia harus percaya pada Andrew… Yah! Apa pun yang terjadi
nanti, ia harus percaya bahwa suaminya dengan mudah akan mengatasinya.
***
Marlon dan Marsya mengendap-endap masuk ke kamar Andre,
mereka membawa celengan ayam masing-masing dibantu kedua baby sitter mereka. Andre
duduk di karpet kamarnya, di depannya sudah ada enam celengan ayam yang sejak
kecil dikumpulkannya. Andre memang sangat gemar menabung, dan setiap hari, ia
pasti akan meminta uang minimal berwarna biru pada sang ayah agar ayamnya bisa
makan dan gemuk.
Setelah kedua baby sitter adik-adiknya keluar dari kamarnya,
Andre memerintahkan Marlon dan Marsya duduk di depannya, kini ia sudah seperti
seorang presiden dengan kedua ajudannya. Marsya dan Marlon yang terlalu polos
hanya menuruti saja apa pun yang dikatakan Andre, terlebih tadi sang kakak
sulung itu sudah mengumumkan bahwa keadaan mereka saat ini sedang urgent.
“Ayam Kakak banyak, genut-genut, Malon cuma ada dua,” ucap Marlon
sambil mengelus-elus dua celengan ayam kesayangannya. Marsya mengangguk setuju.
Andre bilang hari ini celengan mereka harus disembelih, agar mereka tidak jatuh
miskin, agar perusahaan ayah mereka tidak bangkrut, dan yang paling penting
agar Anggun tidak meninggalkan mereka, tanpa sengaja kemarin malam Andre
mendengar pembicaraan kedua orangtuanya.
Marsya duduk di samping Marlon, berhadapan dengan Andre.
Gadis berambut ikal panjang itu ikut bibirnya membulat saat melihat celengan Andre
yang besar dan dalam jumlah banyak.
“Maca juga ada dua Kakak, ndak genut,” adu Marsya sedih. Ia
kecewa karena tidak bisa membantu banyak. Ia takut mamanya pergi, tapi ia
memang sudah tidak punya apa-apa lagi. Andai saja Marsya sudah dewasa, mungkin
ia akan melirik gelang dan kalungnya yang harganya mencapai puluhan juta yang
kini dikenakannya. Tentunya Andrew selalu memberikan kualitas terbaik untuk
anak-anaknya.
“Tidak apa-apa, kita pecahkan ayamnya sekarang, ya...” ucap Andre.
Kedua adiknya mengangguk setuju. Andre tersenyum getir, ia yang cukup jenius
ternyata mampu menangkap sinyal kegalauan hati orangtuanya dengan baik. Usianya
memang baru enam tahun, tapi ia sadar betul kalau orangtuanya kini sedang
mengalami masa-masa sulit.
“Tuan Muda!” Daren mengetuk pintu, ia membukanya lalu masuk.
Segurat senyuman terukir di bibirnya melihat sepuluh celengan ayam sedang
dikumpulkan di kelilingi tiga anak lucu yang sejak masih kecil selalu dijaganya
itu.
“Sini, Daren!” pinta Andre. Daren menurut. Ia menghampiri
Andre lalu duduk di antara Andre dan Marlon dan menatap ketiga orang itu
bergantian.
“Apa yang bisa saya bantu untuk Tuan dan Nona Muda?” tanya Daren
sopan. Andre menjelaskan apa yang harus dilakukan Daren untuk mereka. Daren
tersenyum tipis saat tahu Andre ingin Daren memecahkan celengan mereka semua
agar uang itu bisa diberikan pada sang ayah.
“Saya rasa ayam kalian tidak perlu disembelih. Karena Tuan
Besar tidak sampai semiskin itu.” Daren terkekeh. Ia tahu ketiga anak itu
selalu menjaga celengan mereka susah payah, celengan itu diisi uang sejak
mereka bahkan baru bisa merangkak dan tidak bisa bicara. Daren tidak tega
melakukannya.
Andre menatap Daren memelas, Marlon dan Marsya memeluk Daren
dari kedua sisinya, merajuk pada Daren dengan mata kucing yang terlihat amat
manis. Akhirnya Daren menyerah, Daren mengerti apa pun yang dikatakanya tidak
akan berguna.
Keputusan mereka sudah, bulat, celengan mereka harus
dipecahkan. Sekali pun Daren terus membujuk agar anak-anak manis itu mengurungkan
rencana mereka.
***
Andre, Marlon, dan Marsya menyeret sebuah kantong plastik
hitam besar bersamaan, mereka berjalan menuju ruang tamu beriringan. Daren
mengikuti mereka sambil terus tersenyum, ia benar-benar heran dengan tingkah
ketiga anak majikannya. Mereka anak orang kaya, tapi memedulikan satu sama
lain, mereka sering bertingkah angkuh, tapi langsung rendah hati saat
menghadapi situasi sulit.
Di ruang tamu, Andrew dan Anggun sedang mengobrol dengan orangtua
Andrew. Ayahnya Andrew menawarkan kerjasama dengan perusahaannya agar Andrew
tidak jadi mengalami pailit. Sehebat apa pun Andrew, tapi dalam dunia bisnis ia
memang masih dikatakan baru. berbeda dengan Adrian yang sudah memakan
asam-garam kehidupan. Perusahaannya yang sudah berdiri puluhan tahun itu tetap
berdiri kokoh karena sebagian besar sahamnya, atau bisa dikatakan delapan puluh
lima persen adalah miliknya sendiri.
Perusahaan Adrian jauh lebih besar dari perusahaan yang
dimiliki Andrew, bahkan bisa dikatakan Edward pun masih belum bisa
menyainginya. Adrian Corporation memang bukan hanya ada di Indonesia, hampir di
setiap Negara, ia memiliki cKakak-cKakak tambang emasnya. Terutama di Amerika,
jantung dari Adrian Corporation bisa berdiri kokoh.
Walau sekarang Andrew sudah berumah tangga, Adrian tetap
tidak tega kalau usaha yang hampir sepuluh tahun di bangun Andrew hancur tak
berbekas. Andrew masih anaknya, darah Adrian pun mengalir di tubuhnya.
Namun berbeda dengan Andrew, kebenciannya pada ayahnya tetap
membara di hatinya, ia sama sekali tidak bisa melupakan kekejian yang dulu
pernah dilakukan terhadapnya. Jangankan menerima tawaran Adrian, sejak
kedatangannya saja Andrew enggan melihat wajah sang ayah.
Ayahnya bukan hanya sudah membunuh Maurin, cinta pertamanya,
tetapi juga sempat menentang keras hubungannya dengan Anggun.
“Bagaimana, Andrew?” tanya ayahnya. Andrew tak menjawab,
tangannya mengepal geram dengan raut wajah yang mengeras. Melihat ekspresi itu
ibunya semakin khawatir, ia melirik Anggun memintanya agar mau membujuk Andrew.
Ego Andrew kali ini tidak akan membantu, Andrew harus sedikit merelakan harga
dirinya turun untuk kebaikan mereka semua.
Lagipula… saat ini sang ayah sudah menyesali perbuatannya
dan menerima Anggun dengan tangan terbuka. Adrian bahkan sangat menyayangi
cucu-cucu manisnya.
Walau ia mau tidak mau mengakui, Andrew tumbuh menjadi anak
yang keras karena kesalahannya. Adrian juga lah yang meminta Andrew agar
membencinya, agar Andrew memiliki hasrat yang kuat untuk menghancurkannya.
“Papa!” panggil Andre. Semua orang di ruang tamu yang begitu
tegang itu menoleh ke arahnya. Andre dan kedua adiknya menyeret kantong plastik
menghampiri Andrew. Tersenyum riang saat sang papa berusaha tersenyum susah
payah.
“Buat Papa...” Andre menyorongkan kantong itu pada Andrew, Andrew
mengernyit dan membukanya, matanya membola kaget saat melihat kantong plastik
itu dipenuhi uang yang belum dibereskan. Anggun yang melihat ekspresi shock
suaminya ikut melongok mengintip isinya, matanya ikut terbelalak dengan mulut
menganga kaget.
“Andre, darimana kau dapat uang sebanyak ini?” tanya Andrew
cemas.
“Andre, Marlon dan Marsya ‘menyembelih’ ayam-ayam kami.” Andre
menjelaskan. Andrew sejenak tertegun lalu menelan ludah pahit. Ia mengusap
kepala putra sulungnya pelan. Tidak disangkanya gerakannya akan bisa dibaca
oleh anak sulungnya begitu mudah. Andrew bahkan tidak tahu harus mengatakan apa
saat anak-anaknya rela memecahkan celengan mereka?
Sementara Anggun memilih memalingkan wajahnya, ia sudah
tidak menahan air matanya. Ia mengusap jejak-jejak bening cair itu cepat. Namun
sialnya air matanya justru mengalir semakin banyak.
Marlon menghampiri Anggun dan menggenggam tangan kanannya,
sementara Marsya menggenggam tangan kiri Anggun berusaha untuk menguatkan hati
ibunya.
“Ma, Mama nda pegi ya... Malon udah kacih cemua uang Malon,
Mama ndak boleh pegi...” ucap Marlon sedih. Wajahnya mengiba memohon pada
ibunya agar tidak lagi berpikir untuk meninggalkannya. Tidak meninggalkan
mereka juga sang Papa.
“Iya, Mama... ndak pegi,
uang Maca ambil aja, tapi Mama nda tingal Maca, nda tingal Kakak, nda tingal
Papa...” Marsya ikut memohon. Anggun mengangguk sekali lagi. Ia tak kuasa untuk
menjawab, anak-anaknya masih terlalu kecil untuk mengetahui masalah yang
dialami orangtuanya. Andrew menarik Andre
dan mendudukkan dipangkuannya.
“Papa tidak semiskin itu Andre. Kau, Marlon, dan Marsya
tidak perlu sampai memecahkan celengan.” Andrew tersenyum tulus. Rupanya Andrew
yang jauh lebih tegar itu bisa bertahan untuk tidak menangis, ia ingin menjadi
sosok yang kuat di depan anak-anaknya.
“Tapi Andre mau bantu Papa…”
Keras kepala. Sama sepertinya. Andrew tahu dirinya sudah
tidak bisa membantah, apa pun yang diinginkan Andre, selama ini selalu
diturutinya. Ia pun menganggukkan permohonan anak-anaknya, malam ini ia menjanjikan akan menghitung bersama
uang yang dikumpulkan para buah hatinya sejak bayi.
Namun tak pelak hal ini menyentuh sudut hatinya, membuatnya
tersadar egonya hanya akan membuat keluarganya menderita. Ia tidak bisa terus
mementingkan dirinya sendiri yang amat membenci ayahnya, dan mengabaikan
tugasnya sebagai seorang Ayah.
Dan pada akhirnya…
Andrew tahu dirinya tidak punya pilihan lain selain menerima
tawaran yang Ayahnya berikan.
Dan keras kepala tidak akan pernah
bisa membantumu,,,
Hanya akan semakin menyakiti
orang-orang yang mencintaimu…
***
Andrew keluar dari supermarket, saat di kantor Anggun
menelpon memintanya membelikan susu untuk anak-anak mereka. Ia tersenyum geli
saat mengingat kejadian empat hari yang lalu, ia sama sekali tidak menyangka
uang yang dikumpulkan anak-anaknya sejak kecil sampai tiga ratus dua puluh lima
juta. Ditambah dengan biskuit-biskuit yang Marlon dan Marsya masukan ke
celengan karena menyangka itu uang koin.
Ahh… ia sangat bersyukur karena Tuhan sudah memberikannya
anak-anak yang begitu manis. Andrew juga sudah menerima tawaran ayahnya,
suntikkan dana dari sang ayah rupanya sanggup membuat perusahaan Andrew
menunjukkan nyawa-nyawa kehidupannya dalam waktu tiga hari. Membuat Andrew
berpikir sebenarnya sekaya apa sang ayah sampai bisa memberikan dana yang amat
besar tanpa sedikit pun membuat perusahaannya sendiri repot?
Kali ini Andrew merasa beruntung karena yang memusuhinya
justru Edward. Kalau sejak awal Adrian meggunakan kekuasaannya untuk membuat
perusahaan anak sulungnya hancur, sudah dipastikan Andrew tidak akan bisa
melakukan apa-apa.
Andrew membuka pintu mobilnya, ia melemparkan susu-susu itu
ke jok belakang. Pria berambut cokelat itu hendak masuk mobilnya tetapi
mengurungkan niatnya. Samar-samar ia mendengar suara wanita yang memanggil
namanya lembut.
“Andrew!” panggil wanita itu sekali lagi. Mendadak tubuh Andrew
bergetar hebat, jantungnya berdegup tak karuan. Kedua kakinya seolah tertancap
paku yang membuatnya sama sekali tidak bisa bergerak.
Suara itu... adalah suara yang sudah sangat familiar di
telingannya. Suara wanita yang selama ini selalu dirindukannya.
Perlahan Andrew membalikan tubuhnya. Matanya membola saat
melihat sosok wanita yang berdiri sambil tersenyum manis padanya.
Menghampirinya dengan langkah setengah berlari dengan rona bahagia di wajahnya.
“Aku merindukanmu, Andrew!” wanita itu menubruk Andrew dan
memeluknya erat. Wajah Andrew memanas, ia masih tidak yakin dengan keadaan yang
berlasung begitu cepat di hadapinya. Ia tidak tahu harus berekspresi seperti
apa saat melihat wanita yang dulu dicintainya masih hidup dan dalam keadaan
baik?
Wanita yang harus bertanggung jawab karena kepergiannya lah
yang merubah Andrew menjadi sosok yang amat brengsek.
Mendadak air mata Andrew menetes dengan sendirinya. Perlahan
tapi pasti, tangan Andrew merayap ke punggung wanita itu dan mempererat
pelukannya. Mengungkapkan betapa selama ini ia juga sangat merindukannya.
“Maurin...” bisik Andrew lembut. Dialah cinta pertamanya.
Cinta pertama yang hilang dan selalu ia jaga di dalam hatinya, cinta pertama
yang dulu selalu ia tunggu dan nantikan kehadirannya.
Maurin…
Wanita itu kembali hadir… disaat Andrew sudah memiliki Anggun.
Cinta hadir terkadang disaat derita menghampirimu…
Disaat derita menjauhimu…
***
Edward menggangu aja 😑
BalasHapusKenapa harus maurin datang disaat yang tak tepat
BalasHapus