“Mungkin, memang
sudah seharusnya sekarang mereka tahu, En.” Maurin mengangkat salah satu sudut
bibirnya sembari menatap sinis Anggun. Wanita yang ia sudah yakin usianya jauh
di bawahnya. Menurut informasi yang diberikan Edward sekembalinya ia ke
Indonesia, wanita cantik bermata bulat di depannya itu mengandung anak
pertamanya di usia yang masih sangat muda. 16 tahun. Dan itu pun terjadi karena
ternyata Andrew tidak memakai pengaman saat menidurinya.
Sedangkan Anggun
hanya terdiam sementara Andrew sejak tadi terus gelagapan. Tidak tahu apa yang
harus ia katakan? Apalagi Maurin yang sejak tadi mendesaknya dan terus menempel
padanya. Dan sialnya, Andrew sama sekali tidak berkutik untuk menghindar atau
pun menolaknya secara halus. Andrew hanya bisa merasa bersalah di dalam hati
ketika Anggun menundukkan kepalanya tidak sanggup.
Bunuh
saja dia. Bunuh saja manusia bajingan yang sama sekali tidak ingat saat sulit,
hanya Anggun yang selalu berada setia di sisinya. Anggun bahkan rela
menyerahkan dirinya pada Edward agar Andrew tidak lagi susah.
Anggun,
yang selalu merawat Andrew setiap kali ia jatuh sakit. Anggun, yang selalu
tersenyum menenangkan setiap kali ia merasa gelisah.
Anggun
menenangkannya dan meyakinkan Andrew mereka akan baik-baik saja saat Andrew
dulu diusir dari rumah oleh ayahnya, Anggun pula yang mau memberinya kesempatan
kedua sedangkan dulu Andrew selalu menyakitinya.
Anggun,
istri yang selalu setia dan bersabar sekali pun Andrew sering membuatnya
menangis. Anggun, wanita yang tetap diam saja tanpa memukuli atau sekedar
memakinya saat ia kini kepergok selingkuh.
Anggun
hanya berharap Andrew memilihnya, menganggap saat ini Andrew hanya khilaf,
mengharapkan agar suaminya kembali padanya. Perang delikkan sinis pun tidak
terelakkan. Anggun yang biasa bersikap ramah tidak mungkin berbasa-basi begitu
melihat orang yang berusaha merebut suaminya. Dia dan Maurin saling melempar
tatapan mematikan.
Namun
akhirnya Anggun tidak bisa menahan diri lagi, ia menundukkan kepalanya dalam.
“Nda
bikin Mama nangis lagi Papa…” Marlon yang pertama kali bersuara setelah sekian
lama mereka terjebak dalam keadaan hening. Ia menyayukan matanya sedih saat
sadar air yang tadi ia sangka gerimis yang membasahi wajahnya, ternyata air
mata sang Mama yang kini kepalanya tepat di atas saat mendongak.
Marlon
memang tidak tahu apa-apa. Semua yang dikatakannya tadi pun hanya ia dapatkan
di sinetron-sinetron yang sering sang Mama tonton.
Tapi
melihat sang Mama kesakitan ia pun entah kenapa bisa merasakannya? Melihat Mama
menangis hatinya terasa linu sehingga tanpa sadar ia juga ikut menangis
karenanya. Marlon maju selangkah mengangkat tangannya tinggi-tinggi menggapai
tangan besar Andrew dan menggenggamnya erat. Tubuhnya gemetar sesenggukkan.
“Papa
bilang Papa cayang Mama, tiap Mama bobo cofa Papa cium kening Mama, bilang
cayang Mama, gendong Mama pindah kamal.” Imbuh Marlon dengan wajahnya yang
memerah.
“Papa…
janji gak bikin Mama nangis, Papa bilang cama Genpa Papa gak bakalan tinggal
Mama…” Marsya ikut melakukan hal yang sama dengan saudara kembarnya. Menggapai
tangan Andrew dengan kedua tangan mungilnya, menangis sesenggukkan merasakan
rasa sakit hati wanita yang telah melahirkannya.
Andrew
termenung. Ia semakin ditenggelamkan memorinya bersama Anggun yang sudah ia
lewati beberapa tahun. Menyingkirkan adiknya sendiri ke Amerika karena dianggap
menjadi ancaman untuk hubungannya dengan wanita kedua yang berhasil menarik
perhatiannya setelah sekian lama ia sakit karena kehilangan Maurin.
Andrew
menunduk menatap kedua anaknya yang menangis keras layu, kedua anak yang seolah
memohon kepadanya untuk mempertimbangkan jikalau ia memilih untuk meninggalkan
sang Mama. Itu berarti, mereka akan hidup terpisah. Apa yang sudah mereka
bangun selama enam tahun –karena saat hamil Andre, Anggun dan Andrew pisah- ini
menjadi sia-sia.
Andrew
kini menoleh menatap anak sulungnya yang bergeming. Andre sama sekali tidak
membujuknya seperti yang dilakukan kedua adiknya, ia justru menggenggam tangan
kanan sang Mama seolah memberi kekuatan agar tetap bertahan. Sekalipun ia yang
memang masih kecil itu tetap menyimpan emosi besar karena tingkah arogan Papa
yang selama ini selalu dibanggakannya.
Merasa
Papanya menunggu responnya, Andre hanya menatap Andrew sinis dengan rahang
mengetat menahan kesal. Matanya sedikit memerah karena ia pun cukup peka dengan
luka hati yang dirasakan Mamanya.
“Andre…
tidak keberatan Mama cari Papa baru.” Andre akhirnya membuka suara.
Kata-katanya
begitu singkat tapi menusuk tepat ke ulu hati Papanya. Andre seolah sengaja
ingin menghapus memori ayahnya di kepalanya juga wanita yang kini hanya
menangis pelan menahan isakkan. Ia akan menggantikan tugas Andrew untuk menjaga
Mamanya juga kedua adiknya. Papanya sudah tidak lagi menginginkan mereka, dan Andre,
akan mencarikan seseorang yang bisa menyembuhkan kesakitan yang dialami ibunya.
“Mama
cantik, Mama pasti dapat Papa baru yang lebih keren dari Andrew.” Andre
mengimbuhkan tidak sopan. Ia bahkan sudah tidak mau lagi memanggil Andrew
dengan panggilan ‘Papa’.
Nyeri?
Tentu
saja. Tidak pernah Andrew merasa sesakit ini, tidak diakui keberadaannya oleh
buah hatinya sendiri. dan itu… karena kelakuan tak bermoralnya yang sudah
menyakiti wanita berhati malaikat yang kini menjadi istrinya. Tapi…
Andrew
tersenyum tipis, ia menghela napas berat lalu menoleh kepada Maurin. Mengangguk
pelan menimbulkan sebuah senyuman lebar di bibir wanita yang menjadi cinta
pertamanya.
Sedangkan
Anggun, ia hanya bisa menundukkan kepalanya dalam-dalam.
Ia
sudah… kalah?
“Kau
benar Maurin, perasaan yang kurasakan saat ini hanyalah perasaan bersalah.” Andrew
berkata pelan. Maurin mengangguk dan mempererat pegangannya di lengan Andrew.
“Aku
tahu itu.”
“Sejak
awal aku memang hanya merasa bersalah, karena dulu aku tidak punya kekuatan
untuk melindungimu dari kebengisan tingkah ayahku.”
Maurin
sedikit terbelalak mendengar kalimat imbuhan itu, ia merasakan firasat tidak
nyaman.
“Berbeda
saat aku memilih Anggun sebagai pendamping hidupku, ibu dari anak-anakku.” Andrew
menatap Anggun sambil terus tersenyum tipis. Mendengar itu Anggun mengangkat
kepalanya dan menyusut air matanya, Andrew mempererat genggaman tangan kedua
anak kembarnya lalu membuang napas pelan.
“Aku
mencintai istri dan anak-anakku.” Andrew berucap yakin. “Sangat!” imbuhnya
tanpa ragu.
“…”
“Itu
kenapa aku sudah tidak bisa lagi menciummu seperti dulu.” Andrew berkata jujur.
Ia memang merasa tidak nyaman jika melakukan tindakkan yang lebih dari sekedar
pelukan pada Maurin. Pelukannya pun bukan lagi pelukan seorang pria yang ingin
membuat wanita yang dicintainya merasa nyaman. Pelukannya kali ini, hanya
pelukan seorang sahabat yang ingin menjaga seseorang yang dulu sempat mengukir
sebuah kenangan manis di dalam hidupnya.
“Karena
sampai kapan pun mulai tujuh tahun lalu, yang akan aku cintai hanya Anggun.” Andrew
berkata tegas. Ia tersenyum tipis saat Anggun tersenyum manis padanya. “Dan
sekalipun aku harus mati dan bereinkarnasi, yang akan aku cintai tetap hanya Anggun.”
Entah
sejak kapan Andrew bisa berkata romantis?
“Karena
seorang Andrew… hanya akan bersedia ditakdirkan hidup jika berdampingan dengan Anggun.”
“Aku
mencintaimu Anggun… sangat.” Dan kata-kata Andrew kali ini bersifat mutlak.
Andrew
melepaskan genggaman kedua anaknya, lalu menghempaskan tangan Maurin
pelan-pelan, ia menghampiri Anggun dan mengusap kedua pipi Anggun yang memerah
lembut, membungkukan kakinya dan mengecup kening Anggun penuh sayang.
“Maaf,
sudah membuatmu sedih lagi.”
“Aku
tahu kau hanya sedang bingung.” Anggun mengangguk mengerti. Tidak menyadari
bahwa kebaikan hatinya justru membuat Andrew semakin merasa bersalah. Padahal Andrew
berharap Anggun marah dan melampiaskan emosinya agar ia juga merasa lega.
Sebenarnya…
hati seorang Anggun Kasesya itu terbuat dari apa?
“Aku
tahu pada saatnya kau pasti akan kembali pulang, padaku, pada anak-anak kita.”
“Anggun…”
“Aku
mau pulang!” kata Andre ketus. Menghentikan drama romantis picisan yang sedang
dilakukan kedua orangtuanya. Sejak kecil Andre memang tidak pernah suka melihat
kedua orangtuanya berpacaran.
Baginya
itu sangat mengganggu. Berbeda dengan kedua adiknya yang mendongak di antara Anggun
dan Andrew selalu menoleh pada siapa pun di antara kedua orang dewasa itu yang
bicara.
“I-iya,
Sayang. Ayo kita pulang!” kata Anggun semangat. Melupakan bahwa Maurin juga
masih ada di antara mereka. Anggun hanya melemparkan senyuman sinis ke arahnya. Puas karena pada akhirnya… sang
suami tetap memilihnya.
Keluarga
manis itu mulai berjalan beriringan masuk ke dalam mobil Andrew dengan ketiga
anak Andrew yang duduk di jok belakang.
Anggun
masuk dan duduk di jok samping kemudi disusul Andrew yang bernapas lega di
belakang setir. Ia meluruskan pandangannya melihat Maurin di depan kap mobilnya
tengah menatapnya horror.
Astaga!
Andrew
lupa bahwa Maurin datang ke tempat itu bersamanya.
“Maurin,
kau pulang saja dengan Edward.” Andrew yang begitu amat yakin Edward masih ada
di sekitarnya berujar. Ia juga yakin bahwa hal yang dialaminya saat ini
merupakan salah satu rencana Edward yang ingin memisahkannya dengan Anggun.
Maurin
tersentak untuk beberapa saat, sampai kemudian ia tersenyum manis dan
mengangguk. Sepertinya… ia memang sudah tidak ada lagi harapan untuk kembali
bersama Andrew bukan? Andrew terlihat begitu menyayangi istrinya.
Maurin
berjalan pelan ke portal pembatas jalan. Menatap pantai malam di depannya
dengan sorot temaram. Ia diam saja saat Andrew memundurkan mobilnya lalu
memutar arah dan memacunya dengan kecepatan sedang. Meninggalkannya yang terus
diam tanpa ada niat dulu mengantarnya pulang.
“Kenapa
kau tidak mencegahnya?” Tanya seseorang yang kini berdiri di samping Maurin
setengah mendesis geram. Tanpa menoleh Maurin tidak perlu takut salah mengenali
orang, ia sangat yakin bahwa sosok jangkung yang kini ikut menatap pantai malam
itu adalah Edward, orang yang memberinya perintah kembali ke Indonesia setelah
beberapa tahun ia tinggal di Amerika.
“Andrew
mencintai istrinya.” Maurin yang pada dasarnya memang berhati baik itu
tersenyum. Mesti merasa sakit hati karena sudah dilupakan sosok yang masih
dicintainya, tapi setidaknya ia ikut bahagia karena sudah ada seseorang yang
menjadi bagian terpenting dalam hidup sang mantan.
“Harusnya
kau lebih berusaha.”
“Tidak
bisa kah kau menghentikannya, Sir?”
Tanya Maurin heran. Ia begitu aneh pada Edward yang terobsesi pada seorang
wanita setia beranak tiga. Tetap keukeuh ingin merebut Anggun dari Andrew.
“Tidak!”
Edward tersenyum sinis. “Sekali pun kau menyerah, aku masih punya hal lain yang
bisa membuat mereka berpisah.”
“Apa
pun akan kulakukan untuk mendapatkan apa yang kumau.” Edward terkekeh. Ia
menyentil jas di bahu Maurin yang sebenarnya adalah milik Andrew. Membuat tubuh
mungil wanita yang berpakaian sedikit terbuka semakin menggigil kedinginan. Jas
hitam itu jatuh ke tanah namun Maurin sama sekali bergeming tidak ambil pusing
dengan kelakuan bosnya.
Bosnya?
Heh?
Yah,
saat beberapa tahun lalu Maurin dicelakakan oleh ayahnya Andrew agar hubungan
mereka terpisah, Edward lah yang menemukan Maurin dan memutuskan untuk
merawatnya karena mungkin suatu hari nanti Maurin akan berguna untuknya. Maurin
merupakan salah satu wanita jenius yang mungkin akan membawa keuntungan untuk
perusahaannya.
Tidak
ingin Andrew menemukan Maurin dan mengambilnya dari sisinya, Edward sengaja
memutasikan Maurin ke perusahaannya yang ada di Amerika. Mengurungkan niat
awalnya yang akan menjadikan Maurin kado untuk Andrew mengingat persahabatan
mereka yang amat dekat.
Saat
itu usia Maurin masih belia, tapi ia sanggup menyelesaikan sekolah dan
pekerjaannya dengan hasil yang memuaskan.
Dan
kali ini, Edward memutuskan memanggil Maurin pulang dengan pemikiran Andrew
masih menginginkan Maurin dan mungkin saja akan melepaskan Anggun untuknya.
Sial
bagi Edward, karena ternyata dugaannya itu salah besar.
Kedatangan
Maurin… justru membuat Andrew semakin yakin bahwa cintanya hanya untuk seorang Anggun
Kasesya.
Menyebalkan!
“Hentikan,
Sir!” pinta Maurin sedikit tidak
tega. Mengingat Edward bahkan sanggup menghalalkan cara-cara kotor jika sudah
berhubungan dengan obsesinya yang menggila. “Cintamu untuk Anggun itu sudah
tidak wajar.”
“Aku
tidak menerima perintah dari wanita kotor!” Edward mencibir sinis. Maurin
terlihat sama sekali tidak sakit hati, ia sudah biasa.
“Kau
pulang naik taksi saja.” Dan tanpa merasa takut jika terjadi sesuatu hal yang
buruk pada Maurin, Edward berbalik dan melangkah pergi, ia merogoh sakunya
mengambil ponsel dan menekan salah satu tombol lalu menempelkannya di telinga.
“Ya, Sir?” sapa suara seorang pria
diujung sana.
“Kau
sudah menyiapkan rencana yang ketiga?”
“Sudah. Semuanya berjalan
amat rapi sesuai dengan permintaan anda.” Orang yang
ditelpon Edward itu sedikit berpikir. “Saya
harap rencana ini sesuai dengan apa yang Sir harapkan.”
“Semoga.”
Edward menggumam tidak jelas. Walau kemungkinannya hanya beberapa persen
mengingat kebaikan hati Anggun yang selalu bisa menerima Andrew apa adanya, ia
jadi kurang yakin rencananya kali ini akan berhasil.
Diselingkuhi
saja Anggun masih bertahan. Apalagi hanya hal ‘kecil’ seperti ini.
Tapi
maaf saja… Edward tidak akan membiarkan Andrew bernapas lega sebelum melepaskan
Anggun dari sisinya.
***
Maurin
melihat kepergian Edward dengan sorot mata layu, ia berjongkok dan meraih jas
yang tadi diberikan Andrew. Menunduk lalu kembali berdiri dan memeluknya.
Memeluk jas itu seolah bisa berubah menjadi sosok yang sejak dulu amat
dicintainya.
Maurin
menangis sesenggukkan. Sesabar apa pun ia menghadapi masalah, seberusaha apa
pun ia melupakan Andrew yang cintanya sudah menyatu dengan darahnya, Maurin
tetap tidak bisa melakukannya. Setiap kali ia berusaha menyingkirkan bayangan Andrew
bayangan itu justru berputar-putar di kepalanya, setiap kali Maurin ingin
mengenyahkan perasaannya pada sosok Andrew, ia justru terjatuh semakin dalam di
cinta tak berbalasnya.
“Andrew…”
bisik Maurin lirih. ia menenggelamkan wajahnya di jas itu, menghirup aroma
maskulin khas Andrew kuat-kuat. “Kau harus bahagia…”
“Aku
titip Andrew, Anggun…” Maurin memejamkan matanya rapat-rapat. “Aku titip Andrew…”
Dan terkadang kita
memang harus menerima kenyataan…
Ketidak tidak bisa
mendapatkan hal yang kita inginkan…
***
“Hari
yang panjang.” Kata Andrew begitu memarkirkan mobilnya di depan rumah. Ia
keluar dan membukakan pintu mobil untuk Anggun dan ketiga anaknya. Mereka semua
turun beriringan menebar senyum lega seolah baru kembali mendapatkan napasnya.
Hanya
Andre yang masih cemberut, ia menekuk wajahnya dengan alis berkerut dalam masih
tidak bisa memaafkan kesalahan sang Papa. Andrew mengerti, ia sangat tahu Andre
yang paling keras kepala di antara anak-anaknya yang lain. Tidak jauh beda
dengan dirinya sendiri, karena gambaran sosok Andre, sudah seperti bayangan
dirinya sendiri di masa kanak-kanak dulu.
Semoga
saja setelah dewasa Andre tidak bertingkah sama bajingannya dengan si Papa.
Semoga?
Heh?
“Memangnya
Mama mau Papa traktir apa?” Tanya Andrew saat Anggun merajuk manja. Mereka
berangkulan masuk ke dalam rumah dengan Marlon dan Marsya melompat-lompat di
depan mereka. kalau kekaleman Andre sih sudah tidak perlu diragukan, ia hanya
berjalan santai dengan wajah datar khasnya, anehnya… di sekolahnya Andre tetap
memiliki banyak fans.
“Ap-
eh, siapa, ya?” Tanya Anggun begitu melihat seorang wanita berkulit putih pucat
duduk di sofa ruang tamu rumahnya. Wanita itu terlihat lebih tua dari usianya
yang seharusnya. Rambutnya yang panjang diikat rapi ke belakang dengan kedua
kelopak mata menghitam. Ia mengenakan setelan berwarna hitam dipadu switer
coklat kusam. Di samping kanannya, duduk seorang anak kecil berpakaian rapi
sekalipun warnanya tampak kepudaran. Bocah tampan yang usianya diperkirakan
mungkin satu tahun di atas Andre.
Andrew
yang merasa Anggun tidak melanjutkan kalimatnya, meluruskan pandangannya hanya
untuk mendapati sosok wanita yang samar-samar sedikit dikenalinya. Ia
mengangkat sebelah alisnya lalu menghampiri wanita itu dengan hati waswas.
Entah kenapa jantungnya mendadak berdebar tidak karuan?
Marlon
dan Marsya menghampiri sofa lalu berusaha naik dan duduk manis di sana. Jam
sudah menunjukkan pukul sepuluh tapi mereka masih belum menunjukkan tanda-tanda
mengantuk. Andre mengusap kepala Marsya lalu duduk di sampingnya.
“Tuan
Muda…” panggil wanita di depan Andrew lirih. suaranya bergetar ketakutan dengan
wajah putih pucatnya yang semakin pasi. “Anda pasti sudah tidak lagi mengenali
saya.”
“Kau
siapa?” Tanya Andrew tak basa-basi. Ia menatap wanita itu sekilas lalu fokus
menatap bocah laki-laki yang dibawanya. Menatap anak yang sedikit ketakutan dan
menyembunyikan diri di balik lengan ibunya. Anggun langsung menyikut siku Andrew,
ia memelototinya seolah berkata
berhenti-menakuti-anak-kecil-dengan-mata-setanmu-itu.
“Sa-saya
Nadia…” wanita itu menunduk, ia memberi salam pada Anggun yang dianggukkan
pelan oleh istri seorang Adrian itu. Sedikit iri karena pada akhirnya, Andrew
memilih Anggun sebagai pendamping hidupnya. “Sa-saya, salah satu wanita
simpanan Tuan Muda tujuh tahun lalu. Kita pernah serumah juga, Nyonya Anggun.
Hanya sebentar memang, sekitar satu minggu.”
Anggun
tersentak kaget. Ia berusaha mengingat sosok yang mengaku Nadia dan menjadi
salah satu wanita simpanan Andrew di rumah mewahnya. Mengingat baik-baik wajah
yang sudah cukup buram diingatannya. Kemudian ia mengingat wanita galak yang
selalu merecokki Anggun karena iri Andrew lebih memperhatikannya, Nadia…
Tapi…
Kenapa
penampilannya sekarang amat berbeda?
“Aku
tidak mengingatmu!” Andrew berkata cuek. Tipe seseorang yang sadis jika
bersangkutan dengan suatu hal yang tidak dianggapnya penting. “Mau apa kau?”
“Kau
Nadia?” Anggun bertanya. Nadia langsung menganggukkan kepalanya dan tersenyum
cerah. “Kau berbeda, aku jadi tidak mengenalimu.” Anggun membalas senyuman
Nadia sekalipun sadar sedang terjadi hal yang tidak beres. Untuk apa Nadia
datang malam-malam ke rumahnya dengan seorang anak?
“Se-sebenarnya
saya mengidap kanker liver stadium akhir.” Nadia tidak basa-basi. Ia memang
tidak punya banyak waktu. Anggun terlihat sangat kaget berbanding terbalik
dengan Andrew yang tidak ambil pusing.
“Jadi
kau mau minta uang?” Andrew bertanya kalem. Sama sekali tidak peduli jika
pertanyaannya akan menyinggung dan menyakiti hati Nadia.
“Ti-tidak,
saya sudah tidak mungkin sembuh, kedatangan saya ke sini hanya ingin mengantar Brian.”
Nadia berdiri dan menarik bocah yang ternyata bernama Brian itu agar
menunjukkan wujudnya di depan Andrew dan Anggun, Anggun sedikit terkejut saat
melihat anak lelaki itu juga bermata sayu dengan kornea abu dan hampir tidak
ada bedanya dengan Andre.
“Dia
anak Tuan Muda.”
Dan
pernyataan Nadia, seolah bisa menjawab pertanyaan Anggun dalam satu kalimat
saja.
Astaga!
Masalah pelik apa lagi ini?
“Bayeeen?”
beo Marlon antusias. Ia sama sekali tidak tahu masalah pelik yang lagi-lagi
menghantam habis keluarganya. Seolah Tuhan tidak memberi waktu bagi kedua
orangtuanya untuk menarik napas lega lama-lama.
Edward…
memang serius ingin membuat si sulung Adrian itu gila.
***
Ingin rasanya berkata kasar dasar edward....
BalasHapus😡😡