Still For You, Andrew (Empat)

| Senin, 13 April 2015


Anggun dan Marlon mengunjungi sebuah mall, Andre tidak diajak karena sedang menjaga Marsya yang sedang sakit. Anak sulungnya itu memang sangat bisa diandalkan jika berhubungan dengan si bungsu, tapi amat Anggun ragukan jika sudah berduaan bersama Marlon.
Anggun mengajak Marlon ke toko mainan, ia ingin membelikan mainan untuk anak-anaknya. Tersenyum melihat gelagat Marlon yang begitu manis dan penurut. Marlon memang sedikit berbeda dengan Andre saat masih balita, Andre dulu tidak pernah mau diam dan keras kepala.
“Marlon mau apa? Pilih saja sayang...” ucap Anggun tanpa menoleh, setelah beberapa saat sempat terdiam. ia terus memperhatikan boneka panda yang hendak dibelinya. Marsya tadi minta dibelikan panda raksasa. Marsya ingin boneka besar yang juga bisa ditidurinya.
Alis Anggun berkedut, ia sedikit heran karena Marlon jauh lebih tenang dari biasanya. Merasa Marlon tidak akan menyahut, Anggun menunduk, matanya membola saat sadar Marlon tidak ada di sampingnya, Marlon tidak lagi dituntunnya. Anggun mengedarkan pandangannya panik, kedua bola matanya berusaha mencari sosok pangeran kecil yang begitu disayanginya.
            “Anakku...” gumam Anggun semakin panik. “MARLON!!!”
***
“HUAAAA!!!” Marlon terus menangis sambil mencari ibunya, ia mengedarkan pandangannya berharap Anggun pun kini sedang mencarinya. Marlon selalu mengamuk setiap ada orang yang menghampirinya dan ingin membantunya. Ia mengingat pesan ayahnya dengan baik, tidak boleh bicara dengan orang yang tak dikenal.
“Mama... Mama...” panggilnya serak. Ia mencari sosok pria berbaju satpam, hal itu yang sering diajarkan Andrew pula kalau-kalau ia tersesat di mall, pria berbaju satpam yang akan membantunya mencari ibunya. Tapi ia tidak menemukan orang yang Andrew maksud. Rupanya satpam di dalam mall ini justru mengunakan setelan hitam-hitam. Membuat Marlon tidak mengenalinya dan sejak tadi terus menyerang membabi-buta setiap orang itu menghampirinya.
“Mama! Malon takut culik…” Marlon menangis histeris. beberapa orang yang melihatnya justru terkikik dan memotretnya. Suatu hal yang langka menemukan bocah pintar kebingungan karena tersesat di dalam mall. Apalagi penampilan Marlon yang berkelas cukup menarik perhatian banyak orang.
“Hei! Kau kenapa?” tanya seorang pria berjas hitam yang sejak tadi memperhatikan Marlon dari kejauhan. Pria itu menghampiri Marlon penasaran. Wajah familiar Marlon rupanya membuat ia tertarik untuk lebih mengenalnya, tapi anak yang didekatinya justru bersiap-siap untuk memukul, mengacungkan kedua tinju mungilnya tinggi-tinggi.
“Ndak dekat-dekat! NDAK DEKAT-DEKAT!” teriak Marlon sambil terus menangis.
Mendengar itu, entah kenapa pria itu justru semakin tertarik pada Marlon? ia jongkok di depan Marlon lalu mencengkram pelan kedua tangan mungil bocah itu yang tadi berusaha memukulinya.
“Om hanya ingin membantumu saja, tidak ada niat menculik.” pria itu tersenyum meyakinkan. “Kau kenapa?”
Sedikit memicingkan mata sayunya yang berair tidak percaya, Marlon menatap orang dewasa di depannya curiga. Ia menatapnya dari atas sampai bawah dengan tubuh sesenggukkan. Merasa yakin orang di depannya itu bukan penjahat, Marlon berkata, “Mama Malon ilang, Om!” adu Marlon.
Pria itu membolakan matanya lalu tertawa. anak ini ternyata memang benar-benar menarik. Si pria mengelus puncak kepala Marlon dengan senyuman menenangkan yang tersirat di wajah tampannya.
“Yang hilang itu kau. namamu Marlon?” tanyanya kemudian. Marlon mengangguk cepat. “Kenalkan, nama Om, Edward.” Edward memperkenalkan dirinya.
***
Anggun datang ke sebuah restoran, beruntung ia selalu mengajarkan anak-anaknya menghafal nomor telpon orangtuanya agar jika keadaan mendesak seperti saat ini, anak-anaknya bisa menghubunginya lewat telpon. Sepertinya Anggun mulai besok akan memberikan satu ponsel tanpa kamera pada setiap malaikat-malaikat kecilnya.
Kenapa harus ponsel tanpa kamera?
Itu karena Anggun tidak mau di ponsel anak-anaknya terdapat foto atau video tidak senonoh. Ia cemas pada perangai anak-anaknya di masa depan apalagi mengingat kebrengsekan sang suami tercinta yang kemungikan besar menurun pada buah hatinya terlebih pada Andre. Andrew brengsek, dan Anggun tidak perlu berpikir dua kali untuk mengakuinya. –Dasar istri durhaka-!
Anggun menyeka air matanya saat melihat Marlon sedang duduk sambil memakan eskrim. Pria yang duduk di depan Marlon dan kini membelakanginya itu pasti orang yang sudah menolong Marlon. Anggun menyeka air matanya lalu menghampiri putranya dengan tubuh gemetaran. Tidak bisa ia ungkapkan betapa bersyukurnya dia karena mendapati Marlon masih utuh dan baik-baik saja.
“Marlon, Mama mencarimu!” Anggun kembali menangis, ia sangat bersyukur karena Tuhan masih mempertemukan mereka kembali. Ia berdiri di depan Marlon tepat di samping kanan pria penolongnya.
“MAMA!” Marlon mengulurkan kedua tangannya minta dipangku. Anggun memangkunya lalu menciumi wajah Marlon. Dipeluknya putra tengahnya itu erat-erat. Seolah takut kehilangan Marlon untuk kedua kalinya, Anggun bertingkah begitu posesif.
“Mama benar-benar takut,” bisik Anggun setelah mulai bisa tenang. “Terima kasih karena anda-” Anggun tak melanjutkan kalimatnya. Matanya melebar saat menoleh mendapati orang yang telah menolong putranya ternyata Edward. Salah satu sosok yang seumur hidup tidak mau lagi ditemuinya.
Edward tersenyum lalu berdiri. Ia menatap Anggun kagum lalu menggeleng tak percaya, sulit ia pungkiri bahwa hatinya begitu bahagia karena setelah sekian lama, ia bisa bertemu kembali dengan sosok wanita yang beberapa tahun lalu menaut hatinya.
“Saat Marlon bilang ibunya Anggun Kasesya Adrian, ayahnya Andrew Kevin Putra Adrian, sebenarnya aku sudah yakin itu kau.” Tembak Edward to the point. Membuat Anggun kebingungan sendiri hendak menjawab apa? Akhirnya Anggun lebih memilih bungkam, ia tidak mau salah bicara. “Apa Marlon anak kita?” Edward tersenyum bak malaikat. Tapi tampak sekali dalam nadanya ia ingin mengingatkan Anggun bahwa ia juga pernah menjadi bagian di masa lalunya.
“Jaga bicara anda, usia Marlon bahkan belum tiga tahun. Terakhir kita bertemu itu tujuh tahun yang lalu!” Anggun berkata kasar. Ia hendak pergi, ia tidak ingin berlama-lama bersama Edward. Tapi sebelum melangkah Edward menarik lengan Anggun dan memaksa balas menatapnya. Anggun menatap Edward bengis, ia sama sekali tidak suka dengan perlakuan Edward terhadapnya.
“Marlon punya kakak, namanya Andre. Apa benar dia anak Andrew?” tanya Edward serius. Anggun menghempaskan tangan Edward lalu mendorongnya kasar.
“Andre itu darah daging Andrew. JADI JANGAN SOK TAHU!!!”
“Merasa sudah menjadi nyonya besar, sekarang kau sombong!” Edward tersenyum meremehkan. Ia mengedipkan matanya pada Marlon yang sejak tadi menatapnya bingung. Tidak mengerti atas pertengkaran ibunya dengan om-om yang menurut Marlon justru lebih keren dari sang papa di rumah.
“Terserah! Terima kasih sudah menolong putra saya. Eskrim dan kopi anda biar saya yang bayar.” Anggun mengeluarkan uang seratus ribuan dari tasnya lalu meletakannya di atas meja. Cepat-cepat ia pergi, tidak mau berurusan dengan Edward lagi.
“Ditraktir kopi...” Edward terkekeh geli. Ia yang tadi sempat berdiri kembali duduk lalu menyesap kopi hitamnya dengan gaya angkuh khas bangsawannya. “Sebagai ucapan terima kasih kau akan ku jadikan ratu di istanaku, Anggun…” dan satu seringaian di bibir Edward menandakan permainan tidak lama lagi akan dikendalikannya.
Ahh… sudah mau dimulai, ya?
***
Andrew meremas dokumen di tangannya kesal. Rupanya Edward tidak main-main dengan ancamannya jika Andrew tidak bersedia menceraikan Anggun beberapa minggu lalu. AKP Corporation di ambang bangkrut, hal itu disebabkan karena Edward dan orang-orangnya mencabut investasi mereka dalam waktu yang bersamaan. Membuat Andrew kelabakkan karena harus membayar saham yang mereka tarik dengan jumlah uang yang tidak sedikit.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Andrew pada dirinya sendiri. “AKP Corporation, karyawannya lebih dari lima ribu orang.” Andrew merenungkan nasibnya sendiri. Ia bisa saja mengambil dana dari hotel dan beberapa restoran yang dikelolanya, tapi hal itu hanya akan memperburuk keadaan. Penghasilannya tidak akan sesuai dengan kebutuhan utang-piutang, pesangon, dan kerugian yang harus ia tanggung.
Setelah berpikir cukup keras, ia yakin tidak ada solusi yang bisa diambilnya. Sekali pun ia menjual semua harta yang dimilikinya, tidak akan bisa menutupi semua biaya yang dibutuhkannya. Andrew menjedotkan kepalanya ke meja pelan, ia menggeram dan menggertakkan giginya kesal.
“Aku... bangkrut!” desah Andrew pasrah.
***
Anggun menyeka air matanya, ia memasukan semua pakaiannya ke dalam koper. Dengan berat hati kali ini ia juga harus melakukannya. Andrew frustasi, dan itu karena keberadaannya. Karena Andrew bersikeras ingin mempertahankan rumah tangga mereka.
Selalu saja Edward menjadi masalah terbesar yang harus dihadapinya, entah di masa lalu atau sekarang, kehadiran Edward selalu sanggup membuat hubungannya dengan Andrew terpisah.
Anggun berusaha menguatkan dirinya, ia menyeret kopernya hendak keluar kamar, saat akan membuka pintu, justru ada orang yang membukanya lebih dulu. Mereka sama-sama tersentak, terlebih sosok berantakkan di depan Anggun yang berwajah amat lelah.
“Anggun, kau bawa koper, mau ke mana?” Andrew berusaha tersenyum sekalipun raut wajahnya tampak putus asa. Ia tahu apa yang akan dilakukan Anggun, tapi ia pura-pura tidak mengerti. Ia tidak mau Anggun pergi, ia tidak mau kehilangan wanita yang sangat dicintainya lagi.
“Mungkin jika aku pergi perusahaan-”
“Masuklah! Sudah malam, kita tidur.” Andrew memotong. Ia tidak mau Anggun menyelesaikan kalimatnya. Kehilangan Anggun sama artinya membiarkan hatinya mati. Dan Andrew, tidak mau kembali menjadi sosok bajingan tak berhati.
Anggun menggeleng, air matanya mengalir semakin deras. Ia berusaha tersenyum dan meyakinkan Adrew bahwa kepergiannya akan menjadi hal terbaik untuk semuanya, bibirnya yang berusaha mengukir senyum justru terlihat getir.
“Aku harus pergi.”
“ANGGUN!” bentak Andrew, matanya merah menyala menahan kemarahannya. Ia benar-benar tidak suka dengan sikap Anggun. Cukup sekali ia menyesal karena pernah menjual Anggun pada mantan sahabatnya, kali ini ia tidak akan mengulang kesalahan yang sama. Ia tidak peduli sekalipun Edward akan menghancurkan kehidupannya.
“Aku hanya tidak mau kau bangkrut gara-gara aku!” Anggun menjerit sebelum kemudian memeluk Andrew. Andrew memejamkan matanya rapat, wajahnya panas, tangan kanannya merayap memeluk punggung istrinya hati-hati.
Tidak seharusnya ia membentak Anggun, istrinya yang polos itu hanya selalu melakukan sikap yang dianggapnya terbaik untuk semuanya. Anggun hanya ingin melindunginya. Dia terlalu naïf, untuk membiarkan orang lain menderita karena keegoisannya.
“Tenanglah, tidak semudah itu. Aku akan berusaha, dan jangan pernah berpikir untuk meninggalkan aku lagi. Aku tidak bisa tanpamu, Anggun,” bisik Andrew lembut. Membuat Anggun mengangguk cepat tanpa rasa ragu.
Ia harus percaya pada Andrew… Yah! Apa pun yang terjadi nanti, ia harus percaya bahwa suaminya dengan mudah akan mengatasinya.
***
Marlon dan Marsya mengendap-endap masuk ke kamar Andre, mereka membawa celengan ayam masing-masing dibantu kedua baby sitter mereka. Andre duduk di karpet kamarnya, di depannya sudah ada enam celengan ayam yang sejak kecil dikumpulkannya. Andre memang sangat gemar menabung, dan setiap hari, ia pasti akan meminta uang minimal berwarna biru pada sang ayah agar ayamnya bisa makan dan gemuk.
Setelah kedua baby sitter adik-adiknya keluar dari kamarnya, Andre memerintahkan Marlon dan Marsya duduk di depannya, kini ia sudah seperti seorang presiden dengan kedua ajudannya. Marsya dan Marlon yang terlalu polos hanya menuruti saja apa pun yang dikatakan Andre, terlebih tadi sang kakak sulung itu sudah mengumumkan bahwa keadaan mereka saat ini sedang urgent.
“Ayam Kakak banyak, genut-genut, Malon cuma ada dua,” ucap Marlon sambil mengelus-elus dua celengan ayam kesayangannya. Marsya mengangguk setuju. Andre bilang hari ini celengan mereka harus disembelih, agar mereka tidak jatuh miskin, agar perusahaan ayah mereka tidak bangkrut, dan yang paling penting agar Anggun tidak meninggalkan mereka, tanpa sengaja kemarin malam Andre mendengar pembicaraan kedua orangtuanya.
Marsya duduk di samping Marlon, berhadapan dengan Andre. Gadis berambut ikal panjang itu ikut bibirnya membulat saat melihat celengan Andre yang besar dan dalam jumlah banyak.
“Maca juga ada dua Kakak, ndak genut,” adu Marsya sedih. Ia kecewa karena tidak bisa membantu banyak. Ia takut mamanya pergi, tapi ia memang sudah tidak punya apa-apa lagi. Andai saja Marsya sudah dewasa, mungkin ia akan melirik gelang dan kalungnya yang harganya mencapai puluhan juta yang kini dikenakannya. Tentunya Andrew selalu memberikan kualitas terbaik untuk anak-anaknya.
“Tidak apa-apa, kita pecahkan ayamnya sekarang, ya...” ucap Andre. Kedua adiknya mengangguk setuju. Andre tersenyum getir, ia yang cukup jenius ternyata mampu menangkap sinyal kegalauan hati orangtuanya dengan baik. Usianya memang baru enam tahun, tapi ia sadar betul kalau orangtuanya kini sedang mengalami masa-masa sulit.
“Tuan Muda!” Daren mengetuk pintu, ia membukanya lalu masuk. Segurat senyuman terukir di bibirnya melihat sepuluh celengan ayam sedang dikumpulkan di kelilingi tiga anak lucu yang sejak masih kecil selalu dijaganya itu.
“Sini, Daren!” pinta Andre. Daren menurut. Ia menghampiri Andre lalu duduk di antara Andre dan Marlon dan menatap ketiga orang itu bergantian.
“Apa yang bisa saya bantu untuk Tuan dan Nona Muda?” tanya Daren sopan. Andre menjelaskan apa yang harus dilakukan Daren untuk mereka. Daren tersenyum tipis saat tahu Andre ingin Daren memecahkan celengan mereka semua agar uang itu bisa diberikan pada sang ayah.
“Saya rasa ayam kalian tidak perlu disembelih. Karena Tuan Besar tidak sampai semiskin itu.” Daren terkekeh. Ia tahu ketiga anak itu selalu menjaga celengan mereka susah payah, celengan itu diisi uang sejak mereka bahkan baru bisa merangkak dan tidak bisa bicara. Daren tidak tega melakukannya.
Andre menatap Daren memelas, Marlon dan Marsya memeluk Daren dari kedua sisinya, merajuk pada Daren dengan mata kucing yang terlihat amat manis. Akhirnya Daren menyerah, Daren mengerti apa pun yang dikatakanya tidak akan berguna.
Keputusan mereka sudah, bulat, celengan mereka harus dipecahkan. Sekali pun Daren terus membujuk agar anak-anak manis itu mengurungkan rencana mereka.
***
Andre, Marlon, dan Marsya menyeret sebuah kantong plastik hitam besar bersamaan, mereka berjalan menuju ruang tamu beriringan. Daren mengikuti mereka sambil terus tersenyum, ia benar-benar heran dengan tingkah ketiga anak majikannya. Mereka anak orang kaya, tapi memedulikan satu sama lain, mereka sering bertingkah angkuh, tapi langsung rendah hati saat menghadapi situasi sulit.
Di ruang tamu, Andrew dan Anggun sedang mengobrol dengan orangtua Andrew. Ayahnya Andrew menawarkan kerjasama dengan perusahaannya agar Andrew tidak jadi mengalami pailit. Sehebat apa pun Andrew, tapi dalam dunia bisnis ia memang masih dikatakan baru. berbeda dengan Adrian yang sudah memakan asam-garam kehidupan. Perusahaannya yang sudah berdiri puluhan tahun itu tetap berdiri kokoh karena sebagian besar sahamnya, atau bisa dikatakan delapan puluh lima persen adalah miliknya sendiri.
Perusahaan Adrian jauh lebih besar dari perusahaan yang dimiliki Andrew, bahkan bisa dikatakan Edward pun masih belum bisa menyainginya. Adrian Corporation memang bukan hanya ada di Indonesia, hampir di setiap Negara, ia memiliki cKakak-cKakak tambang emasnya. Terutama di Amerika, jantung dari Adrian Corporation bisa berdiri kokoh.
Walau sekarang Andrew sudah berumah tangga, Adrian tetap tidak tega kalau usaha yang hampir sepuluh tahun di bangun Andrew hancur tak berbekas. Andrew masih anaknya, darah Adrian pun mengalir di tubuhnya.
Namun berbeda dengan Andrew, kebenciannya pada ayahnya tetap membara di hatinya, ia sama sekali tidak bisa melupakan kekejian yang dulu pernah dilakukan terhadapnya. Jangankan menerima tawaran Adrian, sejak kedatangannya saja Andrew enggan melihat wajah sang ayah.
Ayahnya bukan hanya sudah membunuh Maurin, cinta pertamanya, tetapi juga sempat menentang keras hubungannya dengan Anggun.
“Bagaimana, Andrew?” tanya ayahnya. Andrew tak menjawab, tangannya mengepal geram dengan raut wajah yang mengeras. Melihat ekspresi itu ibunya semakin khawatir, ia melirik Anggun memintanya agar mau membujuk Andrew. Ego Andrew kali ini tidak akan membantu, Andrew harus sedikit merelakan harga dirinya turun untuk kebaikan mereka semua.
Lagipula… saat ini sang ayah sudah menyesali perbuatannya dan menerima Anggun dengan tangan terbuka. Adrian bahkan sangat menyayangi cucu-cucu manisnya.
Walau ia mau tidak mau mengakui, Andrew tumbuh menjadi anak yang keras karena kesalahannya. Adrian juga lah yang meminta Andrew agar membencinya, agar Andrew memiliki hasrat yang kuat untuk menghancurkannya.
“Papa!” panggil Andre. Semua orang di ruang tamu yang begitu tegang itu menoleh ke arahnya. Andre dan kedua adiknya menyeret kantong plastik menghampiri Andrew. Tersenyum riang saat sang papa berusaha tersenyum susah payah.
“Buat Papa...” Andre menyorongkan kantong itu pada Andrew, Andrew mengernyit dan membukanya, matanya membola kaget saat melihat kantong plastik itu dipenuhi uang yang belum dibereskan. Anggun yang melihat ekspresi shock suaminya ikut melongok mengintip isinya, matanya ikut terbelalak dengan mulut menganga kaget.
“Andre, darimana kau dapat uang sebanyak ini?” tanya Andrew cemas.
“Andre, Marlon dan Marsya ‘menyembelih’ ayam-ayam kami.” Andre menjelaskan. Andrew sejenak tertegun lalu menelan ludah pahit. Ia mengusap kepala putra sulungnya pelan. Tidak disangkanya gerakannya akan bisa dibaca oleh anak sulungnya begitu mudah. Andrew bahkan tidak tahu harus mengatakan apa saat anak-anaknya rela memecahkan celengan mereka?
Sementara Anggun memilih memalingkan wajahnya, ia sudah tidak menahan air matanya. Ia mengusap jejak-jejak bening cair itu cepat. Namun sialnya air matanya justru mengalir semakin banyak.
Marlon menghampiri Anggun dan menggenggam tangan kanannya, sementara Marsya menggenggam tangan kiri Anggun berusaha untuk menguatkan hati ibunya.
“Ma, Mama nda pegi ya... Malon udah kacih cemua uang Malon, Mama ndak boleh pegi...” ucap Marlon sedih. Wajahnya mengiba memohon pada ibunya agar tidak lagi berpikir untuk meninggalkannya. Tidak meninggalkan mereka juga sang Papa.
 “Iya, Mama... ndak pegi, uang Maca ambil aja, tapi Mama nda tingal Maca, nda tingal Kakak, nda tingal Papa...” Marsya ikut memohon. Anggun mengangguk sekali lagi. Ia tak kuasa untuk menjawab, anak-anaknya masih terlalu kecil untuk mengetahui masalah yang dialami orangtuanya. Andrew  menarik Andre dan mendudukkan dipangkuannya.
“Papa tidak semiskin itu Andre. Kau, Marlon, dan Marsya tidak perlu sampai memecahkan celengan.” Andrew tersenyum tulus. Rupanya Andrew yang jauh lebih tegar itu bisa bertahan untuk tidak menangis, ia ingin menjadi sosok yang kuat di depan anak-anaknya.
“Tapi Andre mau bantu Papa…”
Keras kepala. Sama sepertinya. Andrew tahu dirinya sudah tidak bisa membantah, apa pun yang diinginkan Andre, selama ini selalu diturutinya. Ia pun menganggukkan permohonan anak-anaknya, malam  ini ia menjanjikan akan menghitung bersama uang yang dikumpulkan para buah hatinya sejak bayi.
Namun tak pelak hal ini menyentuh sudut hatinya, membuatnya tersadar egonya hanya akan membuat keluarganya menderita. Ia tidak bisa terus mementingkan dirinya sendiri yang amat membenci ayahnya, dan mengabaikan tugasnya sebagai seorang Ayah.
Dan pada akhirnya…
Andrew tahu dirinya tidak punya pilihan lain selain menerima tawaran yang Ayahnya berikan.

Dan keras kepala tidak akan pernah bisa membantumu,,,
Hanya akan semakin menyakiti orang-orang yang mencintaimu…
***
Andrew keluar dari supermarket, saat di kantor Anggun menelpon memintanya membelikan susu untuk anak-anak mereka. Ia tersenyum geli saat mengingat kejadian empat hari yang lalu, ia sama sekali tidak menyangka uang yang dikumpulkan anak-anaknya sejak kecil sampai tiga ratus dua puluh lima juta. Ditambah dengan biskuit-biskuit yang Marlon dan Marsya masukan ke celengan karena menyangka itu uang koin.
Ahh… ia sangat bersyukur karena Tuhan sudah memberikannya anak-anak yang begitu manis. Andrew juga sudah menerima tawaran ayahnya, suntikkan dana dari sang ayah rupanya sanggup membuat perusahaan Andrew menunjukkan nyawa-nyawa kehidupannya dalam waktu tiga hari. Membuat Andrew berpikir sebenarnya sekaya apa sang ayah sampai bisa memberikan dana yang amat besar tanpa sedikit pun membuat perusahaannya sendiri repot?
Kali ini Andrew merasa beruntung karena yang memusuhinya justru Edward. Kalau sejak awal Adrian meggunakan kekuasaannya untuk membuat perusahaan anak sulungnya hancur, sudah dipastikan Andrew tidak akan bisa melakukan apa-apa.
Andrew membuka pintu mobilnya, ia melemparkan susu-susu itu ke jok belakang. Pria berambut cokelat itu hendak masuk mobilnya tetapi mengurungkan niatnya. Samar-samar ia mendengar suara wanita yang memanggil namanya lembut.
“Andrew!” panggil wanita itu sekali lagi. Mendadak tubuh Andrew bergetar hebat, jantungnya berdegup tak karuan. Kedua kakinya seolah tertancap paku yang membuatnya sama sekali tidak bisa bergerak.
Suara itu... adalah suara yang sudah sangat familiar di telingannya. Suara wanita yang selama ini selalu dirindukannya.
Perlahan Andrew membalikan tubuhnya. Matanya membola saat melihat sosok wanita yang berdiri sambil tersenyum manis padanya. Menghampirinya dengan langkah setengah berlari dengan rona bahagia di wajahnya.
“Aku merindukanmu, Andrew!” wanita itu menubruk Andrew dan memeluknya erat. Wajah Andrew memanas, ia masih tidak yakin dengan keadaan yang berlasung begitu cepat di hadapinya. Ia tidak tahu harus berekspresi seperti apa saat melihat wanita yang dulu dicintainya masih hidup dan dalam keadaan baik?
Wanita yang harus bertanggung jawab karena kepergiannya lah yang merubah Andrew menjadi sosok yang amat brengsek.
Mendadak air mata Andrew menetes dengan sendirinya. Perlahan tapi pasti, tangan Andrew merayap ke punggung wanita itu dan mempererat pelukannya. Mengungkapkan betapa selama ini ia juga sangat merindukannya.
“Maurin...” bisik Andrew lembut. Dialah cinta pertamanya. Cinta pertama yang hilang dan selalu ia jaga di dalam hatinya, cinta pertama yang dulu selalu ia tunggu dan nantikan kehadirannya.
Maurin…
Wanita itu kembali hadir… disaat Andrew sudah memiliki Anggun.

Cinta hadir terkadang disaat derita menghampirimu…
Disaat derita menjauhimu…
***

2 komentar:

Next Prev
▲Top▲