Still For You, Andrew (Enam)

| Senin, 13 April 2015


 “Mungkin, memang sudah seharusnya sekarang mereka tahu, En.” Maurin mengangkat salah satu sudut bibirnya sembari menatap sinis Anggun. Wanita yang ia sudah yakin usianya jauh di bawahnya. Menurut informasi yang diberikan Edward sekembalinya ia ke Indonesia, wanita cantik bermata bulat di depannya itu mengandung anak pertamanya di usia yang masih sangat muda. 16 tahun. Dan itu pun terjadi karena ternyata Andrew tidak memakai pengaman saat menidurinya.
Ck! Dasar Andrew ceroboh.
Sedangkan Anggun hanya terdiam sementara Andrew sejak tadi terus gelagapan. Tidak tahu apa yang harus ia katakan? Apalagi Maurin yang sejak tadi mendesaknya dan terus menempel padanya. Dan sialnya, Andrew sama sekali tidak berkutik untuk menghindar atau pun menolaknya secara halus. Andrew hanya bisa merasa bersalah di dalam hati ketika Anggun menundukkan kepalanya tidak sanggup.
Bunuh saja dia. Bunuh saja manusia bajingan yang sama sekali tidak ingat saat sulit, hanya Anggun yang selalu berada setia di sisinya. Anggun bahkan rela menyerahkan dirinya pada Edward agar Andrew tidak lagi susah.
Anggun, yang selalu merawat Andrew setiap kali ia jatuh sakit. Anggun, yang selalu tersenyum menenangkan setiap kali ia merasa gelisah.
Anggun menenangkannya dan meyakinkan Andrew mereka akan baik-baik saja saat Andrew dulu diusir dari rumah oleh ayahnya, Anggun pula yang mau memberinya kesempatan kedua sedangkan dulu Andrew selalu menyakitinya.
Anggun, istri yang selalu setia dan bersabar sekali pun Andrew sering membuatnya menangis. Anggun, wanita yang tetap diam saja tanpa memukuli atau sekedar memakinya saat ia kini kepergok selingkuh.
Anggun hanya berharap Andrew memilihnya, menganggap saat ini Andrew hanya khilaf, mengharapkan agar suaminya kembali padanya. Perang delikkan sinis pun tidak terelakkan. Anggun yang biasa bersikap ramah tidak mungkin berbasa-basi begitu melihat orang yang berusaha merebut suaminya. Dia dan Maurin saling melempar tatapan mematikan.
Namun akhirnya Anggun tidak bisa menahan diri lagi, ia menundukkan kepalanya dalam.
“Nda bikin Mama nangis lagi Papa…” Marlon yang pertama kali bersuara setelah sekian lama mereka terjebak dalam keadaan hening. Ia menyayukan matanya sedih saat sadar air yang tadi ia sangka gerimis yang membasahi wajahnya, ternyata air mata sang Mama yang kini kepalanya tepat di atas saat mendongak.
Marlon memang tidak tahu apa-apa. Semua yang dikatakannya tadi pun hanya ia dapatkan di sinetron-sinetron yang sering sang Mama tonton.
Tapi melihat sang Mama kesakitan ia pun entah kenapa bisa merasakannya? Melihat Mama menangis hatinya terasa linu sehingga tanpa sadar ia juga ikut menangis karenanya. Marlon maju selangkah mengangkat tangannya tinggi-tinggi menggapai tangan besar Andrew dan menggenggamnya erat. Tubuhnya gemetar sesenggukkan.
“Papa bilang Papa cayang Mama, tiap Mama bobo cofa Papa cium kening Mama, bilang cayang Mama, gendong Mama pindah kamal.” Imbuh Marlon dengan wajahnya yang memerah.
“Papa… janji gak bikin Mama nangis, Papa bilang cama Genpa Papa gak bakalan tinggal Mama…” Marsya ikut melakukan hal yang sama dengan saudara kembarnya. Menggapai tangan Andrew dengan kedua tangan mungilnya, menangis sesenggukkan merasakan rasa sakit hati wanita yang telah melahirkannya.
Andrew termenung. Ia semakin ditenggelamkan memorinya bersama Anggun yang sudah ia lewati beberapa tahun. Menyingkirkan adiknya sendiri ke Amerika karena dianggap menjadi ancaman untuk hubungannya dengan wanita kedua yang berhasil menarik perhatiannya setelah sekian lama ia sakit karena kehilangan Maurin.
Andrew menunduk menatap kedua anaknya yang menangis keras layu, kedua anak yang seolah memohon kepadanya untuk mempertimbangkan jikalau ia memilih untuk meninggalkan sang Mama. Itu berarti, mereka akan hidup terpisah. Apa yang sudah mereka bangun selama enam tahun –karena saat hamil Andre, Anggun dan Andrew pisah- ini menjadi sia-sia.
Andrew kini menoleh menatap anak sulungnya yang bergeming. Andre sama sekali tidak membujuknya seperti yang dilakukan kedua adiknya, ia justru menggenggam tangan kanan sang Mama seolah memberi kekuatan agar tetap bertahan. Sekalipun ia yang memang masih kecil itu tetap menyimpan emosi besar karena tingkah arogan Papa yang selama ini selalu dibanggakannya.
Merasa Papanya menunggu responnya, Andre hanya menatap Andrew sinis dengan rahang mengetat menahan kesal. Matanya sedikit memerah karena ia pun cukup peka dengan luka hati yang dirasakan Mamanya.
“Andre… tidak keberatan Mama cari Papa baru.” Andre akhirnya membuka suara.
Kata-katanya begitu singkat tapi menusuk tepat ke ulu hati Papanya. Andre seolah sengaja ingin menghapus memori ayahnya di kepalanya juga wanita yang kini hanya menangis pelan menahan isakkan. Ia akan menggantikan tugas Andrew untuk menjaga Mamanya juga kedua adiknya. Papanya sudah tidak lagi menginginkan mereka, dan Andre, akan mencarikan seseorang yang bisa menyembuhkan kesakitan yang dialami ibunya.
“Mama cantik, Mama pasti dapat Papa baru yang lebih keren dari Andrew.” Andre mengimbuhkan tidak sopan. Ia bahkan sudah tidak mau lagi memanggil Andrew dengan panggilan ‘Papa’.
Nyeri?
Tentu saja. Tidak pernah Andrew merasa sesakit ini, tidak diakui keberadaannya oleh buah hatinya sendiri. dan itu… karena kelakuan tak bermoralnya yang sudah menyakiti wanita berhati malaikat yang kini menjadi istrinya. Tapi…
Andrew tersenyum tipis, ia menghela napas berat lalu menoleh kepada Maurin. Mengangguk pelan menimbulkan sebuah senyuman lebar di bibir wanita yang menjadi cinta pertamanya.
Sedangkan Anggun, ia hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Ia sudah… kalah?
“Kau benar Maurin, perasaan yang kurasakan saat ini hanyalah perasaan bersalah.” Andrew berkata pelan. Maurin mengangguk dan mempererat pegangannya di lengan Andrew.
“Aku tahu itu.”
“Sejak awal aku memang hanya merasa bersalah, karena dulu aku tidak punya kekuatan untuk melindungimu dari kebengisan tingkah ayahku.”
Maurin sedikit terbelalak mendengar kalimat imbuhan itu, ia merasakan firasat tidak nyaman.
“Berbeda saat aku memilih Anggun sebagai pendamping hidupku, ibu dari anak-anakku.” Andrew menatap Anggun sambil terus tersenyum tipis. Mendengar itu Anggun mengangkat kepalanya dan menyusut air matanya, Andrew mempererat genggaman tangan kedua anak kembarnya lalu membuang napas pelan.
“Aku mencintai istri dan anak-anakku.” Andrew berucap yakin. “Sangat!” imbuhnya tanpa ragu.
“…”
“Itu kenapa aku sudah tidak bisa lagi menciummu seperti dulu.” Andrew berkata jujur. Ia memang merasa tidak nyaman jika melakukan tindakkan yang lebih dari sekedar pelukan pada Maurin. Pelukannya pun bukan lagi pelukan seorang pria yang ingin membuat wanita yang dicintainya merasa nyaman. Pelukannya kali ini, hanya pelukan seorang sahabat yang ingin menjaga seseorang yang dulu sempat mengukir sebuah kenangan manis di dalam hidupnya.
“Karena sampai kapan pun mulai tujuh tahun lalu, yang akan aku cintai hanya Anggun.” Andrew berkata tegas. Ia tersenyum tipis saat Anggun tersenyum manis padanya. “Dan sekalipun aku harus mati dan bereinkarnasi, yang akan aku cintai tetap hanya Anggun.”
Entah sejak kapan Andrew bisa berkata romantis?
“Karena seorang Andrew… hanya akan bersedia ditakdirkan hidup jika berdampingan dengan Anggun.”
“Aku mencintaimu Anggun… sangat.” Dan kata-kata Andrew kali ini bersifat mutlak.
Andrew melepaskan genggaman kedua anaknya, lalu menghempaskan tangan Maurin pelan-pelan, ia menghampiri Anggun dan mengusap kedua pipi Anggun yang memerah lembut, membungkukan kakinya dan mengecup kening Anggun penuh sayang.
“Maaf, sudah membuatmu sedih lagi.”
“Aku tahu kau hanya sedang bingung.” Anggun mengangguk mengerti. Tidak menyadari bahwa kebaikan hatinya justru membuat Andrew semakin merasa bersalah. Padahal Andrew berharap Anggun marah dan melampiaskan emosinya agar ia juga merasa lega.
Sebenarnya… hati seorang Anggun Kasesya itu terbuat dari apa?
“Aku tahu pada saatnya kau pasti akan kembali pulang, padaku, pada anak-anak kita.”
“Anggun…”
“Aku mau pulang!” kata Andre ketus. Menghentikan drama romantis picisan yang sedang dilakukan kedua orangtuanya. Sejak kecil Andre memang tidak pernah suka melihat kedua orangtuanya berpacaran.
Baginya itu sangat mengganggu. Berbeda dengan kedua adiknya yang mendongak di antara Anggun dan Andrew selalu menoleh pada siapa pun di antara kedua orang dewasa itu yang bicara.
“I-iya, Sayang. Ayo kita pulang!” kata Anggun semangat. Melupakan bahwa Maurin juga masih ada di antara mereka. Anggun hanya melemparkan senyuman sinis ke  arahnya. Puas karena pada akhirnya… sang suami tetap memilihnya.
Keluarga manis itu mulai berjalan beriringan masuk ke dalam mobil Andrew dengan ketiga anak Andrew yang duduk di jok belakang.
Anggun masuk dan duduk di jok samping kemudi disusul Andrew yang bernapas lega di belakang setir. Ia meluruskan pandangannya melihat Maurin di depan kap mobilnya tengah menatapnya horror.
Astaga!
Andrew lupa bahwa Maurin datang ke tempat itu bersamanya.
“Maurin, kau pulang saja dengan Edward.” Andrew yang begitu amat yakin Edward masih ada di sekitarnya berujar. Ia juga yakin bahwa hal yang dialaminya saat ini merupakan salah satu rencana Edward yang ingin memisahkannya dengan Anggun.
Maurin tersentak untuk beberapa saat, sampai kemudian ia tersenyum manis dan mengangguk. Sepertinya… ia memang sudah tidak ada lagi harapan untuk kembali bersama Andrew bukan? Andrew terlihat begitu menyayangi istrinya.
Maurin berjalan pelan ke portal pembatas jalan. Menatap pantai malam di depannya dengan sorot temaram. Ia diam saja saat Andrew memundurkan mobilnya lalu memutar arah dan memacunya dengan kecepatan sedang. Meninggalkannya yang terus diam tanpa ada niat dulu mengantarnya pulang.
“Kenapa kau tidak mencegahnya?” Tanya seseorang yang kini berdiri di samping Maurin setengah mendesis geram. Tanpa menoleh Maurin tidak perlu takut salah mengenali orang, ia sangat yakin bahwa sosok jangkung yang kini ikut menatap pantai malam itu adalah Edward, orang yang memberinya perintah kembali ke Indonesia setelah beberapa tahun ia tinggal di Amerika.
“Andrew mencintai istrinya.” Maurin yang pada dasarnya memang berhati baik itu tersenyum. Mesti merasa sakit hati karena sudah dilupakan sosok yang masih dicintainya, tapi setidaknya ia ikut bahagia karena sudah ada seseorang yang menjadi bagian terpenting dalam hidup sang mantan.
“Harusnya kau lebih berusaha.”
“Tidak bisa kah kau menghentikannya, Sir?” Tanya Maurin heran. Ia begitu aneh pada Edward yang terobsesi pada seorang wanita setia beranak tiga. Tetap keukeuh ingin merebut Anggun dari Andrew.
“Tidak!” Edward tersenyum sinis. “Sekali pun kau menyerah, aku masih punya hal lain yang bisa membuat mereka berpisah.”
“Apa pun akan kulakukan untuk mendapatkan apa yang kumau.” Edward terkekeh. Ia menyentil jas di bahu Maurin yang sebenarnya adalah milik Andrew. Membuat tubuh mungil wanita yang berpakaian sedikit terbuka semakin menggigil kedinginan. Jas hitam itu jatuh ke tanah namun Maurin sama sekali bergeming tidak ambil pusing dengan kelakuan bosnya.
Bosnya? Heh?
Yah, saat beberapa tahun lalu Maurin dicelakakan oleh ayahnya Andrew agar hubungan mereka terpisah, Edward lah yang menemukan Maurin dan memutuskan untuk merawatnya karena mungkin suatu hari nanti Maurin akan berguna untuknya. Maurin merupakan salah satu wanita jenius yang mungkin akan membawa keuntungan untuk perusahaannya.
Tidak ingin Andrew menemukan Maurin dan mengambilnya dari sisinya, Edward sengaja memutasikan Maurin ke perusahaannya yang ada di Amerika. Mengurungkan niat awalnya yang akan menjadikan Maurin kado untuk Andrew mengingat persahabatan mereka yang amat dekat.
Saat itu usia Maurin masih belia, tapi ia sanggup menyelesaikan sekolah dan pekerjaannya dengan hasil yang memuaskan.
Dan kali ini, Edward memutuskan memanggil Maurin pulang dengan pemikiran Andrew masih menginginkan Maurin dan mungkin saja akan melepaskan Anggun untuknya.
Sial bagi Edward, karena ternyata dugaannya itu salah besar.
Kedatangan Maurin… justru membuat Andrew semakin yakin bahwa cintanya hanya untuk seorang Anggun Kasesya.
Menyebalkan!
“Hentikan, Sir!” pinta Maurin sedikit tidak tega. Mengingat Edward bahkan sanggup menghalalkan cara-cara kotor jika sudah berhubungan dengan obsesinya yang menggila. “Cintamu untuk Anggun itu sudah tidak wajar.”
“Aku tidak menerima perintah dari wanita kotor!” Edward mencibir sinis. Maurin terlihat sama sekali tidak sakit hati, ia sudah biasa.
“Kau pulang naik taksi saja.” Dan tanpa merasa takut jika terjadi sesuatu hal yang buruk pada Maurin, Edward berbalik dan melangkah pergi, ia merogoh sakunya mengambil ponsel dan menekan salah satu tombol lalu menempelkannya di telinga.
Ya, Sir?” sapa suara seorang pria diujung sana.
“Kau sudah menyiapkan rencana yang ketiga?”
“Sudah. Semuanya berjalan amat rapi sesuai dengan permintaan anda.” Orang yang ditelpon Edward itu sedikit berpikir. “Saya harap rencana ini sesuai dengan apa yang Sir harapkan.”
“Semoga.” Edward menggumam tidak jelas. Walau kemungkinannya hanya beberapa persen mengingat kebaikan hati Anggun yang selalu bisa menerima Andrew apa adanya, ia jadi kurang yakin rencananya kali ini akan berhasil.
Diselingkuhi saja Anggun masih bertahan. Apalagi hanya hal ‘kecil’ seperti ini.
Tapi maaf saja… Edward tidak akan membiarkan Andrew bernapas lega sebelum melepaskan Anggun dari sisinya.
***
Maurin melihat kepergian Edward dengan sorot mata layu, ia berjongkok dan meraih jas yang tadi diberikan Andrew. Menunduk lalu kembali berdiri dan memeluknya. Memeluk jas itu seolah bisa berubah menjadi sosok yang sejak dulu amat dicintainya.
Maurin menangis sesenggukkan. Sesabar apa pun ia menghadapi masalah, seberusaha apa pun ia melupakan Andrew yang cintanya sudah menyatu dengan darahnya, Maurin tetap tidak bisa melakukannya. Setiap kali ia berusaha menyingkirkan bayangan Andrew bayangan itu justru berputar-putar di kepalanya, setiap kali Maurin ingin mengenyahkan perasaannya pada sosok Andrew, ia justru terjatuh semakin dalam di cinta tak berbalasnya.
“Andrew…” bisik Maurin lirih. ia menenggelamkan wajahnya di jas itu, menghirup aroma maskulin khas Andrew kuat-kuat. “Kau harus bahagia…”
“Aku titip Andrew, Anggun…” Maurin memejamkan matanya rapat-rapat. “Aku titip Andrew…”

Dan terkadang kita memang harus menerima kenyataan…
Ketidak tidak bisa mendapatkan hal yang kita inginkan…
***
“Hari yang panjang.” Kata Andrew begitu memarkirkan mobilnya di depan rumah. Ia keluar dan membukakan pintu mobil untuk Anggun dan ketiga anaknya. Mereka semua turun beriringan menebar senyum lega seolah baru kembali mendapatkan napasnya.
Hanya Andre yang masih cemberut, ia menekuk wajahnya dengan alis berkerut dalam masih tidak bisa memaafkan kesalahan sang Papa. Andrew mengerti, ia sangat tahu Andre yang paling keras kepala di antara anak-anaknya yang lain. Tidak jauh beda dengan dirinya sendiri, karena gambaran sosok Andre, sudah seperti bayangan dirinya sendiri di masa kanak-kanak dulu.
Semoga saja setelah dewasa Andre tidak bertingkah sama bajingannya dengan si Papa.
Semoga? Heh?
“Memangnya Mama mau Papa traktir apa?” Tanya Andrew saat Anggun merajuk manja. Mereka berangkulan masuk ke dalam rumah dengan Marlon dan Marsya melompat-lompat di depan mereka. kalau kekaleman Andre sih sudah tidak perlu diragukan, ia hanya berjalan santai dengan wajah datar khasnya, anehnya… di sekolahnya Andre tetap memiliki banyak fans.
“Ap- eh, siapa, ya?” Tanya Anggun begitu melihat seorang wanita berkulit putih pucat duduk di sofa ruang tamu rumahnya. Wanita itu terlihat lebih tua dari usianya yang seharusnya. Rambutnya yang panjang diikat rapi ke belakang dengan kedua kelopak mata menghitam. Ia mengenakan setelan berwarna hitam dipadu switer coklat kusam. Di samping kanannya, duduk seorang anak kecil berpakaian rapi sekalipun warnanya tampak kepudaran. Bocah tampan yang usianya diperkirakan mungkin satu tahun di atas Andre.
Andrew yang merasa Anggun tidak melanjutkan kalimatnya, meluruskan pandangannya hanya untuk mendapati sosok wanita yang samar-samar sedikit dikenalinya. Ia mengangkat sebelah alisnya lalu menghampiri wanita itu dengan hati waswas. Entah kenapa jantungnya mendadak berdebar tidak karuan?
Marlon dan Marsya menghampiri sofa lalu berusaha naik dan duduk manis di sana. Jam sudah menunjukkan pukul sepuluh tapi mereka masih belum menunjukkan tanda-tanda mengantuk. Andre mengusap kepala Marsya lalu duduk di sampingnya.
“Tuan Muda…” panggil wanita di depan Andrew lirih. suaranya bergetar ketakutan dengan wajah putih pucatnya yang semakin pasi. “Anda pasti sudah tidak lagi mengenali saya.”
“Kau siapa?” Tanya Andrew tak basa-basi. Ia menatap wanita itu sekilas lalu fokus menatap bocah laki-laki yang dibawanya. Menatap anak yang sedikit ketakutan dan menyembunyikan diri di balik lengan ibunya. Anggun langsung menyikut siku Andrew, ia memelototinya seolah berkata berhenti-menakuti-anak-kecil-dengan-mata-setanmu-itu.
“Sa-saya Nadia…” wanita itu menunduk, ia memberi salam pada Anggun yang dianggukkan pelan oleh istri seorang Adrian itu. Sedikit iri karena pada akhirnya, Andrew memilih Anggun sebagai pendamping hidupnya. “Sa-saya, salah satu wanita simpanan Tuan Muda tujuh tahun lalu. Kita pernah serumah juga, Nyonya Anggun. Hanya sebentar memang, sekitar satu minggu.”
Anggun tersentak kaget. Ia berusaha mengingat sosok yang mengaku Nadia dan menjadi salah satu wanita simpanan Andrew di rumah mewahnya. Mengingat baik-baik wajah yang sudah cukup buram diingatannya. Kemudian ia mengingat wanita galak yang selalu merecokki Anggun karena iri Andrew lebih memperhatikannya, Nadia…
Tapi…
Kenapa penampilannya sekarang amat berbeda?
“Aku tidak mengingatmu!” Andrew berkata cuek. Tipe seseorang yang sadis jika bersangkutan dengan suatu hal yang tidak dianggapnya penting. “Mau apa kau?”
“Kau Nadia?” Anggun bertanya. Nadia langsung menganggukkan kepalanya dan tersenyum cerah. “Kau berbeda, aku jadi tidak mengenalimu.” Anggun membalas senyuman Nadia sekalipun sadar sedang terjadi hal yang tidak beres. Untuk apa Nadia datang malam-malam ke rumahnya dengan seorang anak?
“Se-sebenarnya saya mengidap kanker liver stadium akhir.” Nadia tidak basa-basi. Ia memang tidak punya banyak waktu. Anggun terlihat sangat kaget berbanding terbalik dengan Andrew yang tidak ambil pusing.
“Jadi kau mau minta uang?” Andrew bertanya kalem. Sama sekali tidak peduli jika pertanyaannya akan menyinggung dan menyakiti hati Nadia.
“Ti-tidak, saya sudah tidak mungkin sembuh, kedatangan saya ke sini hanya ingin mengantar Brian.” Nadia berdiri dan menarik bocah yang ternyata bernama Brian itu agar menunjukkan wujudnya di depan Andrew dan Anggun, Anggun sedikit terkejut saat melihat anak lelaki itu juga bermata sayu dengan kornea abu dan hampir tidak ada bedanya dengan Andre.
“Dia anak Tuan Muda.”
Dan pernyataan Nadia, seolah bisa menjawab pertanyaan Anggun dalam satu kalimat saja.
Astaga! Masalah pelik apa lagi ini?
“Bayeeen?” beo Marlon antusias. Ia sama sekali tidak tahu masalah pelik yang lagi-lagi menghantam habis keluarganya. Seolah Tuhan tidak memberi waktu bagi kedua orangtuanya untuk menarik napas lega lama-lama.
Edward… memang serius ingin membuat si sulung Adrian itu gila.
***

1 komentar:

Next Prev
▲Top▲